34

135 8 0
                                    

Lebih cepet up-nya kan?

Yok ngapain dulu sebelum baca?

Voteeeee

Komennnn

Happy reading:)

***

"Gav, Iska belum berangkat juga?" Erita bertanya sedih. Matanya memerah menatap Gavrill. Perkataan Seka benar-benar terjadi. Cewek itu telah menghilang selama 3 hari. Tidak berangkat sekolah dengan alasan izin. Hpnya pun dimatikan. Tidak ada seorangpun yang dapat menghubungi Seka. Lalu saat mereka pergi kerumah Seka, kondisi rumah terlihat sepi seperti tidak berpenghuni. Yang dapat mereka lakukan hanya menunggu Seka datang ke sekolah.

Sementara Pana sejak kemarin menjadi pendiam. Tidak berbicara sedikit pun saat di ajak berbicara. Dia juga tiba-tiba pindah tempat duduk menjauh dari Cullen. Entah apa alasannya, tapi yang pasti mungkin saja itu karena kejadian kemarin.

"Dia pasti benci aku banget kan?"

"Mungkin dia masih sakit." Gavrill mengusap rambut Erita lembut. Melihat mata Erita yang bengkak dia menghela napas panjang. "Semalem kamu nangis lagi?"

Erita mengangguk pelan.

"Er, jangan pernah nangis lagi oke?" Gavrill tersenyum. Membawa Erita kedalam pelukannya. Dia mencium rambut Erita, menghirup aroma cewek itu dalam. "Liat kamu nangis, aku juga ngerasa sedih."

"Maaf." Erita berbisik lirih. Dia balas memeluk Gavrill erat. Hatinya sedikit terhibur saat Gavrill perhatian padanya.
Dia sangat mencintai Gavrill. Erita rasa jika dia kehilangan Gavrill, dia tidak akan mampu bertahan hidup.

Iska maaf. Erita bergumam dalam hati. Sorot matanya meredup merasa bersalah. Mau bagaimana pun laki-laki yang dia cintai merupakan milik teman masa kecilnya. Dengan jahatnya dia tega menusuk temannya dari belakang. Merebut laki-laki yang Ghaiska cintai. Masih teringat jelas ekspresi Ghaiska yang begitu terluka saat mengetahui hubungannya dengan Gavrill.

Parahnya, dia bahkan menginginkan Ghaiska tetap menjadi teman baiknya setelah perbuatan yang dia lakukan.

Erita mengigit bibir bawahnya. Dia berbisik parau. "Aku memang manusia buruk."

***

Sudah tiga hari semenjak Seka pulang dari rumah sakit, dia mengurung diri di dalam kamar. Tidak keluar dari kamar sedikitpun kecuali untuk ke toilet, makan, atau menemui Alve di kamarnya. Walau Alve masih benci padanya, setidaknya Alve mengizinkan Seka masuk ke dalam kamarnya dan mengobati luka-lukanya.

Seka cukup merasa senang. Awalnya Tara dan Diandra melarangnya. Mereka takut Alve akan menyakiti Seka kembali. Tapi setelah Seka membujuknya pada akhirnya mereka setuju dengan syarat dua pelayan berjaga di depan pintu.

"Luka Kakak udah mulai sembuh." Seka tersenyum. Dia duduk disisi kasur Alve sambil memeluk kotak obat. "Mungkin besok Kakak udah bisa masuk kuliah lagi."

"Mama sama Papa pergi ke luar kota." Seka menjilat bibirnya yang terasa kering. Balas menatap Alve yang  menatapnya lekat. "Kalau Kakak bosen di dalam kamar, Kakak boleh keluar. Aku bakal bilang ke pelayan biar nggak larang Kakak buat keluar."

Hening.

Seka berdeham canggung. Dia menggaruk pipinya gugup. Matanya berkeliaran kesekelilingnya, mencari pembahasan yang lebih menarik agar Alve mau meresponnya. "Kamar Kakak bagus. Walau warnanya hitam keliatan suram, tapi warnanya bagus cocok buat Kakak."

Apa maksudnya?

Alve berkedip. Secara tidak langsung Seka hanya ingin bilang jika dirinya suram kan?

Melihat dahi Alve yang mengerut, Seka menelan ludahnya gugup. Dia meremas jarinya cemas. Sepertinya dia salah berbicara. Bulir-bulir keringat dingin menyusuri dahinya. Walau di luar dia kelihatan tenang dan sok mengakrabkan diri, sebenarnya jauh dilubuk hatinya Seka deg-degan luar biasa. Atmosfer di ruangan ini sungguh terasa sesak. Apalagi tatapan Alve padanya seolah melihat hama.

SekalanthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang