BAB XXIX

158 35 0
                                    

"Jade!"

"Bocah sialan!"

Semuanya terkejut. Helio kembali berontak hendak melepaskan diri dari tahanan Markus. North menghampiri seraya memisahkan saudara tirinya dengan pedang dan Juan. Pemuda tinggi itu sendiri bahkan tidak bisa melepas kata apa pun selain terbelalak dengan bulir bening yang  masih berjalan pelan menyusuri pipinya.

Tetes demi tetes jatuh ke tanah kering tandus. Jubah hitam kian berwarna pekat bercampur dengan warna merah kental. Pedang tajam itu pun jatuh di bawah. Dengan noda merah yang mengambil seperempat bagian ujungnya.

"Jade! Kau baik-baik saja? Apa yang kau lakukan, bodoh?"

Jelas pertanyaan itu bertimbal balik dengan keadaannya. Kini tangan Jade berada di bagian tusukan pedang. Mencoba menghentikan pendaharan dengan luka yang cukup dalam.

Juan perlahan mundur. Menjatuh-dudukkan dirinya dengan tubuh yang kian bergetar. Jade menahan perih sembari terus menatapnya. Pemuda itu bahkan mengambil langkah untuk mendekat namun, ditolak dengan gelengan patah-patah milik Juan.

"Hei ...."

"Tidak."

"Dengar aku."

Namun, anak muda itu terus menolak.

"Sialan! Lepaskan aku, Markus!"

"Tenanglah!"

"Kau ini hanya bisa mengucapkan kata tenang sedari tadi! Lihatlah kondisi sekarang! Jangan sampai aku yang ikut menusukmu dengan pedang. Lepaskan aku!"

Markus mendengkus. "Coba saja. Kau menunggangi kuda pun masih susah."

"Sialan kau. Lepaskan aku!"

Menghiraukan sepasang sahabat akrab itu. Kini North ikut bertekuk lutut di samping Jade. Darah kian mengalir hampir setengah sisi kiri perutnya.

Di saat yang bersamaan, penduduk Nekros yang mengitari mereka perlahan berhenti bersuara. Sahutan-sahutan, hantaman pedang pada pedang, hingga tangisan anak kecil perlahan sirna dan tidak terdengar. Mereka yang berdiri layaknya bayangan hitam mulai menunjukkan kejelasan. Wajah orang-orang yang kembali ramah. Mereka menangis dalam senyum yang hangat.

Helio sampai berhenti memberontak. Markus ikut terdiam bersama North pun yang ikut menatap sekitar. Penduduk satu per satu menghilang bagaikan kunang-kunang dalam terangnya bulan. Terbang di udara, berkumpul menjadi satu sebelum terpecah layaknya kembang api.

Sebuah adegan muncul di langit malam. Entah bagaimana namun, itu terlihat jelas di mata mereka. Juan bahkan sampai tidak bisa menutup mulutnya yang sedikit terbuka. Membiarkan wajah sembam itu menyaksikan hal magis untuk pertama kali dalam hidupnya.

"Walikota. Tolong, hendaklah lakukan sesuatu. Penduduk kota kian banyak menjadi korban."

Suara itu membuat Juan sedikit bergerak. "Ayah ...."

"Walikota."

"Tidak apa, William. Penderitaan itu tidak akan lama. Sebentar lagi. Bersabarlah."

"Tapi—"

Adegan seorang pria tua yang mengadap langit dengan senyum. "Lahirnya manusia hanyalah sebuah percobaan, William. Dunia kita adalah ujian. Lahir menjadi jiwa yang suka rela bukanlah sebuah kesalahan. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Semuanya akan pergi. Namun setidaknya, kita tidak terlalu sedih sebab tidak pergi seorang diri. Bukan begitu, William?"  

Kunang-kunang yang menjadi satu kembali meletus layaknya kembang api mengganti adegan baru.

"Dengan jiwa para penduduk Nekros, aku mengucapkan sumpahku. Di bawah bulan purnama dengan langit tanpa bintang. Jiwa-jiwa kami akan terbang bersama dan meledak menjadi sangkar. Dunia akan tau. Negeri ini akan tau. Ratusan burung gagak yang mematuk bunga harum, bersama itu jiwa pemimpin akan hanyut dalam siksa tangisan anak-anak kami.

Sky Dream || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang