CHAPTER 23

6.5K 546 103
                                    

Pembahasan tentang Pak Jawi aku bawa ke ruang tamu, melibatkan kakek dan Mbah Sopet, dan tentu saja si gadis bercadar. Di luar dugaan, kali ini kakek bersikap lebih terbuka. Mulai dari mengakui bahwa Pak Jawi memang punya anak, serta mempercayai segala ceritaku tentang kunjungan keenam anak itu ke rumah ini. Mbah Sopet juga tidak lagi menampik dugaan bahwa yang dialami Sugik bukanlah kecelakaan biasa, melainkan ada campur tangan gaib di sana.

Obrolan kami mulai mengendur ketika membahas hilangnya keenam anak itu. Tidak lagi lancar dan bersahutan, semua sibuk berpikir dan bertanya, sementara tidak satu pun dari kami yang punya jawabannya. Kesaksianku yang pernah bertemu dengan mereka pasca kebakaran sepertinya tidak cukup membantu, karena langsung dipatahkan oleh teori munculnya anak ketujuh.

"Anak ketujuh ini yang mana? Setahu saya, mereka cuma berenam. Si Mencong, si Gendut, si Buntung, si Pincang, si Jangkung, dan si Juling."

"Kamu yang menamai mereka?" tanya kakek.

"Nggak, sih. Cuma manggil berdasarkan ciri-cirinya."

Gadis bercadar yang dari tadi berdiri di samping Mbah Sopet—ya, untuk sebuah alasan yang entah apa, dia tidak mau duduk—akhirnya pindah ke sampingku karena Mbah Sopet mulai menyalakan rokok.

"Kamu bilang kalau anak-anak itu yang menyerang Pak Muhadi dan kawan-kawannya, apa waktu itu mereka cuma berenam?" tanya Mbah Sopet. Asap rokok menembak-nembak dari mulutnya.

"Ya," jawabku.

"Anak ketujuh itu tidak mungkin ikutan, setidaknya tidak secara langsung," ujar kakek.

"Maksudnya?" tanyaku.

"Soalnya, bisa jadi dia bukan manusia."

Kali ini si gadis bercadar yang menjawab.

"Bukan manusia?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan terakhirku. Akhirnya kucari jawabannya sendiri berdasarkan apa yang aku lihat, dan aku alami selama ini. Jika memang ada makhluk gaib yang tinggal di rumah itu, atau secara sengaja dipelihara oleh Pak Jawi, maka hal itu membuat beberapa kejanggalan terasa masuk akal. Lonceng sapi misterius, lembu hitam, lalu satu lagi yang akhirnya muncul di ingatanku, yakni sosok hitam yang beberapa kali kulihat bersama keenam anak itu. Sosok bertubuh pendek seperti anak-anak yang muncul di tempat menjemur pakaian, dan berdiri di teras rumah Pak Jawi saat keenam anak itu mengamuk. Mungkinkah dia yang dimaksud dengan anak ketujuh?

"Saya pulang dulu."

Mbah Sopet pamit sambil menguap berkali-kali. Kakek juga sepertinya sudah lelah sekali. Diskusi di ruang tamu pun bubar dengan tetap menyisakan banyak pertanyaan.

"Maulida, kamu perlu diantar pulang?" tanya kakek pada gadis bercadar.

Oh, namanya Maulida, gumamku.

"Nggak usah, aku bawa sepeda sendiri," ucap Maulida.

Dia pun pamit, kakek juga beranjak pergi ke kamar, tinggallah aku sendirian di ruang tamu memandangi tiga cangkir kopi yang sama sekali tidak mereka sentuh, merenung memikirkan liburanku yang tidak seru. Desa ini sedang tidak tenang, dan tanpa sadar aku terseret masuk dalam konflik mereka. Sejujurnya, aku mulai menyesal. Jika tahu akan seperti ini, aku pasti memilih liburan di pesantren saja.

***

Selepas sarapan, kakek minta diolesin obat dari Pak Jawi. Aku mulai terbiasa dengan baunya yang menyengat, jadi tidak lagi ada drama mual yang membuat kakek sebal. Hebatnya, sebagian luka di punggung kakek sudah mulai mengering. Hampir tidak kulihat ada nanah, pinggiran lukanya juga tidak lagi merah, kakek juga tidak meringis perih. Obat dari Pak Jawi benar-benar bekerja dengan baik.

MISTERI ANAK-ANAK PAK JAWI (BASED ON URBAN LEGEND)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang