#fiksi #misteri #supranatural
Riuh suara teriakan menggema disetiap sudut jalanan. Sekelompok besar pemuda-pemudi beralmamater dengan lantang meneriakan aspirasinya. Lama sudah mulut dan pemikiran mereka terbungkam, membuat mereka tak lagi meragu untuk turun ke jalanan.
"Hidup Mahasiswa!"
Teriakan tersebut tak hentinya mengiringi perjalanan para mahasiswa menuju gedung wakil rakyat. Dengan tekad dan semangat membara masa muda, tak sedikitpun mereka merasa gentar dalam menyampaikan pendapat mereka.
Beberapa meter, jauh di depan pagar gedung rakyat, aparat keamanan lengkap dengan atribut tempurnya telah berjajar membentuk sebuah benteng pertahanan. Nampak kokoh tak ubahnya dinding arogansi para wakil rakyat yang tengah bersembunyi dibalik sana.
"Kami butuh keadilan!"
"Berikan kami keadilan!"
Seruan-seruan tersebut saling bersahutan menimbulkan suara riuh yang memecah ruang. Kedatangan mereka yang seharusnya diterima meskipun hanya beberapa perwakilan saja, justru dianggap sebagai sebuah ancaman. Aparat keamanan mulai menunjukan sikap tidak bersahabatnya. Dengan keras kepala menghadang mereka yang sebenarnya memiliki etikad baik dibalik semua kebisingan yang diciptakan. Rombongan mahasiswa menolak untuk dihadang dan tidak kalah kerasnya mencoba menerobos jajaran benteng manusia buatan para aparat.
Merasa situasi tidak lagi kondusif, amunisi mulai diluncurkan. Water canon dan gas air mata ditembakan tanpa ampun. Sang target amunisi rupanya tidak pantang mundur. Perlawanan yang diberikan aparat dibalas mereka tidak kalah dahsyatnya. Aksi anarkis mulai mewarnai ketegangan yang sebelumnya sudah memanas. Lemparan batu dan bom asap buatan turut serta mewarnai aksi nekat para mahasiswa. Suara tembakan semakin memperburuk keadaan.
Kacau dan tak terkendali.
Seperti itulah yang bisa dideskripsikan mengenai situasi yang sedang terjadi. Hanya tinggal menunggu waktu hingga korban berjatuhan. Beberapa telah dibawa ke rumah sakit terdekat menggunakan mobil ambulance, dan beberapa mencoba bertahan meski ditengah situasi genting.
Sementara aku...
Aku tidak tahu bagaimana diriku bisa sampai disini, ditengah-tengah kericuhan ini. Aku bahkan tidak mengingat pernah setuju menjadi bagian dari konflik ini. Aku bukan aktifis, bukan juga mahasiswi kritis. Aku hanya seorang gadis yang hampir sampai diujung masa belajarku. Pada tahun terakhirku, aku ingin menikmati bangku kuliahku dengan damai. Biarlah mereka yang mengatasnamakan keadilan mencari apa yang tengah mereka yakini. Akan berakhir seperti apa perjuangan mereka hanya merekalah yang tahu.
Aku berdiri menatapi setiap orang yang dengan agresif mulai melakukan perlawanan atas nama keadilan. Rasa ngeri mulai berkecamuk di dalam benakku. Tubuh-tubuh lemah aku dapati berjatuhan, terduduk tak berdaya dibahu jalan. Asap, luka, dan teriakan tak ubahnya bunga penghias taman yang mereka sebut sebagai aspirasi keadilan. Tangisan para ibu bahkan dapat aku dengar dengan nyaring meski dari kejauhan. Mereka menangisi anak-anaknya yang pamit meminta restu namun berpulang kerumah keabadian.
Aku muak dan kaki lemahku menuntunku untuk mundur menuju lokasi yang lebih aman serta kondusif.
Rumah sakit adalah satu-satunya tempat yang aku pikir akan menjauhkanku dari semua kekacauan di jalanan itu. Tapi sepertinya aku salah. Disini sama kacaunya dengan di jalan. Yang membuatnya berbeda hanyalah petugas medis berlarian kesana-kemari menangani korban akibat kekacauan di jalanan sebelumnya.
Tangisan dan teriakan semakin terdengar jelas memekakkan telinga. Orang tua yang kehilangan anak terkasihnya, seorang adik yang kebingungan melihat satu-satunya keluarganya meringis kesakitan, dan seorang perempuan yang mencoba menegarkan diri demi makhluk kecil di dalam perut besarnya. Begitu pilu hingga membuat hatiku nyeri dibuatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales Tell Story [Kumpulan Cerpen]
Short StoryKumpulan cerita pendek dari berbagai genre.