16

179 18 2
                                    

Heyhey!

Kali ini lebih cepet yaa up nyaa.
Ide ini muncul pas saya lagi nyuci piring sambil ngelamun. Aneh emang:D

***

"Masih sakit?" tanya Erita pelan.

Seka menggeleng. Lukanya tadi sudah tertutup plester setelah di tetesi obat merah. Seka beringsut duduk. Di depannya Erita dengan telaten mengompres matanya yang bengkak akibat terlalu lama menangis mengunakan air hangat. Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya. Selama satu bulan dia di sini Erita orang yang paling tulus dan tidak pernah berbuat jahat padanya. Cewek itu justru akan maju saat dia terluka.

Kalau aja Erita nggak ngerebut Gavrill dari Ghaiska, mungkin dia nanti nggak akan mati. Hubungan mereka juga pasti baik-baik aja sampe sekarang.

Seka menelan ludahnya. Jika diingat-ingat di dalam novel sebelum Ghaiska memperkenalkan Gavrill pada Erita, hubungan Ghaiska dan Erita sangat baik sejak kecil. Kedua orang tua mereka berteman akrab, sehingga Erita sering menginap di rumah Ghaiska untuk bermain bersama. Mereka seperti saudara yang saling menyayangi. Ghaiska bahkan sudah menganggap Erita sebagai kakaknya sendiri. Kalaupun mereka bertengkar, Erita lebih banyak mengalah dan meminta maaf terlebih dulu walau dia tidak salah.

Dulu sekali, waktu Ghaiska berumur sembilan tahun dia bertengkar dengan Alveno. Kakaknya marah ketika Ghaiska yang sudah mempunyai segalanya merusak hadiah ulang tahun yang di berikan kedua orangtuanya. Dengan kesal dia meraih vas bunga di atas meja lalu melemparkannya ke arah Ghaiska. Namun belum sempat mengenainya, Erita yang kebetulan sedang menginap di rumah Ghaiska segera berlari menghampiri Ghaiska dan melindunginya. Membuat vas bunga yang terbuat dari keramik itu menghantam keras kepala Erita hingga pecah berkeping-keping. Darah merembes dari kepalanya. Erita masih sempat tersenyum, dia menenangkan Ghaiska yang menangis histeris. Lalu bukannya memperdulikan kondisinya sendiri, Erita malah menanyai keadaan Ghaiska sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.

Erita dinyatakan koma seminggu oleh dokter, membuat Ghaiska menyalahkan dirinya sendiri. Kalau saja Erita tak melindunginya pasti dia yang akan terbaring lemah di rumah sakit. Lalu ketika kedua orang tua Erita menanyakan kejadian sebenarnya, Ghaiska mengaku yang melukai Erita adalah Alveno. Membuat Tara murka lalu menghukum Alveno.

Ghaiska mengurung dirinya di kamar, terus menangis menyalahkan dirinya sendiri. Dia enggan makan dan minum sehingga tubuhnya kurus. Membuat Mamanya khawatir padanya. Bahkan setelah Erita terbangun dari komanya, dia tidak sanggup bertemu Erita karena rasa bersalahnya. Mau tidak mau Erita yang saat itu baru pulih menemuinya, mengetuk kamarnya yang terkunci sambil memanggil namanya lembut.

Mengatakan jika ini bukan salahnya, melainkan keinginan dirinya sendiri untuk melindungi Ghaiska. Setelah lama membujuknya, Ghaiska keluar kamar dengan wajah sembab dia memeluk Erita lalu menangis pilu sambil meminta maaf. Kemudian dengan mudah Erita memaafkannya. Hubungan mereka kembali membaik seolah kejadian waktu itu tak pernah terjadi.

Setelah Alveno membencinya, hanya Erita teman satu-satunya yang dia miliki. Maka dari itu dia sangat kecewa ketika Erita menghianatinya, merebut orang yang paling dia cintai di dunia ini. Tidak ragu mencaci maki dan memukul Erita untuk melampiaskan amarahnya.

Namun setelah Ghaiska memperlakukan Erita seperti binatang, cewek itu tidak pernah membalas. Dia justru tersenyum sedih sembari meminta maaf ke padanya.

Walau saat itu bukan dia yang melakukannya, Seka merasa bersalah.
Tanpa sadar air mata Seka kembali mengalir. Membuat Erita terkejut.

"Kamu kenapa? Ada yang sakit?" tanyanya khawatir.

"Erita, maaf." Seka menangis. Seolah air matanya tak pernah habis, dia semakin terisak. Dadanya terasa sesak. Membayangkan kedepannya, dia takut suatu saat nanti akan kehilangan kendali dan membunuh Erita. Karena sejak awal ini adalah dunia novel, Seka sadar sudah membuat plot cerita melenceng terlalu jauh. Seka tidak tahu kedepannya akan terjadi apa, pastinya semua perilakunya selama ini selalu ada konsekuensinya. 

Apalagi dia tidak mengetahui jiwa Ghaiska yang asli masih hidup atau sudah mati.

***

"Ghaiska, lo nggak apa-apa?"

Begitu Seka keluar dari UKS, Pana yang sedari tadi menyender pada dinding dekat pintu mendekat. Memasang ekspresi khawatir yang sangat kentara. Dia segera berlari panik ketika mendengar Ghaiska di bawa menuju ke UKS setelah jatuh akibat ulah Cullen. Tata letak UKS yang cukup jauh dari kelasnya membuat Pana ngos-ngosan. Terbukti dari nada bicaranya yang terbata-bata. Serta bulir-bulir keringat yang membasahi dahinya.

"Ghaiska?" Pana memanggilnya saat cewek itu terdiam. Baru sadar Seka masih marah dengannya, dia mundur dua langkah takut Seka akan bertambah marah padanya. "Ta-tadi gue denger lo jatuh gara-gara Cullen nginjek sepatu lo. Ma-makanya gue kesini mau lihat keadaan lo."

Seka masih terdiam.

"Lo masih marah sama gue, ya? Gue minta maaf." Pana tersenyum sedih. Sesaat Seka di buat tertegun. Ekspresi bersalah Pana itu... mengingatkannya pada seseorang.

"Seka, gue minta maaf. Gara-gara gue yang suka sama lo, lo jadi di buli sama mereka."

Telinga Seka berdengung. Kepalanya pusing. Dia hampir jatuh jika saja Pana tidak segera menangkapnya.

"Levi." Seka bergumam pelan. Dia memegang kepalanya yang terasa sakit. Suara itu terdengar jelas di telinganya. Dia melihat sekeliling mencari seseorang tapi tidak ada siapa-siapa karena jam pelajaran sedang berlangsung.

"Ka, lo kenapa?" Pana kembali bertanya. Dia akan membawa Seka masuk ke UKS lagi tapi Seka segera menggeleng.

"Aku nggak pa pa." Seka berusaha berdiri tegak. Lalu melepaskan tangan Pana yang bertengger di bahunya.

"Lo mau kemana?" tanya Pana saat Seka beranjak pergi.

"Pulang."

"Pulang?" Pana membeo. Seka mengangguk. "Mau gue anter?"

"Nggak usah." Seka menggeleng. "Aku mau pulang sama Erita."

"O-oh." pantas saja tadi Erita izin pada guru ternyata untuk mengantar Seka pulang.

"Ka." Pana memanggil. Membuat Seka menoleh. "Lo masih marah sama gue?" tanyanya gugup.

"Aku nggak marah." Seka kembali berjalan. Membuat Pana cepat-cepat mengejar Seka dan berjalan disisinya. "Ini semua salah aku. Kalau aja aku nggak asal ngomong mungkin kamu nggak sakit hati. Jadi..."

Seka menoleh sekilas lalu tersenyum. Menampilkan lesung pipinya yang jarang terlihat tercetak jelas. Membuatnya terlihat manis. "Maaf ya, Pana."

Pana tertegun. Tenggorokannya tercekat. Entah alasan apa yang dia tidak tahu, jantungnya berdegup kencang saat melihat senyum Seka. Dia tertunduk dalam lalu mengangguk pelan. "Eumh."

***

Pana adalah tipe cowok baperan wkwk

SekalanthaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang