#romance #part1
Ini sudah kesekian kalinya, sepertinya orang-orang itu belum juga menyerah, padahal uang cash yang raib tidak seberapa jika dibandingkan jumlah aset yang pria itu punya.
"Kayaknya gak perlu diusut sampai sebegininya deh Pa." Saran sang anak yang dari tadi duduk bosan disebelah sang ayah.
Gadis berseragam SMA yang terpaksa harus mampir ke kantor sang ayah sepulang sekolah. Namanya Lucya, panggilan Lusi, belum genap tujuh belas tahun namun telah memiliki segalanya. Harta, paras rupawan, tubuh ideal meski tidak tinggi, ayah yang terhitung masih muda dan sukses. Lusi bersandar pada sofa, kakinya menyilang menyebabkan rok seragamnya yang memang sudah pendek semakin terangkat. Sang ayah yang menyadari tatapan lapar para detektif di ruanganya, segera menyampirkan jas mahalnya menutupi paha sang putri semata wayang.
"Bukan papa yang mau, om-om detektif yang minta untuk mengusut kasus ini. Buat papa, asal kamu gak lecet saja sudah cukup." Terang pria berusia pertengahan tiga puluhan itu.
"Gak lecet gimana sih Pa! Kepalaku benjol loh karena digetok pistol. Rampok sialan!" Umpat Lusi.
"Baiklah. Jadi bagaimana? Apa kasus ini benar mau bapak tutup?" Tanya pengacara yang juga turut hadir disana.
Sang ayah menoleh pada putrinya, satu anggukan dari Lusi menjawab segalanya. Kasus perampokan di rumah mewah Lusi akhirnya ditutup.
Sepeninggal para detektif, ayah Lusi sempat berbincang dengan pengacaranya, lalu setelah sang pengacara pamit pulang, ayah Lusi menghampiri putrinya. Pria gagah yang masih nampak seperti pemuda dua puluh tahunan itu duduk diseberang putrinya sambil menyalakan rokok. Hal yang biasa Lusi lihat dan gadis itu tidak keberatan.
"Sebenarnya kamu udah liat muka perampoknya 'kan tapi karena beberapa alasan kamu memilih bungkam." Cecar sang ayah. Lusi memilih sibuk dengan komputer tabletnya sambil mencomoti kue yang sempat dibelinya dalam perjalanan.
"Om pengacara juga membenarkan tindakan Lusi Pa, jadi tenang aja, ini juga demi kebaikan papa."
"Kebaikan papa atau kebaikan kamu. Paling juga rampoknya ganteng makanya kamu mau cari dia sendiri." Cibir pria yang berstatus duda tersebut. Lusi mendongak lalu nyengir pada papanya. Sang ayah menghela nafas.
"Udah ketemu?" Tanya sang ayah. Lusi mengangguk semangat. "Kamu yakin cuma uang tunai yang digondol?"
"Hard disk aku juga. Tapi tenang aja, semua aman."
Lusi menutup komputer tablet. Sudut bibirnya terangkat puas mendapati beberapa foto serta informasi alamat IP asal video yang sempat menghebohkan sekolahnya tadi pagi. Ya, hard disk yang berhasil dicuri para rampok itu berisi kumpulan video skandal murid-murid di sekolahnya. Sudah menjadi rahasia umum jika Lusi memegang kartu AS para murid, hingga semua murid tunduk padanya, diluar alasan Lusi adalah anak donatur utama yayasan sekolah. Seseorang yang coba menyebar isi hard disk-nya tentu saja ingin agar nama baik Lusi serta yayasan sekolah menjadi buruk. Intinya, Lusi akan hancur hanya dengan satu hard disk saja. Yang orang itu tidak tau adalah Lusi kini telah mengantongi semua informasinya.
"Papa gak pulang kan malam ini?"
"Pulang dong, masa gak pulang."
"Gak usah pulang deh Pa. Nginep dimana gitu, ditempat temen kencan papa."
Pria yang dipanggil Lusi papa itu menaikan sebelah alisnya, curiga dengan paksaan sang putri yang tiba-tiba. Meskipun Lusi memaklumi tingkah bajingan papanya diluaran sana, Lusi kerap kali bersikap ketus pada wanita-wanita yang ayahnya bawa, terkadang Lusi juga menyeret sang ayah untuk pulang jika gadis itu tau sang ayah sedang berkencan dengan wanita sembarangan.
"Tumben. Seinget papa, kamu posesif sama papa."
"Dari pada papa kencan ngumpet-ngumpet sama Miss Diana, guru baru Lusi yang seksi itu."
Sang papa berdehem kikuk sementara Lusi tertawa menanggapinya. Gadis itu beranjak, menenteng tas sekolahnya setelah memberikan jas mahal milik papanya.
"Lusi mau nginep di rumah Felicia—"
"Papa anter!" Pria itu berucap terlalu semangat sampai membuat Lusi berjengit.
"Papa gak usah genit sama Feli! Dia masih dibawah umur ya!" Peringat Lusi. Sang ayah nyengir saja.
"Dasar pedofil." Gumam Lusi yang ternyata didengar oleh sang ayah.
"Apa kamu bilang?"
"Papa pedofil."
"Awas kamu!"
Lusi buru-buru kabur sambil tertawa puas. Di lobby kantor, sebuah mobil jeep mewah beserta supir hasil rekrutanya telah menunggu. Lusi berlari riang, melompat-lompat kecil seperti seorang bocah taman kanak-kanak. Senyumnya semakin melebar saat membuka pintu penumpang dan mendapati wajah masam sang supir.
"Pagi abang. Siap bawa aku kemana nih."
"Gue bukan abang lo!"
"Oh iya aku lupa kalo gak mau dipanggil abang, maunya dipanggil sayang. Sayangnya Lusi laper gak? Makan yuk sebelum aku makan kamu."
Lelaki dibelakang kemudi itu mendengus lalu menjalankan jeep mewah milik Lusi. Lusi terkikik saja, senang akhirnya bisa membuat lelaki ini menurut padanya. Dia adalah Felix, sosok yang dari beberapa waktu lalu dicari-cari sekelompok detektif yang tadi baru keluar kantor papanya. Salah satu dari komplotan perampok rumah Lusi yang terkena sial karena menarik perhatian Lusi.
"Mau kemana?" Tanya Felix ketus.
"Mampir ke kantor catatan sipil sebentar."
Felix terang-terangan melirik Lusi curiga. Apalagi menemukan senyum lebar gadis itu yang selalu membuat Felix ngeri. Lusi menoleh hendak mengangkat tangan untuk sekedar meraih pipi mulus Felix. Sayangnya Felix terlalu enggan dengan semua bentuk kontak fisik dengan gadis gila disebelahnya sekarang. Lusi tertawa saja menanggapinya.
Mobil jeep itu sudah berbelok memasuki kawasan perkantoran tempat bangunan kantor cacatan sipil berada. Felix mengernyitkan kening, rasa-rasanya ada yang mencurigakan pikirnya.
"Ngapain ke catatan sipil?" Tanya Felix akhirnya.
"Daftarin nikahan kita." Lusi mengayunkan komputer tablet yang sedari tadi dipegangnya.
Tanpa banyak berkomentar, Felix memutar mobilnya mendadak, membuat beberapa mobil dibelakangnya membunyikan klakson kencang. Jalanan memang cenderung sepi tapi tetap terdapat beberapa kendaraan yang berlalu-lalang. Saking mendadaknya Felix memutar mobil, tubuh Lusi sempat oleng dan terantuk pintu. Gadis itu mengaduh sambil tertawa. Puas rasanya membuat lelaki itu semakin kesal.
"Kok puter balik?" Goda Lusi sambil cekikikan.
"Ke rumah makan biasanya. Gue laper, lo juga laper kan?"
"Sayang yang bayarin?"
"Jangan panggil gue sayang! Dungu lo!" Sungut Felix, Lusi semakin tertawa.
"Iya-iya. Ayank yang bayarin ya." Goda Lusi makin menjadi.
"Nyesel gue gak nembak mati lo malam itu."
Terdengar suara terkesiap, keduanya sama-sama diam untuk sesaat. Keterdiaman Lusi membuat Felix kembali mengerutkan dahi. Demi Tuhan, sepertinya Felix akan cepat keriput jika terus berada didekat gadis gila semacam Lusi. Felix langsung menginjak gasnya kencang-kencang ketika Lusi kembali berceloteh, berharap gadis itu akan berteriak ketakutan dan langsung membencinya.
"Tembak sekarang aja bang, terus kita jadian."
Jika bukan karena sayang dengan jeep mewah ini, Felix akan dengan senang hati menabrakanya sekarang. Lusi sangat terhibur ketika berhasil membuat Felix kesal. Wajahnya sangat lucu jika sedang kesal.
Semuanya bermula dari malam itu. Malam dimana seharusnya ia ikut dengan sang papa untuk perjalanan bisnis ke luar negeri.
TBC
Copyright©070722 By_Vee
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales Tell Story [Kumpulan Cerpen]
Short StoryKumpulan cerita pendek dari berbagai genre.