CHAPTER 20

2.9K 414 24
                                    

Erik membawaku ke rumahnya. Ia suguhi aku secangkir kopi, dan tiga stoples kue kering. Tanpa ragu aku menyeruput kopi susu instan yang manisnya luar biasa, sementara kue kering itu baru aku sentuh setelah Erik bersumpah bahwa itu bukan sisa lebaran tahun lalu.

Rumah Erik berada di perbatasan antara Sumbergede dan Desa Leduk. Karena sama-sama tinggal di perbatasan, di dua mata angin yang berbeda, kami harus menempuh jarak jauh untuk berkunjung ke rumah masing-masing, atau memilih titik tengah yakni di warung Nyai Munah.

Erik tinggal bersama Ibu dan kedua adiknya. Bapaknya meninggal ketika kami sama-sama duduk di kelas dua Ibtida'iyah—setara kelas dua SD—dan sejak saat itu ibunya menjadi tulang punggung keluarga dengan berjualan kue basah di pasar. Kondisi itulah yang memaksa Erik berhenti sekolah setelah lulus Tsanawiyah, dan memutuskan untuk bekerja agar mampu menyekolahkan adik pertamanya yang duduk di bangku SMP, atau membeli susu untuk adik kecilnya yang baru berusia tiga tahun.

Orang-orang mungkin akan iba dengan kisah hidup Erik, tapi sebaiknya tidak diucapkan di hadapannya, karena si pirang ini sangat benci dikasihani. Dia pernah membuat teman sekelas babak belur gara-gara mengucapkan belasungkawa atas meninggalnya sang bapak.

Kali ini Erik lebih banyak diam. Sepertinya dia menunggu aku bercerita, sambil menggeleng heran melihatku melahap habis kue kering yang ia sajikan.

"Lapar?" tanya Erik.

"Iya, hari ini cuma makan gorengan. Ada makanan lagi?" tanyaku, tak tahu malu.

"Ada sisa kue jualan ibu yang nggak habis, tuh. Onde-onde, lemper, tahu isi,"

"Aku mau semua!"

Erik memberi isyarat pada Yanti, adik perempuannya yang sejak tadi mengintip dari balik pintu kamar. Kalau dipikir-pikir, setiap kali aku main ke sini, Yanti selalu mengintip dari pintu kamarnya, dan langsung sembunyi kalau aku pergoki.

"Anak-anak itu datang lagi?" tanya Erik.

Aku mengusap bibir dengan punggung tangan, menyandarkan punggung yang lelah, lalu mengangguk.

"Ya, setiap kali mereka berkunjung, tingkahnya jadi lebih berani."

"Memangnya pintu rumah nggak kamu kunci?"

Aku mencondongkan badan ke depan. Berharap dengan sikap seperti ini, Erik percaya apa yang hendak aku jelaskan.

"Aku sudah kunci semua pintu, semua jendela, tapi mereka tetap bisa masuk ke dalam rumah."

"Dicongkel?" tanya Erik, ngeyel.

"Enggak. Nggak ada satu pintu atau jendela pun yang rusak. Awalnya mereka masuk lewat pintu dapur, tahu, kan, pintu yang ke tempat jemur baju itu?"

"He-em," Erik mengangguk.

"Nah, setelah kejadian itu, grendel pintunya aku perbaiki. Aku juga tambahin plang kayu biar susah dibuka, tapi mereka tetap saja bisa masuk nggak tahu dari mana."

"Lubang tikus?" celetuk Erik.

"Bodoh!"

Aku jarang mengumpat, mungkin karena itu Erik sampai kaget.

"Ya, terus lewat mana?"

"Aku juga bingung. Nggak usah jauh-jauh mikirin gimana cara mereka masuk, jarak rumahku sama rumah mereka aja jauh banget. Anak seumuran itu jalan kaki ke rumahku malam hari aja udah nggak beres. Satu-satunya hal nggak masuk akal yang bisa membuat kejadian ini masuk akal cuma satu."

"Apa tuh?" Erik antusias.

"Mereka bukan manusia."

"He-hewan? Serangga?"

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang