CHAPTER 35

877 109 2
                                    

Butuh waktu untuk memproses perkataan Pak Edi agar terdengar masuk akal. Ada sebagian kalimat yang tidak jelas kutangkap, tapi sesuatu tentang menghidupkan anak yang sudah mati, yang benar saja? Hanya beberapa penyihir hebat yang bisa melakukannya, dan mereka hanya ada di drama televisi.

Pak Edi lanjut bicara. Kali ini suaranya sangat pelan. Aku tidak bisa mendengar sepatah kata pun, meski sudah mencorongkan tangan ke telinga. Barulah kuingat siapa yang sedang bersamaku sekarang. Si mencong masih berusaha menahanku untuk tidak keluar dari persembunyian.

Aneh. Ke mana perginya rasa takut itu? Melihat si mencong di hadapanku, dekat dengan mataku yang biasanya mendelik takut akan wujud gadis kecil ini, sekarang rasanya biasa saja. Dia seperti anak kecil pada umumnya. Tidak mengerikan. Jauh dalam hatiku justru mengiba. Sungguh, seolah semua tampilan misterius dan mengerikan dari gadis kecil ini lenyap. Entah terungkapnya masa lalu mereka yang mengenaskan telah membuatku luluh, atau aku hanya memikirkan bagaimana nasib mereka selanjutnya setelah Pak Jawi tiada.

"Kenapa kamu di sini?" tanyaku.

Si mencong mengangkat wajahnya. Ia juga mengangkat telunjuknya, mengarahkan jari mungil itu pada Pak Edi, atau mungkin secara khusus menunjuk benda yang Pak Edi pegang.

"Lonceng itu?" tanyaku.

Si mencong mengangguk.

"Penting? Maksudku, apa lonceng itu sangat penting?"

Lagi-lagi si mencong mengangguk.

"Sekarang, andai kamu bisa jelaskan sama aku, kenapa lonceng itu jadi rebutan, mungkin aku bisa pertimbangkan buat bantu kakek merebutnya dari Pak Edi," tuturku.

Si mencong tampak bingung. Bisa jadi dia mengerti maksud perkataanku, hanya saja kemampuan dan kosa katanya terbatas untuk menjawab. Aku tidak memaksa. Kubiarkan dia duduk di sampingku, sementara aku kembali memata-matai pergerakan Pak Edi. Pria itu tampak menjelakan sesuatu, tapi kali ini suaranya pelan dan aku sama sekali tidak bisa mendengar. Hal menarik apa yang ia bicarakan sampai wajahnya terlihat semringah.

"Ka-kakak ... ma ...."

"Oh, ayolah, berhenti manggil kakak. Kalaupun cuma itu yang bisa kamu katakan, setidaknya simpan buat nanti. Tahu nggak, aku masih sering gemetar setiap kali dengar suaramu manggil kakak."

"Kakak ... marah ...."

"Aku nggak marah, maksudku, ya, aku marah, tapi nggak marah. Lihat! Aku sampai bingung harus ngomong apa."

Si mencong meraih kedua tanganku, ia mendongak, rambut panjangnya tersibak dan wajahnya terlihat dengan jelas. Bibirnya yang miring itu bergetar, dan matanya berkaca-kaca. Perlahan mulutnya terbuka.

"Kakak kami ... marah. Kakak kami marah."

"Kakak kalian? Siapa yang kalian maksud?"

BODOH!

Itu suara kakek. Terlepas sifatnya yang sering membuat kesal, kakek termasuk orang yang jarang mengumpat. Setidaknya secara terang-terangan. Sepertinya Pak Edi mengatakan sesuatu yang sangat bodoh sampai-sampai kakek tidak sempat menyusun sarkasme andalan.

"Mungkin," jawab Pak Edi.

Kulihat ia mendekati kakek. Saat itu juga Pak Muhadi dan orang bertopeng itu berdiri. Mereka meraih sekop, dan bersiap-siap di samping kuburan.

"Saya sama sekali tidak ada niatan memusuhi sampean, Kang Saleh. Jadi tolonglah, pulang. Biarkan kami selesaikan semua ini, lagipula kami tidak merugikan orang lain. Sejauh ini tidak ada orang yang terluka, tapi akan ada satu kalau sampean masih ikut campur."

Kakek tolah-toleh, kanan, kiri, atas, bawah.

"Siapa?" tanya kakek, berlagak bingung.

Pak Edi tidak menjawab. Bahkan dalam posisi terikat, ia tidak menang berdebat melawan kakek. Aku tidak tahu bagaimana caranya. Kakek cuma sekolah sampai SD, tidak lancar membaca, ia tidak pandai bicara dalam acara formal, karena itu jarang diundang rapat. Namun, dalam perdebatan, bahkan sekelas Pak Camat pun bisa mendadak bodoh serta kehabisan kata-kata melawan kakek.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang