36

223 8 2
                                    

"Gav, kemarin lo ke rumah Ghaiska?"

Gavrill mendongak. Menatap Pana yang berdiri di depan mejanya. Penampilan Pana terlihat kusut. Kantung mata cowok itu menghitam seperti kurang tidur. Tubuhnya sedikit kurus.

"Hm." Gavrill bergumam. Kondisi kelas sedikit sepi. Masih ada lima belas menit sebelum bel masuk berbunyi. Dia melirik bangku Erita yang masih kosong. Kenapa Erita belum berangkat juga?

"Hari ini dia bakal berangkat sekolah?" tanyanya berharap.

"Gue nggak tahu." Gavrill menggeleng.

"Lo nggak tahu? Terus kemaren lo ngapain ke rumah Ghaiska kalo nggak bujuk dia buat berangkat sekolah lagi?" Pana mengepalkan tangannya. Mendengar Gavrill datang ke rumah dan bertemu dengan Ghaiska, dia merasa tidak terima. Kenapa saat dua hari yang lalu dia datang justru di usir? Bahkan asisten rumah tangganya bilang Ghaiska tidak mau bertemu dengan siapapun.

Sekarang giliran Gavrill yang berkunjung kesana, cowok itu dengan mudah di izinkan masuk. Pana tidak sadar jika statusnya saat ini bukan siapa-siapa Ghaiska. Gavrill merupakan tunangannya, jelas dia sedikit mempunyai hak untuk keluar masuk rumah Ghaiska.

"Pana, apa yang lo permasalahin?" Gavrill mengangkat alisnya. Raut wajahnya datar tapi setiap kata yang keluar sedikit tersirat emosi. "Walau selama ini gue nggak cinta sama Ghaiska, lo jangan pernah lupa. Kalo Ghaiska masih tunangan gue. Gue berhak dateng ke rumahnya. Justru yang aneh itu lo. Kenapa sikap lo seolah-olah marah karena gue dateng ke rumah Ghaiska?"

"Lo siapanya Ghaiska?"

Pana terdiam.

"Jangan kira selama ini gue diem, gue nggak tahu kalo lo punya perasaan lebih buat Ghaiska." Gavrill menepuk pundak Pana dua kali. "Gue saranin buang jauh-jauh perasaan lo ke dia. Karena apapun yang sejak awal udah jadi milik gue selamanya bakal jadi milik gue."

Mata Pana melebar. "Lo gila?! Lo udah punya Erita, Gav!"

"Siapa yang perduli?" Gavrill tersenyum sinis. "Mau satu atau dua selama mereka mau sama gue, gue nggak masalah. Gue kaya, pinter, ganteng, cuma punya dua istri nggak bakal bikin gue susah."

"BAJINGAN LO GAV! " Pana berteriak marah.

Kenapa dia baru sadar jika Gavrill ternyata seberengsek ini? Hidup dengan dua perempuan? Gila. Gavrill benar-benar gila. Pana menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Terserah lo mau bilang apa." Gavrill berdiri. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Bersisik tepat di telinga Pana. "Tapi yang pasti setelah kita lulus, gue bakal nikah sama Ghaiska. Tunggu aja undangan dari gue."

Gavrill menyeringai saat tubuh Pana mematung dengan wajah pucat pasi.  Lalu dengan santai dia menyenggol bahu Pana sedikit kencang saat melewatinya. Gavrill meluruskan pandangan. Ekspresinya berubah terkejut ketika melihat Erita yang berdiri berjarak tiga meter dengannya. Hanya sesaat ekspresinya berubah lembut.

"Kamu udah berangkat, Er?" Gavrill tersenyum. Dia menghampiri Erita lalu mengusap pipi Erita lembut. Erita hanya meliriknya. Tidak perduli dengan respon Erita, Gavrill meraih tangan Erita lalu menggenggamnya erat. "Aku belum sarapan. Gimana kalo kita sarapan dulu? Kamu juga belum sarapan kan?" tanpa menunggu jawaban dari Erita, dia menariknya menuju kantin. Berjalan di koridor yang penuh dengan siswa siswi berlalu lalang.

"Er, tumben kamu agak siangan berangkatnya?" tanyanya memecah keheningan.

"Gav." panggil Erita. Gavrill menoleh balas menatapnya lalu tersenyum. Erita menelan ludahnya. Sorot matanya sesaat terluka. "Apa maksudnya ucapan kamu tadi?"

"Hm?"

"Kamu... cinta sama Ghaiska?"

Gavrill berkedip. Dia terkekeh geli. "Kamu denger obrolan aku sama Pana?" Erita hanya diam tak menjawab. Gavrill meraih pinggang Erita lalu membawanya ke dalam pelukannya. Memeluknya gemas. Mengabaikan saat puluhan mata mengarah pada mereka. "Aku cuma bercanda. Dari kemarin aku rasa Pana ngejahuin aku, terus tiba-tiba main dateng aja marah-marah. Siapa yang nggak kesel coba? Jadi, aku cuma mau buat Pana panas aja."

Melihat Erita yang masih diam, Gavrill mencium rambutnya beberapa kali. Erita yang  sedang cemburu selalu saja membuatnya gemas setengah mati. "Kamu nggak percaya? Kamu harus inget dari dulu aku cuma cinta sama kamu. Sama Ghaiska aku cuma anggep dia temen nggak lebih. Kamu nggak usah khawatir, ya?"

Pada akhirnya Erita perlahan mengangguk. Gavrill melepaskan pelukannya. Dia beralih menggandeng Erita lalu mereka kembali berjalan. Erita diam-diam meliriknya. Matanya menatap kosong saat dia tidak sengaja melihat Gavrill yang menyeringai lebar.

***

Karena bab kemarin yang vote 'seuprit' hari ini saya up nya juga 'seuprit' oke?

Jujur sedikit badmood liatnya haha.

Ayokkk vote dulu sebelum membaca.

Nggak nyangka udah 3k pembaca. Yukk ajak temen kalian juga buat baca cerita saya, sapa tahu suka ehehe.

Jangan lupa mampir juga ke cerita saya yang lain. Semoga sukaaa juga yaaa.

See you gaes

SekalanthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang