38

37 1 0
                                    

Selama ini Alve berusaha bertahan. Menyimpan rasa sakit karena kedua orang tuanya yang tidak perduli padanya bertahun-tahun. Berkali-kali di pukul karena lalai menjaga sang adik dan di anggap tidak berguna, Alve pasrah saat menerima setiap hukuman. Tubuhnya terasa sakit, tapi hatinya lebih terasa sakit. Alve selalu bertanya-tanya. Dia juga anak mereka.

Tapi kenapa mereka jahat kepadanya?

Kenapa setiap Ghaiska terluka, dia yang selalu di salahkan?

Harus menerima setiap hukuman, walaupun Alve tidak tahu apa salahnya?

Dia membenci Ghaiska. Benar-benar benci ingin gadis itu hilang dari pandangannya selamanya. Itu juga salah satu alasan dia menjual Ghaiska pada temannya. Alve tahu apa yang akan terjadi setelah orang tuanya tahu apa yang dia lakukan pada anak 'kesayangannya'. Tapi setidaknya dia merasa puas sudah membalaskan dendamnya dengan menghancurkan masa depan gadis itu. Ya, seharusnya rencananya berhasil jika saja Bima tidak bodoh. Hanya mengatasi gadis seperti Ghaiska dia justru terluka hingga jatuh pingsan.

Semua perbuatan Ghaiska padanya sejak kecil tidak termaafkan walaupun harus di tukar dengan nyawanya. Rasa sakit itu masih ada membekas dalam ingatan tidak akan pernah terlupakan. Apa yang cewek itu lakukan Alve selalu menghitungnya, berharap di masa depan nanti setelah dia bisa hidup sendiri dia bisa membalas semua perbuatan Ghaiska kepadanya. Menghancurkan gadis itu membalaskan dendamnya.

Jadi, saat Ghaiska meminta maaf  hingga bersimpuh di hadapannya, Alve hanya menatapnya datar. Menganggap konyol ucapan gadis itu saat berkata dirinya bukan Ghaiska.

"K-kak, tolong percaya." Seka terisak-isak. Dia mendongak menatap wajah Alve dengan sorot permohonan. Bibirnya bergetar saat dia berkata, "Sekali aja tolong percaya sama aku. Aku bukan Ghaiska."

"Aku nggak tahu gimana cara jelasin semua ini. Tapi yang jelas aku buk–,"

"Lo pikir gue peduli?"

Alve terkekeh sinis. Dia berdiri, menginjak jari Seka hingga cewek itu meringis. "Jangan kira belakangan ini gue diem aja, lo pikir gue udah luluh maafin semua kesalahan lo."

"Dari kemarin gue muak liat muka lo. Stop ganggu gue mulai sekarang kalo niat lo cuma berharap gue bisa lupain seluruh kesalahan lo."

"Lo denger ucapan gue." Alve berjongkok. Memajukan wajahnya ke telinga Seka. Lalu berkata menusuk. "Sebanyak apapun lo nangis minta maaf ke gue, gue gak bakal maafin lo. Jangan ngimpi gue maafin. Mau lo mati sekarang juga gue gak peduli sama sekali."

Seka tertegun.

"Jadi, simpen air mata lo yang gak berguna itu. Sampai kapanpun gue gak bakal luluh sama tangisan palsu lo. Selamanya... gue benci sama lo, Ghaiska."

***

"Kakak..." suara Ghaiska terdengar sedih.
Dia muncul di balik pintu, menatap sendu sang Kakak yang sedang belajar. Alve menoleh. Dia segera mendekat, bertanya dengan nada khawatir yang tidak bisa disembunyikan.

"Kamu kenapa?"

"Sakit." Ghaiska berbisik lirih. Dia mencengkram ujung baju Alve erat. Mendongak menatap wajah Alve dengan air mata berlinang membuat tenggorokan Alve tercekat. Ghaiska menangis. "Sakit... Kakak. Mereka semua jahat."

"Siapa?" Alve menelan ludah. Jantungnya berdegup kencang. Amarahnya memuncak saat melihat ekspresi Ghaiska yang kesakitan. Dia menyingkirkan rambut Ghaiska ke samping, memerhatikan lebam didahi adiknya dengan sorot tajam. "Bilang sama Kakak, siapa yang ngelakuin ini ke kamu?"

Ghaiska menggeleng.

"Ghaiska." Alve menangkup kedua pipi adiknya dengan lembut. Menatap wajah Ghaiska dengan sorot menenangkan. "Kamu tahu kan pentingnya kamu buat Kakak? Kakak nggak bisa diem aja ngeliat kamu diperlakuin kayak gini. Ngeliat kamu kesakitan, Kakak juga ngerasa sakit. Kakak mohon  jangan sembunyiin apapun dari Kakak. Karena kalo terjadi sesuatu sama kamu, Kakak nggak bisa maafin diri sendiri."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SekalanthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang