BAB IV

302 43 0
                                    

Pemuda itu duduk sendirian di sana. Di atas tepi tanggul seraya melipat dua lutut yang tertekuk. Pandangannya lurus menatap laut hitam di bawah sinar bulan. Rautnya sedikit murung, masih terpengaruhi dengan apa yang terjadi beberapa jam yang lalu. Dia meninggalkan rumah dengan raut terkejut ibunya untuk terakhir kali.

Angin malam berhembus. Menerbangkan helaian rambut cokelat gelap yang halus. Helio bahkan tidak terpengaruh dengan dinginnya sekalipun. Bermodal pakaian sekolah, beruntung kamejanya berlengan panjang walau ujungnya terdaat noda merah bekas perkelahian.

Helio menghela napas. Bersama dengan angin berhembus kesekian. Dia menjatuhkan kakinya, mengangguntung di tepi tanggul tanpa rasa takut. Kala melirik air tepat di bawah, bibir Helio kian bertambah menurun. Menyadari betapa menyedihkan dirinya sendiri.

Sisi kanannya ada tas kebanggan yang selalu Helio bawa. Masih dengan isi yang sama. Helio hanya membuka dan membiarkan isinya mengintip. Masih kepalang sakit dengan suruhan ibunya perihal membuang buku jurnal ayahnya.

Entah, tapi Helio sudah terlanjur lelah dengan kekangan ibunya. Tidak menyadari bahwa wanita itulah yang egois dan keras kepala. Selalu menolak apa pun yang menjadi pilihan. Helio mendengkus kecil dan mengkerut karena itu.

"Apa salahnya menjadi 'pejalan kaki liar'? Tidak ada yang dibanggakan? Ayah bahkan berhasil ke Tanah Yang Hilang. Itu lebih dari membanggakan. Ibu tidak tau apa-apa," racaunya sendirian.

Batu kerikil yang tidak jauh dari posisinya ikut menjadi korban kekesalan. Dilempar jauh hingga tenggelam ke dasar lautan.

Namun, rasa sesalnya kembali datang. Helio meramat rambut dan sedikit berteriak. Harap-harap gundahnya bisa berkurang.

"Kau bisa mengganggu orang lain karena teriakan tidak jelasmu itu."

Helio tersentak. Hampir saja jatuh ke lautan jika tidak sigap dengan cepat. Dia menoleh ke kiri, mendapat seorang pemuda dengan mantel tebal yang membaluti diri.

"Apa-apaan kau? Mengejutkanku saja," tutur Helio seraya menggeser tubuhnya.

Pemuda yang muncul tiba-tiba itu hanya membalas dengan tatapan diam sebelum membuang pandangan ke laut luas. Lain dengan Helio yang kembali mengerutkan keningnya.

Pemuda yang tengah bersamanya ini terlalu asing. Baru pertama kali dia temui. Helio punya rasa percaya diri yang besar. Mengenal seluruh warga kita sederhana ini. Hal itu juga terpengaruh dengan warga yang kenal dengannya.

"Siapa kau? Kau bukan penduduk dari sini," ucap Helio.

Pemudia itu melirik. Namun, tetap enggan membuka mulut lagi.

Helio pun kembali bungkam. Matanya menelisik dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan heran sebelum mendelik bahu dan membuang muka menatap laut. Mungkin hanya pendatang sementara prediksi Helio.

Keduanya kemudian tenggelam dalam keheningan. Memiliki arah yang sama ke mana mata memandang. Meski sejatinya, Helio merasa sedikit canggung dengan kehadiran pemuda asing ini.

Dia melirik lagi. Kali ini terpaku pada mantel gelap panjang yang menutup seluruh tubuh pemuda. Terlihat mahal untuk matanya sebagai warga kota sederhana. Belum lagi dengan alas yang menggunakan sepatu kets kulit hewan. Helio bisa menebak dari tampilan kalau pemuda tersebut memanglah seorang pendatang.

Sky Dream || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang