CHAPTER 22

3K 428 10
                                    

Tengah malam tidak pernah seramai ini. Aku terpaksa memelankan laju motor, karena kerumunan orang di setiap rumah yang kulewati hampir menutupi separuh jalan. Di pemukiman yang padat, dan punya jalan sempit seperti ini, harusnya aku turun dari motor, kudorong sambil menyapa setiap orang, terus begitu sampai ke jalan beraspal. Namun, situasi ini memaksaku untuk tidak menggunakan seratus persen sopan santun. Motor tetap kukendarai, dan alih-alih menyapa setiap orang, aku terpaksa membunyikan klakson serta menggeber agar diberi jalan.

Mulai terdengar lantunan ayat suci di musala terdekat, dan segera disusul oleh musala lainnya. Orang-orang ini tidak tahu apa yang terjadi, pun tidak tahu apa yang harus dilakukan. Berdoa adalah satu-satunya jalan, karena aku pun merasa ada hal tak kasatmata yang sedang bermain di balik layar.

Sampai ke jalan beraspal, aku segera menambah kecepatan. Kebut-kebutan melewati jalan sepi yang diapit sawah dan kebun pisang, hingga akhirnya sampai ke Sumbergede bagian tengah, melewati kawasan pesantren yang mulai sepi karena para santri sudah harus berada di asrama masing-masing. Barulah ketika memasuki bagian selatan desa, di mana pemukiman warga mulai terbagi menjadi beberapa gang, termasuk gang Kadal, aku merasakan atmosfer yang sama seperti di rumah Erik.

Rumah-rumah di pinggir jalan ramai oleh warga, dan sepertinya rumah di dalam gang juga demikian. Kupacu motor Erik lebih cepat lagi. Tak sabar untuk segera sampai ke rumah. Namun, terpaksa aku injak penuh rem motor saat melewati Gang Kadal. Nyaris saja aku hilang keseimbangan. Roda berdecit menggaruk aspal, hingga motor berubah haluan, dan berhenti di tengah jalan.

"Yang ba-barusan itu, apa?" gumamku seraya terengah-engah. Debar jantung masih sangat cepat karena baru saja selamat dari kecelakaan.

Tiba-tiba saja sesuatu yang besar melintas di hadapanku. Sesuatu yang hitam, gelap, berjalan dengan empat kaki, lalu hilang di bawah tiang lampu jalan. Kemudian, di bawah tiang lampu yang sama, kulihat tiga orang anak sedang berdiri. Mereka adalah Si Gendut, si Juling, dan si Mencong.

Persetan dengan mereka, aku tak mau menunggu degup jantung mereda, kembali kutarik tuas gas motor, lalu melanjutkan sisa perjalanan dengan kecepatan penuh, berharap tidak ada lagi kejutan dari anak-anak itu, karena akan sulit meminta maaf pada Erik kalau motor peninggalan bapaknya sampai lecet karena kubawa meluncur di aspal.

KAKAK

Dapat kurasakan seseorang duduk di jok belakang, berbisik tepat di belakang telinga. Rasanya semua bulu halus di tubuhku berdiri, tapi saat kuperiksa melalui kaca spion, tidak ada siapa pun di sana. Selama ini aku selalu menganggap mereka hanya anak kecil, tapi kalau begini cara mereka mengajak bermain, maka aku harus menanggapi mereka dengan cara seharusnya.

"Bismillah"

Kubaca ayat suci. Mulut merapal, mata sebisa mungkin fokus pada jalan. Telinga masih mendengar sayup suara mereka, dan badan berkeringat dingin meski sudah diterpa angin. Doaku tak pernah putus hingga akhirnya sampai di gapura Sumbergede, barulah semua gangguan itu hilang. Aku berhenti sejenak. Mencari celah masuk ke jalan besar di antara bus dan truk yang lewat. Dapat kudengar tukang becak mengobrol dengan intonasi yang gawat. Sepertinya mereka sedang membahas tentang sesuatu yang terjadi di desa. Aku pun tak sabar sampai rumah untuk segera membahas ini bersama kakek, dan kali ini aku harus memaksanya mendengar serta menanggapi dengan serius.

***

Sesampainya di rumah, kudapati kakek dan Mbah Sopet sedang duduk kelelahan di ruang tamu. Mereka tidak terlalu peduli akan kedatanganku. Kakek pun hanya bertanya dari mana, lalu kembali memejamkan mata saat kujawab. Ini tidak sesuai perkiraan. Harusnya kakek marah karena rumah aku tinggal, atau setidaknya marah karena aku pulang terlalu malam. Namun, dua orang ini seolah baru kembali dari medan perang. Napasnya ngos-ngosan, keringatnya masih mengembun di kening dan leher.

Melihat tidak satu pun minuman yang tersaji di meja, aku berinisiatif pergi ke dapur membuatkan kopi untuk mereka, dan tentunya untuk diri sendiri. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengan kakek, aku berharap dengan ngopi bersama, mereka bisa menganggapku setara dan tidak lagi acuh serta menutup-nutupi.

***

"Ngapain kamu di sini?" tanyaku pada gadis bercadar merah yang sedang menyeduh kopi di dapur.

"Bikin kopi," jawabnya, tanpa rasa sungkan atau sekadar menoleh padaku yang merupakan tuan rumah.

Kendati beralasan membuat kopi, gadis ini tampak kikuk dan canggung. Ia memasak air dengan panci besar yang biasa aku pakai membuat sup sayur, lalu menuangkan lima sendok bubuk kopi ke dalam satu cangkir kecil, disusul satu sendok gula pasir. Aku masih memperhatikannya dengan heran, barulah saat dia menuangkan air panasnya ke masing-masing cangkir, aku merasa harus menghentikan kegilaan ini.

"Stop!" seruku saat melihat air panas melubar ke berbagai arah, membuat kopi buatan gadis itu tumpah membanjiiri meja.

"Kamu ... kamu nggak pernah bikin kopi, kan?" tanyaku.

Gadis itu menunduk, tidak menjawab, tapi bisa kuterka kalau dia sedang malu. Aku pun tidak asal menuduh. Perbandingan takaran kopi dan gulanya saja sudah bikin sakit perut, cara dia menuang air juga seperti anak kecil bermain masak-masakan. Kalau sampai kakek dan Mbah Sopet minum kopi buatan gadis ini, bisa-bisa mereka tidak tidur sampai lebaran.

"Kamu dari mana?" tanya gadis itu.

Ini pertama kalinya dia mengajakku ngobrol.

"Dari rumah teman, di Sumbergede utara."

"Apa di sana juga lagi gawat?" tanyanya lagi.

Sembari mengulang kopi buatannya yang berantakan, kupikir tidak ada salahnya bercerita. Kujelaskan apa yang sedang terjadi di sana, tidak peduli gadis ini mau percaya atau tidak.

"Sepertinya kejadian ini hampir merata di seluruh desa, terutama di rumah warga yang punya anak kecil," ucap gadis itu.

"Ya, pas pulang barusan, aku juga ngelihat kondisi yang sama di beberapa rumah."

Selagi menunggu air mendidih, aku putuskan untuk memperpanjang obrolan ini. Lagipula gadis itu tampaknya tidak mau pergi, malah duduk di kursi meja makan sambil memperhatikan setiap tahapan proses pembuatan kopi seolah sedang mempelajari.

"Menurutmu, apa ini ada hubungannya dengan Pak Jawi?" tanyaku.

Gadis bercadar itu menggigit jari telunjuknya, menampakkan lekukan bibir yang tertutup kain merah.

"Pak Ahsan sudah meninggal."

"Kalau gitu, gimana sama anak-anaknya?"

Rupanya ia menunjukkan sikap yang sama seperti kakek dan Mbah Sopet. Aku tidak keberatan kalau diabaikan oleh orang tua, tapi diremehkan gadis yang lebih muda dariku seolah aku belum cukup dewasa untuk terlibat, membuatku sebal.

"Tadi anak-anak itu datang ke sini. Kemarin juga, kemarinnya lagi juga. Aku juga ngelihat mereka di pinggir jalan, aku bisa ceritakan yang lebih gila lagi tentang mereka kalau kamu mau."

"Mereka hilang," jawab gadis itu.

"Hilang?"

"Ya, beberapa warga masih berusaha mencarinya, tapi sepertinya mereka sudah nggak ada di desa."

"Nggak ada di desa? Aku lihat dengan mata kepala sendiri, mereka—"

"—yang hilang cuma keenam anak cacat itu," sela si gadis bercadar.

"Terus?" tanyaku sambil melongo, heran.

"Ada satu yang masih bertahan di sini, dan sepertinya nggak mau pergi."

"Siapa?"

Gadis itu berdiri, mendekatiku, lalu membisikkan sesuatu.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang