Lembu hitam besar menghadang di tengah jalan. Tergeming memperhatikan kami lewat matanya yang merah menyala, seolah ingin menegaskan bahwa ia tidak semata ingin melintas, tapi ia punya tujuan, dan tujuan itu adalah menjemput apa yang ia rasa adalah miliknya. Embus napas dari moncong hitamnya menyentak-nyentak, dan lenguhan rendahnya benar-benar memberi kesan mengancam.
"Dani," bisik Erik.
"Ya, aku tahu."
"Kita pergi dari sini," gagas Erik.
"Kita terobos sapi gila itu!" sanggahku.
"Terobos? Sepertinya yang gila itu kamu, bukan sapinya."
Aku dan Maulida sudah bersiap di atas motor. Selaras dalam rencana yang Erik sebut gila. Bagiku, mundur sekarang adalah sebuah kekalahan, bagaimana mungkin aku memilih kalah jika akhir dari semua ini ada di depan mata. Aku hanya perlu melewati seekor mamalia gaib, dan terus memacu motor sampai ke tujuan.
"Kamu yakin kita nggak apa-apa?" tanya Maulida.
"Nggak, tapi aku yakin kalau kita diam di sini, kita pasti celaka."
Tanpa basa-basi kutarik penuh gas motor menuju kecepatan di mana seekor sapi tidak bisa mengejar. Erik dengan segala takut dan ragunya mengekor di belakang. Tugasnya mungkin lebih berat karena harus membonceng si mencong serta memastikan tubuhnya yang kecil dan ringan tidak terlempar dari motor. Kuperhatikan sejak kemunculan lembu itu, si mencong tidak berhenti menutup wajah karena ketakutan. Begitu kami berdua berhasil melewatinya, firasatku justru tidak nyaman karena lembu itu sama sekali tidak menghadang. Ia hanya diam saat kami melewatinya.
"Dia ngejar?" tanyaku.
"Aku malah berharap dia ngejar kita daripada tiba-tiba hilang," sahut Maulida.
"Hilang?"
Aku menoleh sekadar ingin memastikan apa yang Maulida bilang, dan ternyata benar, lembu hitam itu tidak lagi di tempatnya. Sempat aku termenung, sampai kulihat Erik melotot sambil menunjuk ke depan, menyuruhku untuk berpaling ke arah di mana pengemudi motor yang baik seharusnya melihat.
"Hadap depan, Gendeng!"
Lembu Hitam yang semula lenyap di belakang kami, secara mengejutkan melintas di depan. Beruntung ada sedikit jarak untukku bereaksi, hingga benturan dengan makhluk gaib itu bisa dihindari. Satu yang tidak bisa kuhindari adalah pukulan bertubi-tubi dari maulida yang terasa nyeri di punggung.
"Kamu goblok apa gila, sih?"
Kali ini kuabaikan caci maki dari Maulida. Ia mencerocos seperti ibu-ibu yang pancinya dirusak oleh suami. Situasi ini benar-benar membuatnya keluar dari karakter.
Erik menyusul, mensejajarkan kecepatan denganku. Ia mengambil risiko berkendara di jalan sempit sambil berdempetan karena merasa ada hal penting yang harus disampaikan.
"Dani!" Serunya. "Anak ini kenapa?" tanyanya.
Kulihat si Mencong masih menutup wajah dengan kedua tangan. Kali ini sembari menangis memanggil bapaknya. Tak ada waktu menenangkan anak kecil yang sedang menangis, saat kami yang dewasa juga ingin teriak karena takut.
Di pinggir jalan, di tiap jarak antara pepohonan, kulihat sesuatu berkelebat mengikuti kami. Sepertinya lembu hitam tadi menyerah untuk menghadang, dan memilih mengejar. Aku harus mengantisipasi kejutan apa lagi yang makhluk ini akan berikan.
Lonceng sapi yang terikat di pinggangku bergetar cepat. Mulanya kupikir karena jalan yang kami lalui tidak rata, dan lonceng ini terdampak oleh guncangan, tapi ternyata bukan. Lonceng sapi ini benar-benar bergetar mengeluarkan bunyi berisik yang tak keruan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)
HororSebuah legenda dari desa kecil di jawa timur yang disembunyikan. Seorang tabib dan keenam anaknya yang cacat menjadi terror bagi warga. Semua petaka, semua musibah dan kematian dilampiaskannya pada sang tabib yang diduga sebagai tukang santet. Nam...