BAB XXX. NEKROS END

210 34 3
                                    

Mentari menampakkan diri. Pagi hari yang lain setelah malam ricuh dengan jiwa-jiwa yang tidak bebas. Markus lebih dulu bangun dan menyiapkan kuda-kuda mereka. North memeriksa luka Jade semalam yang hanya bermodal perban melilit perutnya. Masih ada noda merah meski tidak terlalu banyak.

Satu sisi Helio masih setia menutup mata dengan mulut yang sedikit terbuka. Pemuda itu tertidur sangat lelap setelah apa yang terjadi semalam. Bahkan jika dilihat-lihat, anak muda itu seakan tidak memiliki masalah apa pun. Masih bisa mengigau perihal makanan enak dalam tidur. Membuat Markus tidak habis pikir dengan keanehan sahabatnya itu.

Di luar, seorang pemuda tinggi berdiri seraya menatap lurus. Sinar matahari tidak bisa menyinari kulitnya sebagaimana terlindung oleh kain yang bertudung. Wajahnya memiliki beberapa bercak putih berbentuk lingkaran setengah sempurna. Mata sipitnya hanya memandang satu pusat. Tengah jalan di mana kisah semalam dirinya melakukan pertemuan dan perpisahan untuk yang terakhir bersama jiwa orang tuanya.

"Kau tidak apa, Juan?" North menghampiri. Menepuk pundak pemuda tinggi itu hingga membuatnya setengah menoleh.

Juan mengangguk. Dari semalam enggan untuk mengeluarkan suaranya. Mungkin masih merasa terpukul.

"Semuanya sudah siap. Kita bisa berangkat," sahut Markus.

"Baiklah."

North berpaling lagi. Sempat menghela napas sebelum meninggalkan Juan yang masih setia di tempat menatap lurus ke depan.

"Helio, bangun. Kita harus berangkat," tegur si pemuda bangsawan.

Namun, pemuda yang dibangunkan masih setiap memejamkan mata. Justru berguling mengganti posisi yang nyaman. Markus mendengkus. Terpaksa menggunakan cara yang tidak hormat dengan menggoyangkan tubuh Helio dengan kakinya.

"Bangun, tukang tidur."

Helio mengerang. "Jangan ganggu aku." Tangannya bergerak berkepak seperti mengusir.

"Kita harus berangkat. Kau ingin tidur sampai kapan lagi, hah?"

"Ck. Berisik."

Markus terdiam dengan raut menahan kesal. Ide terakhir yang terlintas. Menyiram wajah Helio dengan air susu penangkal sakit mereka.

"Banjir!"

North terkekeh kecil. Jade hanya menatap dengan raut biasanya dan bersiap naik ke kuda dengan sedikit bantuan saudara tirinya. Lain hal dengan Helio yang masih terperangkap antara mimpi dan kenyataan sebelum mengadah melirik Markus dengan wajah datar seraya memegang botol.

"Kau—"

"Salahkan dirimu yang sulit dibangunkan. Jika aku benar-benar bisa memanggil banjir, sudah kuhanyutkan kau sedari tadi," potong Markus.

Ujung bibir Helio terangkat sedikit membuat mulutnya menjadi miring. Sedikit berdesis namun, tidak diacuhkan oleh Markus. Pemuda bangsawan itu memilih berbalik dan bersiap naik ke kudanya. Helio mendengkus lalu berdiri. Menepuk pakaian dan meraih tasnya ikut menyusul sebelum melirik ke Juan.

"Hei, kau. Tidak ikut?"

Panggilannya membuat tiga pemuda lain ikut menatap Juan. Sementara pemuda itu menoleh dengan mata sipitnya yang menatap dengan arti campuran.

"Kami akan pergi. Dalam artian, kau akan sendirian lagi," ucap Helio kembali.

Juan masih terdiam. Dia lalu memalingkan kepalanya menatap titik di mana orang tuanya menghilang semalam. Sebuah tanaman kecil tumbuh melambai tertiup angin pagi.

"Aku tidak tau," jawabnya kemudian.

Sebelah alis Helio terangkat. Tidak mengerti dengan maksud kalimat jawaban anak muda tinggi itu.

Sky Dream || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang