#romance #ending
Pagi-pagi sekali Feli sudah dibangunkan oleh suara berisik di luar kamarnya. Seperti terjadi sebuah perdebatan alot mengenai car free day. Dan benar saja, ketika Feli keluar kamar, Rey tengah berdebat dengan Felix, lalu Theo tampak merangkul Lusi sambil sesekali berbisik dan membuat keduanya terkikik.
Feli geleng-geleng saja. Terkadang Lusi bisa sangat licik, manipulatif dan misterius. Tapi dilain waktu, Lusi bisa menjadi sosok yang menyenangkan dan mudah berbaur dengan siapa saja, contohnya Theo. Keakraban keduanya dimulai dengan terbukanya fakta bahwa pelaku yang memukul kepala Lusi hingga pingsan sebenarnya adalah Theo. Kekesalan Lusi dia salurkan dengan menjambaki rambut Theo setiap kali mereka bertemu. Bukanya memburuk, hubungan mereka malah semakin dekat. Pembicaran absurb kerap terjadi diantara keduanya, bahkan terkadang hanya dengan saling pandang saja sudah mampu membuat kedua orang absurb itu tertawa terbahak.
"Enggak! Ini bocah kalo sampe sakit perut bisa makin ngerepotin gue!" Kesal Felix sambil menarik Lusi kesisinya.
"Nanti gue sama Theo bantuin ngerawat kalo dia rewel." Rey balik menarik lengan Lusi kesisinya.
Jengah mendengar perdebatan tidak masuk akal itu, Feli menghampiri sang kakak, mencekal tangan kakaknya yang sudah akan kembali meraih lengan Lusi.
"Kan ada gue. Kemarin dia gak serewel itu juga pas sakit. Malah anteng tuh gak banyak tingkah. Bilang aja lo gak rela Lusi diajak kencan sama Rey dan Theo." Cibir Feli dengan senyum miring.
"Mereka gak kencan!" Sergah Felix tajam.
"Cemburu lo." Kali ini Theo mencibir menyebalkan.
"Gak!"
"Cemburu itu." Rey dengan wajah menyebalkanya juga ikut mencibir. Felix melotot tak santai.
"Aku cuma main bentaran kok, abang gak usah cemburu gitu." Lusi dengan cengiran menyebalkan mulai angkat bicara.
"Gue bukan abang lo!"
Felix menghembuskan nafas, sadar dengan tingkah konyolnya. Ia memutar tubuh dan memilih untuk kembali ke dapur. Feli mengikuti gerak-gerik kakaknya dengan mulut menganga. Kakaknya itu sedang merajuk kah?
Lusi menyusul Felix, memperhatikan yang dikerjakan Felix di dapur. Gadis itu berdehem beberapa kali namun diabaikan oleh Felix.
"Abang—"
"Gue bukan abang lo."
"Aku main ke CFD sama Theo dan Rey dulu ya."
"Lo lagi ijin ke gue?"
"Enggak. Aku lagi ngasih tau kakak aja."
Felix menghentikan kegiatanya. Ia terdiam merasa kembali kesal oleh panggilan yang baru saja Lusi ucapkan. Biasanya tidak begitu, panggilan kakak tidak termasuk dalam list, lalu kenapa sekarang... astaga! Felix jadi merinding menyadari isi pikiranya.
"Kakak?" Tanya Felix begitu saja.
"Gak mau dipanggil abang 'kan? Yaudah aku panggil kakak."
Tidak lagi mendapat sanggahan dari Felix, Lusi beranjak. Terdengar suara heboh Theo dan Lusi saling bersahutan, keduanya mengucapkan segala jenis ucapan salam yang mereka ketahui. Ketika hening kembali menerpa rumah, Felix telah mendapati Felicia duduk manis dimeja makan, bersendekap seolah menunggu sesuatu. Felix mengerti dan kembali menyibukan diri di depan mesin kopi. Secangkir latte tersaji di depan Feli. Adiknya itu memperhatikan minuman panas dihadapanya. Aroma dan latte art buatan kakaknya memang tidak pernah mengecewakan.
"Ada untungnya juga abang lama kerja jadi barista."
Felix tidak menanggapi. Ia fokus menyeruputi kopi hitamnya. Mereka duduk berhadapan dalam diam. Feli memperhatikan sang kakak, sementara Felix berusaha menghindari kontak mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Tales Tell Story [Kumpulan Cerpen]
Short StoryKumpulan cerita pendek dari berbagai genre.