Halo! #senyumramah
Saya up lagi... Hampir sebulan ya hehe. Sorry. Tugas saya banyak sekalee apalagi tugas kelompok huhu.
Mau nulis juga males banget rasanya:DAyo Vote dulu yaa Jan lupa...
Udah vote?
Makasih.
Happy reading:D
***
"Gue nggak cemburu ya, Gav. Ya kali gue cemburu sama cewek gila kayak dia. Dia itu bukan tipe gue." Pana mengelak. Dia mengusap hidungnya sekilas lalu berdeham canggung. "Najis banget naksir Ghaiska. Dia itu nggak cocok di taksir cowok seganteng gue."
"Hm." Gavrill menyahut malas. Dia meraih tangan Erita kemudian memainkannya.
"Serius lo nggak naksir?" Cullen tersenyum mencemooh.
"Iya! Mana ada cowok yang mau sama cewek modelan Ghaiska? Cewek kasar, gila, agresif, galak dan nggak tahu malu. Walau dia cantik, gue rasa nggak bakal ada cowok yang mau sama dia kalau sifatnya aja kayak gitu. Kalo pun ada berarti dia udah gila." ucap Pana cepat.
"Terus kenapa lo akhir-akhir ini mulai deket sama Ghaiska?" tanya Cullen memancing.
"Gue? Deket sama dia? Kapan?" Pana mendengkus. "Gue cuma kasihan doang. Jangan berlebihan deh lo. Asal lo tahu temenan sama dia aja gue ogah. Tiap liat muka dia aja gue enek."
"Oh." Cullen mengangguk pura-pura paham. Cowok itu melirik Seka sejenak lalu mengimbuhkan. "Lo denger kan dia ngomong apa?"
"Lo ngomong sama sia—e-eh?" Pana mengerjap. Kepalanya menoleh ke samping kemudian tersedak. Seka menatapnya dengan sedih. Mata cewek itu terlihat terluka. Membuat Pana tergagap. Astaga. Terlalu panik dianggap cemburu, dia sampai lupa ada Seka disampingnya.
"Gha–" Pana membuka mulut gugup.
"Enek, ya?" Seka bertanya kecewa. Kalau saja Pana hanya merasa kasihan padanya dia tak masalah. Dia tidak akan tersinggung.
"Ghaiska gue ngg—"
"Ngomong-ngomong, soal ejekan tadi aku minta maaf." Seka tersenyum tipis.
"Gue—"
"Maaf, bikin kamu sakit hati."
"Gha–"
"Perut aku mendadak sakit." Seka kembali menyela. Dia mengalihkan pandangan berusaha menghindar dari Pana.
"Denger–"
"Er, aku ke toilet dulu." Seka menoleh pada Erita. Dia menggeleng saat Erita ingin menemaninya. "Aku bisa sendiri."
Pana membuka mulut ingin memanggil. Namun dia dibuat tertegun saat tak sengaja mendengar gumaman Seka ketika cewek itu melewatinya.
"Kukira baik, ternyata anjing."
Gue anjing?
Pana menyandarkan tubuhnya lemas. Dia memejamkan mata. Kalau saja dia tidak asal berbicara mungkin cewek itu tak akan marah. Perlahan kepalanya menoleh ketika mendengar suara tawa yang keras. Di sana Cullen terbahak-bahak menertawainya. Pana menggertakkan giginya geram. Sedetik kemudian anak perempuan di kelas mereka berteriak histeris ketika Pana mencekik Cullen brutal.
"MATI LO BANGSAT!"
***
"Ghaiska, lo punya pulpen?" tanya Pana sambil menoleh ke belakang.
Seka menggeleng. Dia menunduk. Membuat seluruh wajahnya tertutupi rambut.
"Pensil?"
Seka menggeleng lagi.
"Tuh pulpen di tangan lo gue pinjem boleh nggak?"
Tidak ada jawaban.
Jelas Seka tidak menjawab pertanyaan tolol itu. Kalau pulpen yang berada digenggamnya di kasihkan pada Pana lalu dia memakai apa untuk menulis?
"Lo masih marah?" Pana bertanya canggung. Sudah tiga hari Seka mendiamkannya, setiap Pana menyapa ato mengajaknya bicara Seka akan menunduk hingga rambutnya yang panjang menutupi seluruh mukanya seperti setan. Perlakuan itu hanya khusus padanya, jika Erita, Gavriil, dan Cullen yang berbicara Seka akan menatapnya bahkan seringkali melempar senyum tipis. Jika dia ikut nimbrung Seka langsung menutupi wajahnya dengan rambut kembali.
Dia sudah meminta maaf berkali-kali tapi Seka tidak merespon. Membuat Pana semakin gusar. "Lo belum maafin gue juga?"
"Kamu nggak salah." Seka berbisik. Dia tetap menunduk. "Dari awal aku yang salah."
"Gue nggak bermaksud ngomong gitu."
"Bermaksud juga nggak apa-apa."
"Ka." Pana mengernyit kesal. "Bisa nggak lo liat gue kalau lagi ngomong?"
"Kemarin ada orang yang bilang enek liat muka aku. Sapa tahu kamu ikutan enek mendingan nggak usah liat sekalian." Pana sadar kalau Seka menyindirnya. Cowok itu merasa bersalah.
"Muka lo nggak enekin kok." Pana menggeleng. "Gue bohong."
"Beneran juga nggak apa-apa."
"Gue bohong sumpah." Pana berkata serius.
"Jangan nanti kamu muntah." Seka tetap kekeuh enggan mendongak. Dia menutup bukunya lalu menaruhnya di laci. Dia beranjak pergi membuat Pana mengikuti.
"Lo mau kemana?"
"Kantin."
Mereka dikelas. Jam istirahat berbunyi lima menit yang lalu. Gavrill, Erita dan Cullen sudah pergi ke kantin dahulu. Kenapa Seka tak ikut? Dia sedang menyelesaikan catatannya yang belum selesai. Sementara Pana beralasan di panggil oleh guru ketika mereka berjalan menuju kantin. Tidak ada yang tahu jika Pana berbalik kembali ke kelas hanya untuk berbicara berdua dengan Seka.
"Gue minta maaf." Pana meraih tangan Seka lembut yang langsung ditepis Seka kasar. Kemudian mengelapnya dengan rok cepat seolah dia adalah kuman yang harus di basmi. "L–lo jijik sama gue?"
Seka menggeleng hingga rambutnya bergoyang-goyang. "Kemarin ada orang yang bilang aku najis. Jadi jangan pegang-pegang aku karena aku najis."
"G-gue cuma bercanda."
"Maaf, orang gila ini mau pergi dulu." sedetik kemudian Seka berlari. Hanya untuk menabrak pintu yang tertutup hingga terjengkang. Pana tersentak kaget. Ingin membantu tapi Seka segera berdiri, membenarkan rambutnya yang menutupi penglihatannya lalu langsung kabur.
"Dia masih marah sama gue." gumam Pana pelan. Dia duduk di bangkunya, melipat tangan di atas meja lalu menelungkupkan wajahnya pasrah. Sebaiknya dia tidak usah pergi ke kantin agar Seka tak merasa risih padanya.
***
Votenya jangan pelit ya, masa gak ada setengahnya sama yang baca:(
Buat yang udah vote dari awal, saya ucapin terimakasih, kalian baik banget #nangisterharu
Yang belum vote ayok vote dulu sambil nungguin saya up lagi. Semakin kalian banyak vote, semakin cepet saya up hehe.
Next?

KAMU SEDANG MEMBACA
Sekalantha
Fiksi RemajaSeka Alantha tidak mengira setelah jatuh dari tangga dia bertansmigrasi ke dalam novel yang dia baca. Menjadi tokoh antagonis yang dibenci semua orang. Ghaiska Lavana. Cewek galak, agresif, dan kasar. Akan mati ditangan tunangannya dan kakak kandun...