CHAPTER 27

972 108 5
                                    

"Mereka bilang sesuatu sama kamu?" tanya kakek.

Sejujurnya aku tidak ingin membahas ini di meja makan, bisa-bisa sarapanku akan terasa mentah sampai jam makan siang. Namun, karena kakek mendiamkan nasi bungkusnya demi menunggu jawaban, terpaksa aku ladeni percakapan ini meski sambil menggerutu.

"Cuma minta tolong," jawabku singkat.

"Terus?"

"Mereka hilang."

"Lah, kenapa tidak sekalian kamu tanya mereka ada di mana?"

"Kek, mereka hilang. Hi-lang," ulangku dengan penakanan, karena sepertinya kakek tidak menangkap maksud ucapanku.

"Terus?"

"Setelah kebakaran di rumah Pak Jawi, keenam anak itu udah nggak seperti anak-anak biasa. Sebelumnya kalau mereka ke sini, paling lewat pintu itu, atau ngintip di jendela, tapi sekarang mereka bisa muncul dan hilang gitu aja. Wujud mereka juga—maaf—pucat, penuh luka, seperti mayat. Aku nggak yakin mereka masih hidup."

"Kamu mau bilang kalau mereka itu...."

"Ya," jawabku.

"Pesulap?"

"HANTU!" seruku, jengkel.

Kakek terbahak-bahak, batuk-batuk, lalu tertawa lagi sambil menempelkan telunjuk miring di keningnya, mengejekku seolah aku sudah gila. Sekarang aku tidak akan heran lagi kenapa bapak sering marah sama kakek.

"Hari ini ada acara?" tanya kakek.

"Gak. Napa?"

"Ikut kakek."

"Ke mana, Kek?"

"Ke hutan."

***

Sudah lama aku tidak ke hutan Sumbergede. Terakhir kali kulewati jalan setapak yang diapit dua ladang jagung ini, adalah ketika liburan ramadan tahun lalu. Kukira kakek mau mengajakku ke rumahnya, tapi saat ladang jagung berakhir dan menjelma menjadi pepohonan, kakek justru memintaku belok ke kanan, melewati jalan sempit menuju ke jantung hutan.

"Sebenarnya kita mau ke mana, Kek?" tanyaku, sambil tetap berkonsentrasi mengendari motor karena jalan becek dan bergelombang.

"Terus saja!" kata kakek.

Aku menurut, meski sekarang aku mulai merasa kalau sebenarnya kakek tidak berniat mengajakku. Tidak butuh aku kecuali sebagai supir. Dalam perjalanan, tiga kali kami berpapasan dengan warga yang pulang mencari rumput. Terpaksa kami harus berhenti, menepi, karena rumput yang mereka bawa di jok belakang sudah cukup menyita jalan.

"Pangapora, Kang," ucap mereka, ramah.

"Engghi, nyara," sahut kakek.

Selanjutnya, aku berharap tidak bertemu pencari rumput lagi, karena perjalanan kami di medan yang sulit ini jadi makin rumit dan melelahkan.

Sampailah kami di jembatan lori. Jembatan yang membentang di atas sungai Sumbergede itu masih kokoh meski pagar pengamannya sudah mulai berkarat. Jembatan itu dulunya hanya dilalui oleh kereta lori pengangkut tebu. Relnya terhubung dengan jalur lori di kota Asembalur. Sekarang, karena jalur ini tidak lagi terpakai, dan kereta lori tidak lagi masuk hutan, jembatan itu pun digunakan warga untuk menyeberang.

Ada dua orang yang sudah menunggu kami di jembatan. Setelah memarkir motor di pinggir jalan, dekat dengan sungai, aku dan kakek menemui mereka yang ternyata adalah Mbah Sopet dan Kang Gusafar. Mereka melambaikan tangan dari tengah jembatan, menyapa kedatangan kami.

"Ngapain mereka di sini?" gumamku.

Seumur hidup, hanya dua kali aku pergi ke jembatan lori. Pertama saat latihan pramuka semasa SD dulu, kedua saat bermain bersama Sugik dan teman-teman sepulang madrasah. Setelah bertahun-tahun tidak ke sini, jembatan Lori ternyata tidak banyak berubah. Kain merah yang melilit salah satu terali pagarnya pun masih ada, dan di sanalah Kang Gusafar serta Mbah Sopet berdiri melihat ke bawah sungai yang sedang deras.

"Maulida sudah bilang sama Kakeh?" tanya Mbah Sopet.

"Ya, tadi pagi dia ke rumah. Katanya Gusafar nemu sesuatu di hutan."

"Itu," Kang Gusafar menunjuk ke bawah, ke pinggir sungai.

Jarak antara permukaan air sungai ke jembatan adalah sekitar empat meter. Melihat dengan saksama dari ketinggian, aku langsung bisa menerka apa yang sedang berceceran di samping batu sungai.

"Bangkai sapi, lagi?" gumam kakek. "Tapi punya siapa? Saya tidak dengar ada kabar warga Sumbergede kemalingan sapi."

"Di Sumbergede tidak, tapi di Taman Anyar ada. Aku baru saja dari sana."

Taman Anyar adalah dusun kecil di Kecamatan Banyusirih. Sekitar satu kilometer menyusuri rel kereta lori ke barat jembatan. Aku belum pernah ke sana, tapi salah satu teman madrasahku berasal dari Taman Anyar. Menurutnya, sejak jalur lori ke Sumbergede ditutup, dan Taman Anyar menjadi pemberhentian terakhir kereta pengangkut tebu, akses jalan ke Taman Anyar jadi lebih bagus. Listrik dan air bersih pun sudah tidak lagi jadi masalah.

"Ada warga sana yang kehilangan sapi?" tanyaku.

"Ya, sepertinya sapi mereka dicuri saat malam, tapi mereka baru sadar saat subuh," tutur Mbah Sopet.

"Mau gimana lagi. Taman Anyar diapit antara ladang tebu milik pabrik gula dan hutan ini. Maling jadi gampang kabur."

"Kamu sudah lihat ke bawah?" tanya kakek.

Kang Gusafar menunjuk sandal jepitnya yang putus, serta kedua kakinya yang basah dan berlumpur.

"Aku sama Gusafar sudah periksa tadi, dan ternyata benar, kondisi sapinya mirip sama sapi milik Mursid."

"Tercabik, terburai, terbantai," sambung Kang Gusafar.

Mendengar penjelasan Mbah Sopet, aku berasumsi pencurinya adalah orang yang sama. Hanya saja, tiga orang tua ini tampak tidak menyimpulkan demikian, mereka seperti menemukan petunjuk lain dari pencurian sapi kali ini.

"Berarti benar, anak-anak itu sembunyi di hutan ini," gumam kakek.

"Sembunyi, atau disembunyikan," ucap Kang Gusafar.

"Enam anak? Maksudnya anak-anak Pak Jawi ada di hutan ini?"

Aku yang berniat diam saja mendengarkan, tak bisa menahan diri untuk terlibat dalam percakapan. Mbah Sopet pun mengangguk, membenarkan.

"Terus apa hubungannya sama pencurian sapi?" tanyaku lagi.

Kakek menepuk pundakku. Bersamaan dengan itu, cara Mbah Sopet dan Kang Gusafar melihatku juga seolah aku sudah tahu jawaban sebenarnya, dan menyuruhku menerima semua fakta.

"Ma-maksudnya, pencuri ternak di desa selama ini adalah ...."

"Ya, keenam anak itu."

"Mustahil!" tepisku. "Anak kecil mencuri sapi yang ukurannya dua kali lebih besar dari mereka, gimana caranya?"

"Kalau kami tahu caranya, pencurian ini sudah berhenti di kasus pertama," sahut Mbah Sopet.

Sulit membayangkan keenam anak itu adalah dalang di balik pencurian sapi. Bahkan dengan jumlah mereka yang berenam sekalipun. Dugaan Kakek, Mbah Sopet, dan Kang Gusafar secara tidak langsung membenarkan tuduhan Pak Muhadi waktu itu. Keenam anak itu memang sudah menyebabkan banyak masalah, terlebih pasca meninggalnya Pak Jawi, tapi mencuri ternak, tidakkah itu bertentangan dengan cerita kakek yang menyebutkan kalau anak-anak itu tidak pernah mencuri dari warga?

"Belum ada warga yang tahu tentang ini?" tanya kakek.

"Sekarang belum, tapi waktu kami turun buat memeriksa tadi, ada tiga orang pencari rumput dari Sumbergede yang ikut. Tidak lama lagi pasti kabar ini tersebar," tutur Mbah Sopet.

"Sebelum tempat ini ramai, sebaiknya kita kasih tahu orang di Taman Anyar dulu," gagas Kang Gusafar.

"Dan sebelum warga curiga anak-anak itu ada di hutan ini, sebaiknya kita segera temukan mereka," pungkas kakek.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang