CHAPTER 34

873 109 1
                                    

Pemakaman Lindung punya dua tempat keranda yang berjejer di sudut, di bawah pohon cempaka. Pada malam tertentu, jika beruntung, orang-orang bisa melihat keranda kosong itu terisi oleh mayat, atau sekadar bergetar membuat bunyi logam yang gaduh di kesunyian. Satu lagi yang paling terkenal adalah, kuburan aneh yang terkesan menyendiri di tengah, dan merupakan sedikit dari kuburan yang kalau malam tidak terjamah cahaya lampu. Dibilang aneh karena batu nisannya terbalik, dan sampai sekarang pun tidak ada yang memperbaiki. Di sana, seorang perempuan akan duduk bersila, bersanandung, dan melambai pada siapa saja yang lewat.

Aku ingat semua kisah tentang tempat ini. Namun, bukan tujuanku untuk bernostalgia. Kusaring semua benda berbentuk kuburan dari pandangan, dan fokus mencari kakek. Tanah kuburan yang lapang membuat pencarianku nyaris tanpa usaha.

"Kakek?" gumamku.

Kulihat di kejauhan kakek sedang duduk dengan tangan terikat pada tiang lampu. Sementara Pak Edi tertawa sembari memegang sesuatu. Aku mengendap, mendekat, menyusuri sisi gelap pemakaman, dan sebisa mungkin tidak membuat suara. Setelah cukup dekat, dari balik pohon cempaka yang dasarnya ditumbuhi semak belukar, aku bisa melihat jelas benda yang Pak Edi pegang. Benda yang tidak asing. Lonceng milik Pak Jawi.

Sadar bahwa kakek sedang dalam bahaya, aku pun berniat membantu. Situasi ini tidak mengharuskanku untuk berkelahi. Cukup melepas ikatan kakek, selebihnya biarkan dia mengamuk. Saat aku hendak beranjak, seseorang menarik tanganku hingga nyaris saja aku terpekik. Begitu menoleh, aku terkejut dengan siapa yang ada di hadapanku.

"Kamu?"

Si mencong masih tak mau melepas tanganku. Wajahnya menunduk tertutup rambut panjangnya. Kepalanya menggeleng, melarangku untuk ikut campur.

"Ngapain kamu di sini?" desisku.

Alih-alih menjawab, si mencong menunjuk ke arah kakek dan Pak Edi. Kuperhatikan sekali lagi dari balik pohon cempaka. Rupanya bukan hanya Pak Edi, di sana ada Pak Muhadi dan satu orang lagi yang sedang duduk di samping kakek, menodongnya dengan sebilah golok. Orang itu mengenakan topeng kain hitam dan hanya bagian mata saja yang tampak. Barulah aku sadari kalau ternyata Pak Edi pun membawa senjata tajam.

Sejauh ini kulihat kakek baik-baik saja. Tidak terluka. Pak Edi juga tidak melakukan apapun selain berdiri di depan kuburuan yang kuasumsikan adalah kuburan putrinya. Ia tidak bisa melihatku dari balik pohon ini, tapi aku bisa mendengar percakapan antara Pak Edi dan kakek dengan cukup jelas.

"Belum sadar juga. Tidak seorang pun bisa melawan takdir," kakek menasihati.

"Tahu apa kamu soal takdir? Kematian Ratih sangat menyedihkan. Dosa apa yang Ratih perbuat sampai pantas mendapatkan takdir seperti itu?" sergah Pak Edi.

"Lonceng itu ... jangan bilang kamu ...."

"Ya, Saleh. Di daerahku ada pesugihan lembu hitam yang melegenda. Bukan harta atau jabatan, pesugihan lembu hitam menjanjikan kesembuhan dan umur yang panjang. Saat aku kecil dulu, aku pernah mendengar seorang dokter yang kehilangan putra semata wayangnya karena penyakit. Merasa frustrasi karena sebagai dokter tak bisa menyembuhkan putranya sendiri, dokter itu membelok ke jalur gaib. Mengkhianati sumpah dan kode etiknya sebagai dokter. Dia bersekutu dengan siluman Lembu Hitam. Bukan kesembuhan dan umur panjang yang dia minta, tapi ....

KESEMPATAN AGAR ANAKNYA HIDUP KEMBALI

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang