27

131 15 0
                                    

Berjalan terseret-seret, air mata Seka bercucuran. Dia menangis terisak-isak. Ekspresi takut melekat di wajahnya saat Bima dengan kasar menariknya menuju salah satu kamar di club tersebut. Sepanjang Seka bertemu dengan orang-orang mereka hanya menatapnya acuh tidak perduli dia meminta tolong sekeras apapun.

"A-aku nggak m-mau." Seka memberontak. Dia berpegangan pada sisi pintu saat Bima menariknya untuk masuk ke dalam kamar. Membuat Bima menariknya secara paksa dan mengunci pintu rapat. "J-jangan di k-kunci."

Bima berbalik menatapnya. Menyunggingkan senyum ketika mereka hanya berdua di dalam kamar. Dia berjalan mendekat pada Seka hingga Seka melangkah mundur sampai punggungnya menabrak dinding. Tenggorokan Seka tercekat. Dia menahan napas saat Bima mengurungnya dengan kedua tangan.

"Ghaiska. Ghaiska." Bima memanggil pelan. Dia mengulurkan tangan, menyentuh dagu Seka lalu mengangkatnya. Menyusuri setiap jengkal lekuk wajah Seka dengan lekat. Bahkan setelah gadis itu menangis wajahnya masih terlihat cantik dengan hidung dan pipi memerah. Bima di buat terkagum. "Dari dulu lo memang cantik."

Dari dulu?

Seka menyorotnya bingung. Padahal dia baru bertemu dengan Bima.

"Ah, lo lupa?" Bima terkekeh. Dia mengelus pipi Seka lembut. Membuat Seka menepisnya. "Dari awal gue nggak sengaja ketemu lo, gue udah naksir lo. Gue kira perasaan gue cuma sebatas tertarik karena lo cantik. Tapi sekarang gue yakin kalo gue beneran cinta sama lo."

Satu tahun yang lalu tepatnya saat mereka masih kelas tiga SMA, sesuai janjinya pada Alve, Bima datang ke rumah Alve. Bermaksud menjemput Alve untuk berangkat sekolah bersama. Persahabatannya dengan Alve memang sudah cukup lama sejak mereka kelas satu SMA. Tentunya dia sudah biasa menjemput Alve saat motor cowok itu disita oleh orang tuanya.

Namun bukannya Alve yang keluar, justru seorang perempuan yang keluar dari rumah. Tatapannya begitu ketus padanya. Tidak ada senyum yang terpatri di bibirnya sama sekali. Hanya ekspresi tak senang saat melihatnya padahal mereka baru saja bertemu. Membuat Bima mengangkat alis heran. Untuk pertama kalinya ada seorang perempuan yang bersikap seperti itu kepadanya.

Dia masih mengingat jelas ucapan tak mengenakan Ghaiska saat dia bertanya secara baik-baik keberadaan Alve.

"Alve nggak ada disini. Mendingan lo pergi sana. Ganggu gue aja!"

Lalu setelah mengucapkan itu, dengan tidak sopannya Ghaiska berbalik, masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu kencang. Meninggalkan Bima yang mengerjap tak percaya kemudian terkekeh pelan.

"Lo cewek ngeselin yang pernah gue temuin seumur hidup." ucap Bima. Sebagai cowok yang selalu di puja-puja tentunya ego Bima merasa tersentil di perlakukan seperti itu oleh Ghaiska. Dia mulai mencari tahu tentang gadis itu melalui Alve. Lalu mengetahui jika perempuan tersebut adalah adik Alve. Bima tidak bisa menahan rasa senangnya. Bayangan ekspresi wajah Ghaiska selalu berputar dalam pikirannya. Hingga lambat laun dia mulai menyukai Ghaiska.

Sayangnya rasa senangnya tidak bertahan lama. Beberapa bulan yang lalu dia mendengar Ghaiska telah bertunangan dengan seseorang. Membuat Bima resah. Dia mulai menyusun rencana agar mendapatkan Ghaiska, salah satunya memanfaatkan kebaikannya selama ini pada Alve. Menagih semua uang yang telah dia berikan secara cuma-cuma pada Alve. Tentu Alve tidak bisa membayar, kedua orang tuanya tidak memberikan uang setelah dia SMA kecuali biaya sekolahnya. Untuk keperluannya dia hanya mencuri uang Ghaiska.

Seka mendongak menatap Bima. Pupil mata cowok itu berbinar senang. Seolah hari ini adalah hari yang di tunggu-tunggu sekian lama. Tapi masalahnya ... dia bukan Ghaiska. Kalau Bima melakukan hal yang tidak-tidak jelas Seka yang di rugikan.

SekalanthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang