CHAPTER 28

924 111 4
                                    

Upaya kakek agar warga Sumbergede tidak mencurigai bahwa keenam anak Pak Jawi masih hidup, dan saat ini sedang bersembunyi di hutan, rupanya gagal. Saat aku dan kakek mengunjungi kantor desa, di sana sudah berkumpul Pak Edi dan kelompoknya yang sedang merencanakan pencarian keenam anak itu bersama dengan aparat desa. Tampak Pak Rido, sang kepala desa pun ikut dalam diskusi tersebut.

"Setidaknya mereka belum tahu tentang sapi itu," gumam kakek.

"Terus kita ngapain ke sini?" tanyaku.

Tanpa sungkan, kakek langsung bergabung dalam diskusi yang dilaksanakan di pendopo balai desa. Lesehan di lantai beralas karpet, mengelilingi tumpukan air mineral kemasan dan kue kering. Lingkaran manusia itu jadi lengkap setelah kehadiran kakek, meski dari raut wajah orang-orang yang hadir, bisa kutebak kalau sebenarnya kakek tidak diundang.

"Sebaiknya aku di motor saja, biar nggak malu," batinku.

"Dani, sini! katanya haus?" sapa kakek dari pendopo.

Pak Rido, Kang Yudis, dan semua yang hadir di sana langsung melambai kepadaku, menawarkan makan dan minum layaknya aku seorang anak kecil yang diajak bapaknya membantu memasang tenda hajatan.

Sambil menahan malu, aku pun mendekat, bergabung, duduk di belakang kakek yang langsung mengambil satu stoples kue kering, dan dua gelas air mineral. Benar-benar memalukan.

"Kebetulan Sampean datang, Kang. Kami memang ada rencana mengundang sampean dan Kang Sopet," ucap Pak Rido.

"Tidak diundang juga saya pasti datang, ada yang ingin saya sampaikan sama Sampean," sahut kakek.

Baru juga bergabung, rapat ini sudah menjadi milik kakek. Semua mendengarkan. Bahkan kepala desa pun diam dan kikuk. Orang-orang ini mendadak seperti murid-murid sekolah dasar yang sedang dinasihati gurunya. Aku yang setiap hari hanya melihat tingkah konyol kakek, kini jadi bertanya-tanya, sebesar apakah pengaruh kakek di desa ini?

Kendati demikian, ada beberapa orang yang sepertinya tidak suka dengan kehadiran kakek. Mereka ikut menyimak, tapi dengan mimik muak yang kentara.

"Ada apa, Kang?" tanya Pak Rido.

"Saya sudah tahu di mana keenam anak itu sembunyi," jawab kakek.

Aku menundukkan wajah seraya menyibukkan mulut dengan sedotan air mineral. Ini caraku untuk menyembunyikan wajah kaget serta nyaris tersedak karena pengakuan kakek. Bagaimana tidak? Yang kakek sampaikan benar-benar berlawanan dengan kesepakatan. Bukannya Mbah Sopet bilang kalau orang-orang desa tidak boleh tahu.

"Di-di mana?" tanya Pak Edi.

Wajah terkejutnya benar-benar asli. Hanya saja, tidak ada raut kelegaan di sana. Kelegaan yang harusnya ditunjukkan oleh orang yang sedang mencari sesuatu, dan akhirnya ketemu. Pak Edi malah terlihat tidak senang. Kerutan di dahinya seolah bertanya-tanya, kenapa kakek bisa tahu.

"Mereka sembunyi di Desa Leduk."

Pak Rido, Kang Yudis, dan semua yang ada di sana melongo. Bedanya, sebagian melongo karena takjub dengan cepatnya kakek mendapat informasi, sisanya melongo karena mungkin informasi dari kakek berbeda dengan yang mereka dapat.

"Mustahil, Desa Leduk itu jauh, kalaupun mereka ke sana, pasti ada orang yang melihat," ujar Pak Edi.

"Tidak kalau mereka lewat jalur dalam, tidak lewat pinggir jalan."

"Tetap saja, mereka anak kecil, Kang. Pergi sejauh itu sambil jalan kaki rasanya tidak mungkin," kali ini salah satu pendukung Pak Edi membari tanggapan.

"Mungkin saja kalau mereka dibawa oleh seseorang," jawab kakek.

"Dibawa?"

"Ya, ada orang dewasa yang mendampingi mereka, tapi itu cuma spelakukasi—"

"—Spekulasi!" koreksiku, sebal.

"—ya, itu, jadi jangan tanya saya siapa yang mendampingi mereka."

Pernyataan kakek terdengar terlalu berani. Tidak hanya kakek mengasumsikan arah pergi anak-anak Pak Jawi, tapi juga menduga—atau lebih seperti menuduh—bahwa keenam anak itu sengaja disembunyikan seseorang. Aku bingung. Hal ini tidak pernah kakek bahas sebelumnya dengan mbah Sopet, jadi aku hanya diam, ikut permainan, berharap kakek tahu apa yang sedang dia perbuat.

"Kalau memang begitu, kalau memang ada yang sengaja bawa mereka kabur, daripada menebak-nebak siapa, saya lebih penasaran kenapa?" ujar Kang Yudis.

"Malam ini rencananya kami mau cari mereka ke hutan, soalnya menurut Pak Edi dan yang lain, kemungkinan besar mereka sembunyi di hutan, tapi kalau informasi dari Pak Saleh ini benar, sepertinya kita juga harus mencari ke desa Leduk. Yud, apa ada laporan dari orang Leduk soal anak-anak itu?"

"Tidak ada, Pak," jawab Kang Yudis.

"Karena memang anak-anak itu tidak ada di sana," timpal Pak Edi. Kali ini terdengar kesal.

"Kok kamu yakin sekali?"

Pertanyaan kakek langsung ia lemparkan ke muka Pak Edi, membuatnya kikuk.

"Cu-cuma firasat saja," kata Pak Edi.

Setelah perdebatan singkat itu, akhirnya Pak Rido memutuskan untuk mencari keenam anak Pak Jawi ke Desa Leduk. Ia mengutus sepuluh orang, dua di antaranya adalah Pak Edi dan Kang Yudis. Mulanya Pak Rido meminta bantuan kakek, tapi kakek menolak.

Sebelum meninggalkan kantor desa, kakek menghampiri Pak Rido, mengajaknya bicara empat mata. Enam mata bila aku yang ada di belakang kakek dihitung juga. Dapat kudengar jelas apa yang kakek bicarakan, dan tidak hanya itu, aku juga bisa melihat dengan jelas wajah panik Pak Rido.

"Ma-maksud Kang Saleh apa?" tanya Pak Rido.

"Saya cuma mau memastikan kalau upaya pencarian anak-anak ini murni didasari kepedulian sampean sebagai kepala desa, dan bukan semata-mata perintah dari seseorang," tutur kakek.

"Seseorang?"

"Sampean tahu siapa yang saya maksud."

Kakek menepuk pundak Pak Rido, bersama dengan itu, ia juga menyunggingkan senyum kecut sebagai tanda pamit. Kami berdua pergi dari kantor desa, diiringi tatapan aneh orang-orang yang entah apa maksudnya. Seperti panik, gugup, dan ... marah.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang