💎 || 05

5.6K 127 11
                                    

Nazia berjalan dengan wajah suram menaiki tangga. Dahinya menyatu bersama bibir yang mengerucut. Tak lupa suara hentakan yang ia ciptakan di ruangan besar itu.

Reinand menyusul dengan langkah santai. Bahkan sesekali pria itu terkekeh melihat tingkah gadis itu.

Hal itu tak luput dari pandangan beberapa pelayan dan Cloi yang ada di sana. Perempuan itu sedikit terkejut melihat senyuman di wajah Reinand.

"Gadis kecil!" Reinand memanggil dengan nada lembut setelah menaiki tangga. Dilihatnya Nazia tak mengubris. Gadis itu bahkan mempercepat langkah menuju kamarnya. "Apa kau sedang merajuk sekarang?"

Nazia mendengus sebal. Seharusnya pria setampan Reinand itu peka. Nazia bahkan rela menghentakkan kaki berkali-kali bak anak kecil agar pria itu ada niatan untuk membujuknya.

Ia tak menjawab panggilan Reinand hingga dirinya memasuki ruangannya sendiri. Yap, Nazia memang mempunyai kamar sendiri. Ia tidak mau sekamar dengan pria gila itu. Walaupun pria itu seringkali ke kamarnya, bahkan tidur dengannya.

Reinand baru ingin memasuki kamar, namun ponselnya berbunyi membuat pria berumur dua puluh dua tahun itu berhenti. Ia segera mendekatkan ponsel ke telinga setelah menggeser dial hijau.

'Kau jadi datang pada meeting hari ini?' Suara Levin terdengar marah. 'Kau ada dimana? Sudah di jalan? Percepat!' pinta Levin sedikit berteriak. Memang, hanya Levin-lah yang berani memerintah dan meneriaki Reinand.

Reinand berdecak. Ia menjauhkan ponselnya ketika suara Levin yang kencang. "Hei, Budakku! Diamlah! Aku sedang tidak mood untuk ke kantor."

'Jangan menutupnya!' Levin kembali berteriak. Karena ia sudah mengetahui apa yang akan dilakukan Reinand berikutnya. 'Para klien sudah menunggu. Kau ini bagaimana, sih? Apa yang membuatmu tak mood hari ini?'

Reinand menghela napas. Melirik pintu ruangan yang tadi dimasuki gadisnya. "Apa yang harus dilakukan pada wanita yang sedang merajuk?"

Terdengar helaan napas dari seberang telepon. Reinand pun sama. Pria itu menghela napas panjang. "Ah percuma! Bagaimana bisa aku bertanya pada pria yang lajang seperti dirimu? Punya pacar saja tidak."

Reinand langsung menutup telepon setelah sudah dipastikan bahwa dia akan mendapatkan siraman amarah gratis dari Levin. Ingin kembali melangkah, namun notifikasi di ponselnya menghentikan pergerakan Reinand.

Budakku_
[Lancang sekali mulutmu! Kau tak tau sudah berapa gadis yang tidur denganku, hah?]

Budakku_
[Bawa dia berbelanja, mungkin itu bisa membuatnya tidak marah lagi padamu]

Budakku_
[Cepatlah ke kantor sekarang!]

Reinand hanya melihatnya tanpa ada niat membalas. Pria itu sudah di depan pintu, mengetuk pintu itu berkali-kali.

"Gadis kecil? Kau marah padaku? Baiklah kalau begitu. Ayo kita berbelanja! Kau bebas berbelanja apa saja yang kau inginkan." Merasa Nazia tak membalas, Reinand lagi-lagi mengetuk pintu. "Ayolah! Apa yang kau inginkan? Sepatu? Tas? Perhiasan? Atau bahkan mall-nya saja aku bisa membelikannya untukmu."

Pria itu menyeka wajah lama. Ternyata seperti ini rasanya diabaikan. Selama dua puluh dua tahun ia hidup, baru kali ini seorang gadis mengabaikannya. Padahal yang ada, Reinand yang mengabaikan bukan diabaikan.

Matanya melihat ke arah Cloi yang datang dari arah tangga.

Cloi menghampiri setelah dipanggil oleh Reinand. Pria itu menanyakan hal yang sama seperti yang ia tanyakan pada Levin.

Pertanyaan itu membuat Cloi sedikit tersenyum. Wanita itu berucap, "Mungkin, Nona Muda akan luluh jika Tuan Muda memberikannya ice cream."

Dahi Reinand berkerut. Ice cream? Hal yang paling dihindari Reinand. Pria itu sama sekali tak menyukai ice cream. Manis dan dingin. Reinand tak menyukai percampuran itu.

REINANDOUZS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang