23

153 18 0
                                    

Halo!

Saya up lagi nih.

Btw, bab kemarin ternyata dikit banget yang vote. Padahal yang baca nambah yang lain pada kemana? Jangan jadi sider yaa. Saya aja mikirnya susah banget, satu bab saya bisa nulis sampe tiga ato lima harian.
Soalnya pas ngetik itu kadang otak mendadak buntu, tiba-tiba males, dan berakhir 'besok aja lah'. Itu juga alesan saya up nya lama sekaleeXD

Buat yang udah vote dari awal saya ucapin terimakasih. Kalian baik banget#nangisterharu

Yok vote dulu~

Happy reading:)

***

Sesuai dugaan Seka, Pana menghindarinya setelah membaca surat yang dia berikan. Cowok itu kerap memilih jalan memutar saat berpas-pasan dengannya. Tidak mau merespon saat Seka mengajaknya berbicara. Ketika istirahat pun saat Seka gabung, Pana beranjak pergi beralasan ingin pergi ke toilet. Yang lebih mengesalkan lagi Pana hanya bersikap seperti itu padanya. Membuat Erita, Gavrill, maupun Cullen berfikir mereka sedang bermusuhan.

Padahal niat gue baik. Dasar cowok nggak tahu terimakasih.

Seka merutuki Pana dalam hati.

"Iska, kamu berantem sama Pana lagi?" Erita bertanya. Dia menoleh menatap Seka yang berada di sisinya. Cewek itu terlihat penasaran.

Seka menggeleng. "Mendadak Pana menjauh dan aku nggak tahu apa alasannya." ucapnya bohong. Dia sudah berjanji pada Pana agar tidak berbicara kepada siapapun.

Mereka berjalan di koridor menuju kelas setelah membeli susu kotak dan roti di kantin. Pagi ini Erita belum sempat sarapan membuat perutnya terasa lapar. Lalu bukannya mandiri beli sendiri Erita malah menarik Seka yang baru datang untuk menemaninya ke kantin. Membuat Seka beristighfar dalam hati berusaha sabar. Padahal ada Gavrill yang bisa di ajak pergi ke kantin. Bukan dirinya yang baru sampai di kelas. Dia saja belum menaruh tasnya apalagi duduk, nafasnya masih ngos-ngosan setelah mengayuh sepeda dari rumah hingga ke sekolah yang jaraknya lumayan jauh tapi sudah di seret-seret saja.

"Aku udah kenal Pana lumayan lama dia nggak mungkin menjauhi kamu kalo nggak ada alasannya." Erita mengetuk jari telunjuknya ke dagu berusaha berfikir.

"Paling ntar kayak biasanya." Seka mengangkat bahu acuh. Dia menunduk melihat tangan kirinya yang di genggam Erita, sedikit menggoyangkannya Seka berkomentar. "Erita, kita nggak mau nyebrang kenapa gandengan terus?"

"Kamu keberatan?" Erita balik bertanya. Seka menggeleng. Membuat Erita tersenyum. "Semenjak kamu marah, kita nggak gandengan kayak gini lumayan lama. Tapi sekarang aku seneng karena kita udah baikan."

"Aku juga seneng." Seka balas tersenyum. Dia menatap wajah Erita yang terlihat cantik sekaligus anggun dengan pandangan iri. "Erita, muka kamu cantik." pujinya tulus.

Erita tertawa. Dia balas memuji. "Kamu juga cantik kok."

"Cantikan kamu. Buktinya Gavrill aja lebih milih kamu dari pada Ghaiska." Seka tidak bermaksud menyindir Erita, tapi cewek itu justru menatapnya bersalah.

"Iska, maaf ya." Erita tersenyum sedih. Seka menggoyangkan salah satu tangannya yang bebas cepat berusaha menyakinkan Erita bahwa dia tidak mempermasalahkannya.

"Nggak apa-apa. Itu tandanya Gavrill bukan jodoh aku." ragu-ragu tangan kanan Seka terulur menyentuh pipi Erita kemudian menepuknya lembut. Hal yang di lakukan Erita ketika dia ingin menangis saat bertengkar dengan Pana waktu itu. "Erita, jangan nangis, ya." serunya membujuk.

"Aku nggak nangis kok." Erita terkekeh pelan.  Merasa lucu melihat ekspresi polos Seka.

"Oh, aku kira mau nangis." Seka nyengir canggung. Dia menurunkan tangannya kembali. Lalu mengalihkan pandangan merasa malu.

SekalanthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang