30

178 10 0
                                    

Begitu Seka membuka mata, hal yang pertama kali dia lihat adalah Diandra yang menangis sambil tersenyum. Wanita paruh baya itu mengulurkan tangannya, mengusap rambutnya lembut.

"Kamu udah bangun sayang?" Diandra berkata hangat. "Ada yang sakit?"

Seka menggeleng pelan. Dia mengedarkan pandangan. Hanya ada Diandra saja di sini yang menemaninya.

Seolah mengerti pikiran anaknya, Diandra menjelaskan. "Mereka semua ada diluar nungguin kamu sadar."

Seka mengangguk. Dia meringis pelan saat kepalanya terasa pusing. Membuat ekspresi Diandra berubah khawatir. Seka tersenyum tipis. "N-nggak papa Ma. Cuma pusing sedikit."

"Kalo ada yang sakit bilang Mama, oke? Mama nggak suka kamu kesakitan kayak gini."

"Iya, Ma."

Hening.

"Tentang orang yang udah nyakitin kamu, Mama bakal lapor ke polisi." ucap Diandra membuka percakapan. Tatapannya terlihat penuh dendam. "Siapapun yang terlibat Mama nggak akan lepasin. Semuanya ... semuanya, bakal dapat balasan yang setimpal."

Seka memerhatikan Diandra lekat. Jika dia tidak mengetahui sifatnya yang asli, orang-orang pasti mengira jika Diandra sosok ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya. Penuh perhatian dan kasih sayang. Bukan seorang ibu yang pilih kasih. Hanya peduli pada anak perempuannya saja dan menelantarkan anak laki-lakinya.

Sebenarnya bukan salah Diandra sepenuhnya. Kalau saja sikap Ghaiska lebih baik tidak memprovokasi keburukan Alve pada orangtuanya, mungkin saja hubungan mereka sangat harmonis. Tidak ada kebencian atau kedengkian di dalamnya. Sayangnya, Ghaiska sangat serakah. Dia tidak sudi berbagi kasih sayang kedua orangtuanya. Baginya hanya dia saja yang di pedulikan dan prioritaskan.

Seka mengerjap. Memikirkan Alve dia jadi mengingat bagaimana kondisi Kakaknya sekarang? Apalagi sepertinya kedua orangtuanya sudah mengetahui siapa yang menyebabkan dia terluka seperti ini. Jika itu terjadi ...

"Dasar anak nggak berguna! Sialan!"

Mata Seka melebar. Dia menoleh cepat ke arah pintu. Lalu mendengar suara umpatan yang dia kenal. "K-kakak." bisik Seka lirih.

"Sayang, kamu mau kemana?" ucap Diandra panik saat Seka dengan kasar mencabut infusnya. Membuat darah mengalir dari punggung tangannya.

"Kakak." Seka beringsut bangun.

"Dia nggak kenapa-kenapa." Diandra berusaha tersenyum. Menuntun Seka untuk kembali berbaring. Tapi Seka menepis tangannya pelan. "Ghaiska, kamu istirahat dulu. Mama yang bakal nemuin Kakak kamu."

"Aku mau ketemu Kakak." Seka berkata keras kepala. Karena dia tahu ucapan Diandra tidak bisa di percaya. Kehadiran Diandra justru akan memperkeruh suasana. "Kalau Mama larang aku lagi, aku bakal marah sama Mama."

Pada akhirnya Diandra hanya mengangguk pasrah. "Mama temenin kamu, ya."

***

Beberapa tahun yang lalu...

"Kakak." Ghaiska memanggil pelan. Dia berjongkok di depan Alve yang terkapar lemah di sudut ruangan. Ghaiska memiringkan kepalanya, mengukir senyuman mengejek saat Alve balas menatapnya. "Kakak, di hukum lagi, ya?"

Mulut Alve terkatup rapat. Tubuhnya penuh lebam yang mulai membiru. Beberapa luka mengeluarkan darah. Nafas Alve melemah. Bahkan hanya untuk menggerakkan tangannya saja terasa sakit.

Dia... baru saja di cambuk oleh ayahnya yang Alve tidak mengerti apa kesalahannya?

Tiba-tiba saja Tara yang biasanya tidak terlalu peduli padanya, mendatanginya saat Alve pergi bermain dengan teman-temannya. Menyeret lengan Alve kasar membawanya pulang. Lalu tanpa berkata apapun, Tara menarik ikat pinggangnya. Mencambuk tubuh kurus Alve dengan keras.

Menutup mata saat dia meringis kesakitan.

"Kalau aja Kakak nggak buang-buang waktu main sama anak-anak itu, Kakak nggak bakal di hukum." bocah delapan tahun itu menyentuh punggung Alve yang terdapat luka. Menekannya kencang. Membuat Alve memejamkan matanya erat. Ghaiska berkata lembut. "Papa itu nggak suka sama anak yang cuma main-main nggak jelas. Jadi, biar Papa nggak marah, Kakak nggak usah main lagi."

Merasa cukup melihat raut wajah Alve yang kesakitan, Ghaiska menarik tangannya kembali. Bibirnya masih mengukir senyuman. "Aku aja sepulang sekolah sibuk belajar. Masa Kakak sibuk main?"

Ghaiska berkedip dua kali. Sorot matanya berubah kosong. "Ini bener-bener nggak adil kan?"

***

Dulu, Alve tidak tahu kenapa kedua orangtuanya terutama Tara selalu memukulnya tanpa alasan?

Dia pikir itu semua murni karena kesalahannya. Tapi... setelah dia melihat Ghaiska selalu disisi Tara saat ayahnya murka padanya, kini dia perlahan mengerti. Kalau adik satu-satunya yang dia miliki adalah penyebabnya.

Karena Ghaiska, dia terluka.

Karena Ghaiska, orang tuanya tidak menyayanginya lagi.

Dan karena Ghaiska, hidupnya menderita.

Itu sebabnya, melihat kondisi Ghaiska yang sekarang Alve tidak merasa bersalah sama sekali. Ghaiska pantas mendapatkannya. Bahkan itu belum seberapa dengan apa yang di lakukan Ghaiska padanya di masa lalu.

Ya, harusnya seperti itu. Tapi kenapa?

Kenapa Ghaiska sampai rela berlutut di depan Tara? Memohon ampunan pada Tara agar tidak memukulnya lagi?

"Papa... jangan pukul Kakak." Seka menangis terisak. Dia benar-benar terkejut. Apa yang dia lihat beberapa menit yang lalu setelah keluar dari kamarnya sungguh membuatnya tercengang. Tara begitu kejam. Bahkan pada anak kandungnya sendiri dia dengan tega menginjak kepala Alve. Seka tidak bisa membayangkan rasa sakitnya saat kaki yang terbalut sepatu tersebut menginjak mukanya kuat.

Dada Seka terasa sesak. Terutama saat dia menyadari tidak ada yang menolong Alve. Mereka semua hanya melihat sekilas sebelum berlalu pergi.

Seka memeluk kaki Tara erat sambil mendongak menatap sang ayah dengan wajah menyedihkan. "Jangan pukul Kakak."

"Dia pantes dapat hukuman dari Papa." ekspresi Tara yang sesaat terkejut berubah sedikit melembut saat berbicara dengan Seka. Dia meraih bahu Seka membantunya berdiri. Namun Seka keras kepala. Dia hanya menggeleng keras sambil terus menangis. "Sayang, kamu bangun dulu. Lantai ini kotor. Kamu juga baru sadar nggak baik buat kesehatan kamu." bujuk Tara lembut.

"P-papa nggak boleh pukul Kakak." Seka berbisik pelan. Dia menoleh memerhatikan kondisi Alve yang terluka parah. Air matanya kembali mengalir menyusuri kedua pipinya. "K-kakak sama sekali nggak salah. Ini semua bener-bener bukan kesalahan Kakak. Jadi, Papa nggak boleh sakitin Kakak, ya?" Seka berkata rancu.

Tara terdiam.

"Papa." panggil Seka sendu. "Ayo, janji ke aku kalo Papa nggak akan mukul Kakak lagi."

Tidak ada jawaban dari Tara. Membuat tangisan Seka semakin keras.

Gavrill yang melihat itu mendekat. Dia menunduk menatap Seka. "Ghaiska, bangun. Gue anter ke kamar lo."

"G-Gavrill, Kakak sakit." disela-sela tangisnya, Seka mendongak balas menatap Gavrill penuh harap. "Tolongin Kakak. Aku mohon tolongin Kakak."

"Hm." Gavrill mengangguk. "Tapi lo harus balik ke kamar lo."

"G-Gavrill jangan bohong." Seka berkata serak. Kalau saja dia mampu dia akan menolong Alve sendiri tidak perlu bantuan orang lain. Hanya saja tubuhnya juga masih terasa lemas. Bukannya menolong Alve, mungkin saja mereka hanya akan sama-sama terjatuh.

"Iya."

"Jangan sakitin Kakak lagi." Seka berkata terbata-bata. Menoleh menatap sang Papa yang hanya diam tak bergeming. Dia menelan ludahnya saat mengimbuhkan. "Soalnya, kalau terjadi apa-apa sama Kakak, aku nggak bisa maafin diri aku sendiri."

***


Untuk bab ini saya merasa kurang ngefeel. Kayak pas baca ulang aneh gitu. Biarlah, ntar kalo dah tamat saya revisi lagi dehXD

10 vote lanjuttt.

Seeyou.

SekalanthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang