BAB II

459 47 0
                                    

"Helio berangkat, Bu."

Pemuda itu hanya mendapat balasan anggukan kepala bersama lambaian tangan tanpa ditatap. Helio kemudian membuka pintu, berangkat menuju sekolahnya dengan ogah-ogah. Dia menghela napas begitu sinar matahari langsung menyapu wajahnya. Membuat mata dengan pupil cokelat gelap itu sulit untuk melihat jelas.

Helio anak satu-satunya. Atau bisa dikatakan, hanya dia yang tersisa. Dulu dia masih menjadi putra bungsu sebelum kakaknya direnggut karena tugas menjaga perbatasan.

Beliau seorang tentara negara. Sudah sangat dicita-citakan dari dulu meski harus dengan beberepa cekcok dengan ibunda. Wanita keras itu tujuannya memang hanya ingin anaknya hidup dalam keadaan damai. Namun, karena sikap itu juga Kakak Helio tetap mendaftarkan diri menjadi tentara setelah utusan negara membawa berita di kota. Tentunya setelah sekolahnya selesai.

Helio menghela napas selama berjalan menuju sekolah. Menepak batu-batu kerikil tidak berdosa yang bahkan tidak mengganggu perjalanannya. Pemuda itu masih kepikiran soal panutan Ibu semalam. Bukan karena kesal. Helio hanya sedikit tidak suka dengan tutur ibunya yang terus mengekang. Kalau pakai jalur keras kepala kakaknya dulu, Helio juga berperasaan. Dia tidak mungkin meninggalkan ibunya demi menjadi 'pejalan kaki liar' seperti ayahnya.

Benar. Helio tidak pernah menghilangkan mimpinya mencari si Tanah Yang Hilang. Dia terprngaruh oleh jurnal ayahnya. Dia percaya tentang Sky Dream. Tanah subur yang tidak semua orang mampu menjajahnya dan Helio merasa bangga dengan ayahnya kemungkinan menjadi orang pertama yang melakukan itu. Meski kabar selanjutnya, pria panutan Helio dinyatakan meninggal dan hilang. Bertambah menjadi alasan lain, Helio ingin mencari ayahnya kembali dan memastikan berita itu.

Jalan setapak muncul. Dari jarak puluhan meter di depan terlihat gerbang kayu lapuk sekolah sederhana. Kota ini memang terkenal dengan serba sederhana. Tepatnya kota dengan ekonomi rata-rata ke bawah.

Helio mendorong gerbang kayu yang sebatas perutnya itu lalu masuk. Terlihat halaman yang sudah ramai dengan anak-anak. Berkameja putih dengan celana krem di bawah lutut dengan tali yang menggantung di bahu. Sudah dipastikan tampilan itu sangat-sangat menunjukkan sisi terpelajar.

Helio sampai bertepatan dengan bel ketukan besi. Anak-anak sontak berbondong-bondong masuk ke tiap ruangan sesuai tingkat kelas. Hanya dirinya yang melangkah tetap dengan ogah-ogahan menuju bangkunya. Menghela napas yang terakhir sebelum menerima pelajaran dengan tampang tidak ikhlas sama sekali.

Helio ini tipe pemuda yang jahil namun, tetap cinta dengan kesendirian. Seperti sekarang. Di saat semua teman kelasnya menikmati masa istirahat di luar, Helio lebih menikmati waktu dengan duduk di bangkunya sambil membaca buku peninggalan ayahnya. Tidak pernah tertinggal.

Cap lambang bangsawan itu juga dia bawa. Sampai rela membocorkan tinta pulpennya demi bisa menggunakan cap itu.

Beberapa orang lalu masuk tanpa sepengetahuan. Melihat kegiatan diam Helio dengan senyum jahil yang mereka. Mendekati pemuda itu dan tanpa izin langsung merebut cap yang sedang Helio mainkan.

"Apa ini?"

Helio mendongak. "Kembalikan itu."

"Atau kau akan apa?" Pemuda jahil itu lalu tertawa. Dia terus memainkan cap Helio, dilempar dari satu tangan ke tangan yang lain.

Helio menghela napas lalu berdiri. Menghampiri pemuda itu untuk mengambil capnya namun, justru dilempar ke teman yang lain. Helio mengganti target lagi dan capnya melambung ke orang yang lain lagi. Begitu terus hingga Helio sudah kepalang diambang kesal.

"Aku sedang tidak ingin bermain. Kembalikan," ketus Helio.

"Oh, ayolah. Bukankah ini seru? Ketimbang duduk sendirian dengan buku usangmu itu? Kami membantunu untuk bersenang-senang."

"Aku bilang aku tidak ingin." Dia mengambil langkah lebar untuk merebut capnya namun, benda itu justru terlempar jauh dari jangkauan anak yang lain.

Pandangan Helio ikut melambung. Mendapati cap bangsawan itu keluar melalui jendela samping sekolah di mana semak belukar tumbuh dengan suburnya.

"Eh? Maaf. Itu kusengaja." Dan tiga pemuda itu kembali tertawa lagi.

Helio mengkerut, makin menunjukkan kekesalan hingga meremat kerah kameja pemuda itu.

"Apa ini? Tanah Yang Hilang?"

Namun, Helio berpaling begitu satu pemuda sesongkol menyentuh buku ayahnya.

"Jangan sentuh itu," peringat Helio.

Pemuda itu terkekeh. "Kau masih percaya dengan dongeng anak-anak ini, Helio? Sungguh kasihan."

"Aku bilang jangan sentuh!"

Helio bergegas merebut bukunya namun, terlalu sial dengan perbedaan tinggi yang ada antara dirinya dan pemuda itu. Meski harus melompat pun, bukunya berada di ketinggian yang sulit untuk dia gapai.

"Kau ternyata memang masih bocah ingusan. Harusnya kau berada di kelas satu, bukan tiga."

"Kambalikan!" seru Helio.

"Iya, iya. Jika kau dapat."

Pemuda itu terus mengangkat dan mengangkat buku Helio. Memancingnya seperti anak ikan yang mengejar makanan. Setiap Helio melompat, buku itu akan ikut terangkat. Hingga aksi berulang itu justru menjadi malapetaka.

Pemuda yang memegang buku Helio tergelincir ke belakang sebab kaget terbentur dengan sisi meja. Buku yang masih ditahan pun dipegang Helio. Namun, pemuda yang jatuh itu juga tetap memegangnya sehinga dua sisi buku saling tertarik dan berujung terbelah dua.

Mereka yang ada di sana sontak terdiam dan terkejut. Helio bahkan tidak bergeming di tempat. Menatap nanar pada sisi lain buku ayahnya yang berhamburan di lantai. Pemuda yang menjadi pelaku bergegas berdiri dari posisinya.

Dia menghela kecut. "Itu bukan salahku. Kau sendiri yang menarik bukumu hingga terbelah dua." Lirikannya lalu beralih ke dua pemuda yang lain. "Lebih baik kita keluar. Helio tidak menyenangkan sama sekali."

Helio mengepalkan tangannya. Menggertak rahang sebelum mengangkat kepala melihat ketiga pemuda itu yang hendak keluar kelas dengan langkah santai. Kakinya lantas melangkah gusar menghampiri. Kala dirinya sudah mendekati pemuda tinggi tadi, Helio lalu melayangkan kaki tepat pada punggungnya. Berakhir jatuh berguling di teras kelas.

"Kau!"

Helio tidak merespons. Terlampau kesal hingga tatapannya pun berubah menjadi lebih tajam dan dingin. Dua pemuda lain pun sampai tidak memiliki keberanian untuk menghalang.

Helio kembali mendekat. Tidak memberi kesempatan bagi pemuda tinggi itu untuk bangun, kakinya terayun menendang pundak kembali membuatnya terlentang. Helio kemudian duduk di atas perutnya. Melambungkan kepala tangan tanpa kasihan pada wajah pemuda itu sampai babak belur dan berdarah-darah. Anak-anak yang berada di sekitar hanya mampu melihat takut untuk melerai.

"Panggil Bu Guru, cepat!"

Dan jika saja seruan perintah itu tidak ada, bisa jadi Helio membunuh teman kelasnya tepat di tempat.

Sky Dream || NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang