8

226 18 1
                                    

Erita segera dilarikan rumah sakit oleh Gavrill. Luka-lukanya sudah diobati oleh dokter. Kepalanya dibalut perban karena dahinya yang terbentur ujung meja lumayan dalam. Cewek itu berbaring di ranjang dengan wajah pucat penuh lebam. Walau begitu Erita masih terlihat cantik. Seka yang berdiri diluar ruangan dengan Pana menatap kagum Erita.

Coba kalo yang bonyok gue. Boro-boro keliatan cantik, yang ada muka gue kayak gembel.

"Mau sampe kapan lo ngelamun? Ayo masuk." pertanyaan Pana membuat lamunan Seka buyar. Cewek itu mendongak menatap Pana takut.

"K-kayaknya kita gak usah masuk." cicitnya lirih. Tatapannya beralih pada Gavrill yang sedang menyuapi Erita bubur. Seka menelan ludahnya susah payah.

"Kenapa? Lo cemburu liat mereka berdua?" Seka menggeleng. Bukan itu masalahnya. Tapi entah kenapa dia merasa takut berhadapan dengan Gavrill. Seka takut akan kembali disalahkan. "Yaudah cepet masuk. Gue bakal jelasin semuanya." tanpa persetujuan Seka, Pana menarik tangan Seka paksa. Membawa cewek itu masuk kedalam.

"Lo ngapain bawa cewek itu kesini?" pertanyaan Cullen membuat atensi Gavriil dan Erita teralih pada Pana yang masuk bersama Seka. Seka memegang ujung baju Pana erat.

"Gue mau jelasin sesuatu." ucap Pana.

"Keluar." ucap Gavrill dingin.

"Dengerin gue du-,"

"BAWA DIA KELUAR!" bentak Gavrill murka.

"K-kita keluar aja." bisik Seka pelan. Sebelum situasinya semakin runyam.

Pana menutupi tubuh Seka dibalik punggungnya saat merasakan tarikan diujung bajunya semakin kuat. Dia menatap Gavrill serius. Mengabaikan ucapan Seka. "Bukan dia yang buli Erita. Tapi Siska sama temen-temennya."

"Sejak kapan lo belain Ghaiska?" tanya Cullen tajam. "Dikasih apa lo sama dia? Dia jual diri ke lo?" Cullen tersenyum miring.

"Bisa diem gak lo berengsek?!" ucap Pana emosi. Walau Ghaiska jahat, tapi dia tetap perempuan. Perkataan Cullen bisa saja menyakitinya. Apalagi Pana selalu menghormati perempuan, dia selalu merasa jika menyakiti cewek diluar sana sama saja dengan menyakiti ibunya sendiri.

"Emang kenapa? Lo gak terima hah?!" Cullen menarik kerah baju Pana kasar. Rahangnya mengeras. Sedetik kemudian Seka menjerit ketika Cullen melayangkan pukulan telak.

"Anjing lo!" Pana mengumpat. Dia balas menendang perut Cullen keras. Membuat Cullen mundur beberapa langkah.

"Kalian itu apa-apaan?!" teriak Gavrill marah. Cowok itu memukul satu persatu temannya ketika mereka ingin bertengkar kembali. "Ini rumah sakit gak usah bikin ribut!!"

"Dia yang mukul gue duluan!" ucap Pana tak terima.

"Kalo lo gak bawa nih cewek, gue gak bakal pukul lo." Cullen mendecih sinis.

"Gue bawa dia kesini karena dia gak salah. Bisa gak sih lo mikir? Dengerin dulu penjelasan orang lain bajingan." Pana melotot. Jari telunjuknya menunjuk muka Cullen emosi.

"Asal lo berdua tau, Ghaiska itu yang nolongin pacar lo dari Siska sama temen-temennya setan!" dibela sebegitunya oleh Pana, Seka menatapnya haru. Namun tidak sampai beberapa detik, perkataan Pana selanjutnya membuat Seka mengumpat. "Tapi dia bloon bukannya minta batuan sama orang lain malah sok-sokan dateng sendirian padahal kalah jumlah."

SETAN BIADAB! LO MAU BELAIN GUE ATO HINA GUE BERENGSEK?!!

NYESEL GUE TADI TERHARU SAMA LO DASAR MONYET!!

Melihat ekspresi tak percaya dari Gavrill dan Cullen. Pana berdecak kesal. Dia menoleh menatap Erita serius. "Yang buli lo bukan Ghaiska kan, Er? Jawab jujur biar kesalahpahaman ini cepet selesai." tanya Pana yang langsung diangguki Erita.

"Iya, bukan Iska." jawab Erita lemah. Menahan rasa sakit yang menyerang, Erita mengulas senyum. Dia menatap Gavrill dan Cullen bergantian. "Iska yang nolongin aku. Dia dateng buat nolong aku. Padahal aku jahat sama dia tapi dia masih peduli sama aku." wajah Erita berbinar senang. Pemikiran bahwa Ghaiska sudah memaafkannya membuat dia senang setengah mati.

Itu berarti ... mereka bisa berteman kembali kan?

Senyum Erita semakin lebar.

"Karena Iska udah baik sama aku lagi, kalian jangan sakitin Iska oke? Terutama kamu Gavriil. Aku tau kamu yang dorong Iska kan?" Gavrill terdiam. Dia menyorot Erita gelisah. Kenapa Erita tau? Dia sudah berhati-hati saat melakukan itu. Tidak ada seorang pun yang melihat kejadiannya.

Ya, Gavrill sudah memastikannya, kalo Erita tau tidak salah lagi. Perlahan mata Gavrill melirik Seka tajam. Pasti Seka yang mengadu. Pantas saja kelakuan cewek itu akhir-akhir ini berubah.

Ternyata Ghaiska udah tau gue yang dorong dia dikamar mandi waktu itu.

"Cullen juga. Walau kamu cuma mau ngelindungi aku dari Iska, tapi aku tetep gak suka kamu sakitin Iska."

"G-gue." Cullen berkata terbata-bata. Bingung harus mengatakan apa.

"Aku tau lho selama ini setiap badan Iska luka-luka itu semua karena ulah kamu sama Gavrill kan?" Erita memiringkan kepalanya. Bibirnya masih tersenyum lebar. "Gak apa-apa. Kali ini aku maafin perbuatan kalian."

"Kenapa?" tanya Gavriil bingung. Sejak awal Erita selalu melarang mereka bertiga menyakiti Ghaiska separah apa pun perbuatannya yang dia lakukan padanya. Walau Pana tidak terlibat, Erita tetap memperingatinya. Dia akan marah jika Gavrill membalas perbuatan Ghaiska lebih kejam. "Kenapa? Kenapa kamu belain dia terus-terusan? Dia udah jahat sama kamu, Er."

Sampai saat ini Gavrill tidak paham. Erita tidak pernah menjelaskan alasannya.

"Apalagi kalo dia bukan sahabat aku? Makanya jangan pernah nyakitin Iska. Soalnya ... semisal Iska menjauh lagi dari aku gara-gara ulah kalian..." Erita menjeda ucapannya. Tangannya terkepal erat. Tatapannya terlihat kosong membuat mereka tertegun.

"Aku gak bakal mau ketemu sama kalian lagi."

***

Gak masalah gue harus sok akrab sama Erita. Selama hidup gue aman gue rela ngomong terus sampe mulut gue berbusa. Sekarang tinggal mikirin cara supaya Alve mau maafin gue.

Seka mengunyah nasi gorengnya lahap yang dibelikan Pana. Matanya berkedip lugu saat Erita menatapnya seksama. Seka menunduk melihat nasi gorengnya sejenak. Tadi dia juga tidak menawarkan saat makan. Erita pengin kah? Merasa tidak enak, Seka menyendok nasi gorengnya lalu mengarahkan ke mulut Erita. Dia berkata, "Satu sendok aja, ya?"

"Kalo kamu pengin nasi goreng, aku gak masalah berbagi." imbuh Seka saat Erita mengerjap bingung. "Tapi ... gak boleh banyak-banyak. Kamu cuma boleh minta satu sendok aja." Seka nyengir. Matanya yang bengkak terlalu lama menangis membuatnya terlihat menggelikan.

Erita tertawa. "Aku gak pengin nasi goreng kamu."

"Ohh ..." Seka memakan nasi gorengnya kembali. Kini mereka hanya berdua. Gavriil, Cullen, serta Pana sedang berada dikantin rumah sakit. Kesalahpahaman tadi sudah selesai yang berakhir Gavriil dan Cullen meminta maaf ogah-ogahan karena permintaan Erita.

"Iska, pipi kamu gak pa-pa?" tanya Erita khawatir.

Seka menggeleng. "Harusnya aku yang tanya keadaan kamu."

"Aku baik-baik aja. Lagipula ini udah biasa." sebenarnya Erita tidak bermaksud menyinggung Seka. Tapi Seka memasang ekspresi bersalah.

"M-maaf. Maafin aku yang jahat sama kamu." Seka menunduk meminta maaf. Erita tercenung. "Aku janji gak bakal jahatin kamu. Aku juga bakal relain kamu sama Gavrill dan gak ganggu hubungan kalian. Kalo perlu ... pulang sekolah aku bakalan ngomong sama mama papa biar pertunangan ini dibatalin."

"Is-,"

Seka meraih tangan kanan Erita lalu menggenggamnya erat. "Gak usah khawatir. Aku udah gak cinta sama Gavrill lagi. Kalaupun masih ada aku berusaha buat hilangin perasaan itu. Lagipula hubungan aku sama dia juga dari awal hanya paksaan." Seka meringis. "Kalo aja aku gak maksa tunangan sama dia, mungkin hidup Gavriil tenang. Dia gak merasa tertekan gara-gara aku yang egois."

"Sekali lagi aku minta maaf." Seka mendongak. Menatap Erita yang terdiam. Bibir Seka mengukir senyum. "Aku juga gak keberatan kalo kita temenan kayak dulu lagi."

***

Jangan lupa tinggalkan vote dan komennnn....

SekalanthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang