CHAPTER 21

2.8K 425 19
                                    

Jeritan anak kecil kini jadi paduan suara di malam hari. Dari beragam tingkat nyaringnya suara, aku asumsikan kejadian ini telah menyeluruh di kompleks perbatasan utara. Derap kaki kalang-kabut terdengar di luar, disertai ributnya warga yang tengah gamang. Menindaklanjuti pertanyaanku barusan, kami bertiga lekas pergi memeriksa Faza, adik Erik yang masih berusia tiga tahun. Aku khawatir anak itu mengalami kejadian serupa, karena sejauh ini yang jadi korban hanya anak kecil saja.

Menurut Erik, Faza biasa tidur di kamar ibu mereka, tapi saat kami sampai di sana, anak itu justru tidak ada. Tempat tidurnya kosong, tinggal bantal, selimut kusut, dan bantal guling yang jatuh ke lantai. Wajar jika Erik dan Yanti panik.

"Cari di dapur!" gagas Erik.

Lekas dua bersaudara itu pergi ke dapur, sementara aku tinggal di kamar karena mencurigai sesuatu. Ada meja rias di samping tempat tidur, dan dari bawah kolong meja itu aku menangkap adanya pergerakan.

Saat aku jongkok untuk memeriksa, kudapati sosok berbulu merah, lebat, dengan mata bundar yang hanya sebelah.

"Ya, ampun, Dek!" pekikku kala melihat Faza tengah bersembunyi di kolong meja sambil memeluk boneka beruang merahnya. Segera kugendong anak itu, lalu memanggil Erik dan Yanti.

"Oy, Faza ada di sini!"

Keduanya bergegas kembali, menemuiku di pintu kamar. Erik dan wajah paniknya, Yanti dengan air mata deras dan bibir mewek yang sedikit lagi meledak jadi tangisan.

"Kamu nggak apa-apa, Dek?" tanya Yanti, berusaha mengambil alih Faza.

Sebelum serah terima dilakukan, aku bawa Faza ke ruang tamu karena di sanalah ruang yang paling luas. Cukup luas untuk tiga orang berdiri tanpa berdesakan, cukup lega untuk tiga kepala panas yang sedang gelisah. Kubaringkan Faza di kursi panjang, lalu aku sedikit menjauh, membiarkan kedua kakaknya memeriksa secara menyeluruh.

Kondisi Faza tampak baik-baik saja. Tidak teriak dan kejang-kejang seperti anak-anak lainnya. Aku hanya sedikit mengkhawatirkan diamnya anak itu yang tidak wajar. Tatapannya kosong, tubuhnya lemas, ia tidak bereaksi apa-apa saat kedua kakaknya mengajak bicara.

"Ketemu di mana?" tanya Erik.

"Sembunyi di bawah meja sambil meluk boneka."

Erik mendekati jendela, memeriksa ke rumah tetangga. Kulihat anak kecil bernama Aim masih menjerit di teras, tapi kali ini sudah ditemani keluarganya.

"Aku takut kalau Faza juga seperti itu," ucap Erik.

"Ini lebih mirip kesurupan nggak, sih?" tanyaku sambil mendekati Erik ke jendela.

"Iya, tapi aku nggak pernah dengar ada anak kecil kesurupan."

Kami sama-sama melihat ke luar, lalu membandingkan situasi yang tengah dialami tetangga dengan kondisi Faza yang bisa dibilang lebih tenang dibanding mereka. Apalagi setelah dipeluk dan dipangku Yanti, Faza sudah mulai mau bicara. Aku dan Erik menghampiri anak malang itu.

"Adek kenapa sembunyi?" tanya Yanti.

"Faza takut, Mbak. Ada hantu," ucap Faza terbata-bata.

Aku dan Erik saling lirik. Tak terucap, tapi seolah pikiran kami tengah menanyakan hal yang sama. Hantu?

"Nggak ada hantu. Faza cuma mimpi," hibur Yanti.

"Ada, hantunya kecil, terus anunya hitam. Hitam semua."

"Anunya, hi-tam?" tanyaku sambil mengernyit, mencoba menyimpulkan apanya yang hitam, karena kata 'Anu' bisa jadi punya seribu makna berbeda, tergantung bersih dan kotornya pikiran seseorang.

"Mukanya?" tebak Erik.

"Semuanya hitam. Ada tanduknya dua. Terus matanya merah, takut."

Faza membenamkan wajahnya ke dekapan Yanti. Kami sepakat tidak memaksa anak itu mendeskripsikan ketakutannya lagi, dan fokus menenangkan Faza, terlebih setelah anak itu bertanya kenapa di luar ribut sekali, dan kenapa Aim menangis.

"Udah jangan takut lagi, di sini ada Cak Dani, dia calon kiai, jadi hantunya pasti udah pergi sekarang, ya kan, Cak? Oy, Cak?"

Erik sampai menoleh ke belakang karena aku tidak menjawab, dan tanpa sadar juga aku sedikit menjauh dari mereka.

"Kenapa?" tanya Erik.

Aku hanya menggeleng. Bagi Erik dan Yanti, apa yang dikatakan Faza mungkin hanya terdengar seperti mimpi buruk anak kecil, tapi bagiku lebih dari itu. Merangkum pengalaman Sugik, memadukannya dengan sosok hitam misterius yang beberapa kali kulihat, cerita dari Faza seperti melengkapi kepingan gambar besar yang meski belum utuh, setidaknya mulai bisa kumengerti.

"Pi-pinjam motor," ucapku.

"Hah?"

"PINJAM MOTOR, AKU MAU PULANG!"

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang