CHAPTER 14

4.2K 501 35
                                    

Lagi-lagi hujan deras mulai pukul empat sore, dan belum juga reda sampai azan isya. Aku tidak pernah menyayangkan turunnya hujan, tapi kali ini benar-benar menjadi penghalang. Aku ada janji menjemput obat di rumah Pak Jawi, yang seharusnya bisa kutunda besok, tapi karena kondisi kakek makin memburuk, mau tidak mau aku tetap harus berangkat.

Karena itu, malam ini aku tidak pergi sendiri. Di ruang tamu sudah ada Erik. Satu-satunya sahabat yang bisa kuandalkan saat ini. Bisa kulihat senyumnya yang dipaksakan mengembang, dan keringat yang tidak kalah deras dengan hujan di luar.

"Aku suka tantangan seperti ini, Sob," katanya, sambil tersenyum cemas.

Sepertinya Erik masih memikirkan ceritaku tentang anak-anak Pak Jawi, terutama apa yang kualami di dapur tadi malam. Ia yang semula selalu berpikir positif, dan cenderung skeptis, kini pertahanannya mulai runtuh dan tubuhnya menggeligis.

Lama-lama aku jadi kasihan sama orang ini, batinku.

"Santai aja, Sob. Kita nggak lagi uji nyali, nggak mau cari gara-gara juga. Kita cuma mau jemput obat pesanan kakek, habis itu langsung pulang," ujarku, menenangkan.

Erik mengangguk. Mencoba membuatku percaya bahwa dia tidak takut.

"Ngomong-ngomong, Mbah Saleh mana, Sob?" tanya Erik.

"Ada di kamarnya, lagi istirahat. Abis salat magrib tadi, dia ngeluh kulit punggungnya perih. Badannya juga sedikit demam. Makanya aku bela-belain pergi ke rumah Pak Jawi meski sebenarnya takut."

"Nggak dibawa ke dokter aja?"

"Aku takut, Rik."

"Lah, kok kamu yang takut?"

"Dulu kakek pernah sakit, dan harus berantem dulu sama Abah biar mau dibawa ke rumah sakit. Sayangnya Abahku kalah, jadi kakek terpaksa dibawa ke tukang pijat. Alhamdulillah nggak lama sembuh juga."

Erik melongo. Ia kenal dengan kakek sejak kami sama-sama duduk di bangku madrasah Ibtida'iyah, tapi masih saja terkejut dengan tingkah polah kakek yang unik dan cenderung merepotkan.

"Kenapa harus gitu?" tanya Erik.

"Soalnya kakek takut jarum suntik."

Bunyi telapak tangan membentur kening keras sekali. Erik benar-benar tidak bisa menahan geli dan herannya lagi. Ia bahkan masih geleng kepala sambil tersenyum jenaka.

"Terakhir kali aku ketemu Mbah Saleh, waktu itu beliau lagi menangani kasus pembunuhan di desa Lindung."

"Pembunuhan?"

"Ya, satu keluarga dibantai habis sama perampok. Semua barang-barang berharganya ludes. Kamu masih ingat kasus mayat-mayat tanpa identitas yang sering ditemukan warga di pinggir jalan?"

"Ya, waktu itu satu kabupaten geger."

"Nah, sejak saat itu kecamatan Banyusirih mulai rusuh. Pembunuhan, pencurian, santet, tawuran antar desa, semua itu terjadi hampir dalam waktu yang berdekatan. Karena itu, dibentuklah semacam tim khusus buat meredam keributan ini. Nah, salah satu anggota tim itu ya Mbah Saleh."

"Macam nggak ada polisi saja," aku menyeletuk.

"Kalau cuma maling dan rampok sih, polisi masih bisa diandalkan, tapi kalau urusannya sudah santet, ceritanya lain lagi. Korban berjatuhan, tapi bukti nggak bisa ditemukan. Kalau pun ditemukan, siapa yang bisa menjelaskan gimana caranya paku sama silet masuk ke dalam perut orang?"

Erik mengembuskan napas panjang, lalu mengusap-usap dahi lebarnya.

"Kok kita malah asyik ngobrol, ya? Bukannya katamu kita nggak boleh ke rumah Pak Jawi di atas jam 8? Ini sudah jam setengah 8, lho!"

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang