3

295 19 2
                                    

Vote ....

Komen ....

Happy reading:)

***

"Orang sinting kali." Seka pura-pura tidak tahu. Dia memalingkan pandangannya ke arah lain. Gavriil menghela napas. Memundurkan tubuhnya lalu kembali menjalankan mobilnya menuju rumah Seka.

Entah kenapa Gavriil merasa aneh? Ghaiska yang sekarang seperti bukan dirinya saja. Binar matanya yang selama ini menatap penuh cinta padanya berubah menjadi ketakutan saat melihatnya. Seolah-olah bukan Ghaiska yang mengisi tubuhnya.

Tidak sampai lima belas menit, mereka sudah sampai di depan rumah yang megah. Seka segera turun dari mobil. Sebelum mengucapkan kata terimakasih, cowok itu sudah berlalu pergi membuat Seka mengatupkan bibirnya rapat.

Seka berjalan memasuki rumah. Membuka pintu perlahan agar tidak ketahuan. Mau bagaimanapun saat ini sudah jam sembilan malam. Tidak baik anak perawan semacam dirinya pulang larut malam. Ya, walo belum terlalu malam sekali. Tapi Seka takut di marahi oleh orang tua Ghaiska. 

"Baru pulang lo?" Seka terlonjak kaget. Dia mendongak menatap laki-laki jangkung berjarak dua meter di depannya.

"Bagus. Jam segini baru pulang, dari mana aja lo?" Alve berkata dingin.

Alveno Alberto. Kakak kandung Ghaiska satu-satunya. Mereka dua bersaudara. Umur mereka berbeda satu tahun. Bersifat dingin dan galak pada adiknya karena iri. Kedua orang tuanya lebih menyayangi adiknya dan melupakannya. Awalnya Alve tidak keberatan, dia memaklumi perilaku orang tuanya karena sudah lama ingin memiliki anak perempuan. 
Alve juga menyayangi Ghaiska seperti kakak adik umumnya. Apalagi wajah Ghaiska sangat cantik dan imut saat kecil membuat Alve tidak tega membencinya. Dia selalu membantu Ghaiska ketika terkena masalah atau bertengkar dengan teman-temannya.

Suatu hari di halaman rumahnya, Alve dan Ghaiska bermain bola bersama. Bola menggelinding keluar rumah, Ghaiska berlari mengejarnya, tanpa melihat kanan kiri dia asal menyebrang membuat tubuhnya tertabrak mobil hingga terluka parah. Alve berteriak panik melihat Ghaiska yang pingsan dengan kepala mengeluarkan banyak darah.
Ghaiska di larikan ke rumah sakit. Kedua orang tuanya memarahinya menganggap Alve tidak becus menjaga adiknya.

Dia dikurung di gudang yang gelap selama tiga hari tanpa diberi makan dan minum. Membuat Alve masuk ke rumah sakit karena dehidrasi. Orang tuanya tidak menjenguknya sama sekali. Padahal ruangannya dengan Ghaiska bersebelahan.  Alve tidak marah. Dia berpikir ... ini memang salahnya andai saja dia lebih cepat menolong Ghaiska, pasti adiknya tidak akan terluka.

Semenjak kejadian itu kedua orangtuanya lebih overprotektif pada Ghaiska. Mereka selalu menuruti keinginan anak bungsunya. Melupakan Alve yang masih butuh kasih sayang mereka berdua. Rasa iri mulai muncul pada hatinya. Dia di tuntut mengalah dari kecil. Dibeda-bedakan dengan Ghaiska yang lebih menurut dan pintar.

Puncak rasa bencinya ketika tahu ternyata Ghaiska yang selama ini dia sayangi diam-diam menjelekannya di belakangnya. Serta memonopoli kedua orang tuanya tanpa dia sadari.

Selain itu, Alve juga salah satu orang yang terlibat atas penculikan Ghaiska. Yang di lakukannya saat menyiksa Ghaiska adalah menjahit mulutnya dengan jarum lalu menyiramnya dengan perasan air lemon. Membayangkan itu bibir Seka terasa ngilu.

"A-anu." Seka membuka mulutnya gugup. Bingung menjelaskannya bagaimana.

"Mentang-mentang kesayangan papa sama mama lo jadi seenaknya, ya?"

"Buk-,"

"Merasa seneng lo sekarang?"

"Gak git-,"

"Asal lo tau tingkah lo itu bikin gue muak."

SekalanthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang