BAB VIII

212 35 0
                                    

"Wah ...."

Satu kata yang mewakili semuanya. Helio tidak bisa membunyikan wajah kagumnya di tempat dia berpijak saat ini.

Kapal keluarga Markus akhirnya berhenti dan bersandar di dermaga. Berbeda dengan dermaga yang ada di kota sederhana, dinding beton yang jauh lebih kokoh berdiri dengan sangat gagah. Sebuah palang besi yang perlahan turun memberi sandaran bagi kapal yang datang. Tidak ada aksi tarik-menarik kecuali tambang yang dililitkan pada mesin berputar dengan tuas. Hal itu membuat kapal menjadi lebih mudah untuk menepi di sandaran dermaga. Alat pengangkut barang pun lebih modern. Helio bisa menyimpulkan dalam satu pandang kalau kehidupan lingkup para bangsawan memang sangat jauh dibandingkan kota sederhananya.

Helio turun bersama dengan keluarga Markus. Pemuda itu masih kesulitan menutup mulut seraya menatap kanan-kiri. Markus kembali menoleh dengan tatapan datar.

"Kau bisa menelan lalat jika tidak menutup mulutmu," tegur pemuda bangsawan itu.

Pemuda cokelat itu melirik sedikit lalu menutup mulut. "Maaf. Aku hanya belum lepas dari rasa kagum."

"Apa yang kau kagumkan?"

"Semuanya," jawab Helio seraya kembali menatap sekelilingnya.

Bahkan pakaian yang dikenakan para pekerja dermaga jauh lebih baik dibanding di kotanya. Sontak hal itu membuat Helio menatap dirinya sendiri. Pakaian yang sedikit tipis dikenakan dan celana pendek seadanya. Buru-buru pemuda itu mengambil pakaian luar bertudungnya untuk menutup diri.

Markus sedikit menyerit. "Kau kenapa?"

"Tidak apa. Hanya takut membuat kau dan keluargamu malu. Kau bisa jalan lebih dulu di depan."

"Apa maksudmu?"

Dua alis Markus terangkst bersamaan. Pemuda itu masih senantiasa menatap Helio yang merapatkan pakaian dan menutup kepalanya. Jalannya juga sedikit lambat di belakang.

Markus kemudian berhenti. "Kau ini kenapa sebenarnya? Bisakah berhenti untuk bersikap aneh?"

"Aku hanya membantu menjaga derajatmu."

Markus menatap datar kembali. "Jangan terlalu banyak tingkah." Lalu menarik lengan Helio untuk kembali berjalan sejajar.

"Kau bisa dicibir, Markus. Jaga derajat orang tuamu. Kau ini bangsawan."

"Lantas? Berpura-pura tidak mengenal hanya karena pakaianmu itu?" Markus menatapnya kembali. "Keluargaku tidak seperti itu, jadi bertingkahlah seperti biasa. Dan jangan lupa kalau kau tanggung jawab keluargaku saat ini. Salahmu yang menyusup ke kapal."

"Tapi bagaimana jika-"

"Tidak perlu kau dengar," sela Markus cepat seakan tahu ucapan yang Helio hendak lepaskan. "Kau manusia, aku pun begitu. Tidak ada yang berbeda dari kita. Selama kau benar-benar tidak melakukan tindakan yang bisa memalukan keluargaku, itu tidak akan menjadi masalah."

Helio terdiam dan mulai berjalan santai beriringan. Markus pun melepas pegangannya pada lengan pemuda itu. Tidak melanjutkan pembicaraan hingga mereka terhenti di depan sebuah mobil. Seakan kendaraan itu hadir di sana menunggu kedatangan keluarga Markus.

"Kita akan naik itu?" tanya Helio.

"Kalau kau ingin jalan kaki dan tersesat di kota ini, silakan. Aku tidak akan menahanmu," balas Markus kemudian masuk ke mobil lebih dulu.

Ibu Markus berbalik menatap Helio. "Ayo masuk, Nak Helio."

Dengan gerakan patah-patah dan gugup, Helio memasuki mobil dan duduk di samping Markus. Orang tua pemuda itu sendiri duduk di depan menghadap ke mereka berdua. Menjadikan posisi yang saling berhadap-hadapan.

Untuk pertama kali dalam seumur hidup Helio menumpangi mobil. Paling mewah hanyalah sebuah sepeda. Itu pun yang sudah sedikit usang dan tua. Sepeda milik Ayah dari Bibi Teresa yang katanya hendak dibuang. Helio menawarkan diri dengan memintanya dan berujung sepemikiran dengan wanita itu. Tidak bertahan lama hingga sebulan, sepeda itu kehilangan kekuatan hingga terpotong-potong.

Helio menatap keluar melalui jendela. Bangunan-bangunan yang cukup tinggi dan terlihat megah nampak memenuhi pinggir jalan. Orang-orang berlalu lalang dengan pakaian yang sangat menawan. Termasuk anak-anak.

Kawasan jalan yang dilewati pun terbilang ramai. Helio tidak menemuksn gang kecil yang porak-poranda. Atau para orang tua yang duduk di tepi jalan bermain kartu sembari menyesap batang nikotin. Hingga anak-anak yang menghalangi jalan bermain bola, Helio tidak mendapatkan pemandangan itu di sini.

"Kau terlihat begitu terkejut menatap lingkungan di sini, Nak Helio," ucap Ibu Markus tiba-tiba.

Yang disebut memalingkan wajah menatap. Senyumnya lantas terbit dengan sedikit canggung. Bersama dengan anggukan kecil yang mendukung.

"Kau akan terbiasa," pukas Ayah Markus. Pria itu nampak seperti orang yang sangat murah senyum. Tidak pernah melupakan untuk menarik dua sudut bibirnya ke atas ketika selesai berbicara.

Helio masih senantiasa tidak menjawab. Mengharap saja kalau yang diucapan Ayah Markus benar akan terjadi padanya. Pasalnya, terlalu banyak yang berbeda di kota mahal ini.

Kisaran hampir lima belas menit lamanya mobil kembali terhenti. Pintu lalu dibuka oleh sang supir. Helio mengekor keluarga bangsawan itu lagi dan menjatuhkan dagunya untuk yang kedua kali kala menatap sekitar.

Di depannya kini berdiri sebuah bangunan yang disebutkan rumah bagi para bangsawan. Kanan-kirinya juga memiliki ukuran dan struktur bangunan yang sama. Sebuah rumah yang besarnya bahkan lima kali lebih besar dari rumah Helio.

"Sungguh, aku sendiri yang akan memasukkan lalat ke mulutmu," tegur Markus. "Berhenti memasang wajah seperti itu."

Helio sontak menutup mulutnya dengan dua tangan. "Maaf."

Bangunan luar yang megah, tentu tidak jauh berbeda dengan kondisi di dalam. Ayah Markus bahkan tidak perlu menyentuh pintu untuk membuatnya terbuka sebab dua pengawal yang berdiri di masing-masing sisi. Berjalan di atas karpet merah yang mengantar masuk ke dalam. Helio menahan diri untuk tidak kembali menampilkan raut kagumnya.

Seorang perempuan berpakaian hitam-putih berenda pada leher dan lengan datang mendekat. Terlihat berbicara dengan Ibu Markus sebelum menoleh ke Helio.

"Kau bisa langsung ke kamarmu, Nak Helio. Perjalan panjang hari ini pasti membuatmu lelah. Istirahatlah dulu sebelum makan malam. Kepala pelayan akan menuntunmu menuju kamar," tutur wanita ramah itu.

Helio mengangguk sekali. "Terima kasih, Nyonya."

Entahlah, Helio mendadak menjadi manusia kaku. Sikap tidak tahu diri dan nakalnya yang membuatnys terkenal di kota sederhana mendadak hilang begitu menatap kamar istirahatnya. Helio masih mematung di depan pintu yang tertutup hampir sepuluh menit lamanya. Masih tercengang dengan pemandangan yang pemuda itu temukan.

Helio menelan ludah sebelum melangkahkan kakinya mendekati kasur yang tiga kali lebih besar dari miliknya di rumah. Bahkan memiliki atap dan tiang di setiap sudutnya dan sebuah tirai. Kala mencoba duduk, Helio diserang rasa merinding kala empuknya gumpalan pantat itu mendarat.

"Kurasa ini yang membuat para bangsawan mimpi indah setiap harinya," gumamnya kemudian.

Pintu kamarnya kemudian terketuk tiga kali sebelum terbuka. Helio buru-buru berdiri mendapati kepala pelayan yang membawanya keruangan itu tadi.

"Nyonya menyuruh Anda untuk mengganti baju. Setelah istirahat, silakan turun ke bawah untuk makan malam."

"B-Baik. Terima kasih."

Kepala pelayan itu sedikit membungkuk sebelum berbalik dan berlalu keluar. Helio kemudian menunduk menatap lengannya yang berhadiah pakaian diantar oleh perempuan itu tadi.

Pemuda itu kemudian menatap sekeliling sebelum berhenti pada sebuah pintu. Kakinya terangkat menuntun untuk mendekat. Kala gagang emas itu ditarik turun ke bawah dan di dorong, Helio hampir menjatuhkan pakaiannya.

"Akan terbiasa, Helio. Kau akan terbiasa. Entah cepat atau lambat."

Sky Dream || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang