💎 || 24

2K 66 1
                                    

"Kukatakan sekali lagi jangan menangis, Gadis Kecil! Aku tidak apa-apa."

Pria itu menangkup kedua pipi Nazia lalu menarik senyum kecil. "Ada apa dengan wajahmu? Kau menangis seharian ini?" Dahi pria itu mengernyit. Tangan kekarnya mengelus lembut pipi yang memerah itu. "Bukankah ini pakaian yang kau pakai semalam? Ayo, pulang bersamaku."

Bibir tipis yang sedari tadi bergetar karena menangis kini mencoba untuk bersuara. "A-apa yang terjadi, hah? Mengapa ... mengapa kau terluka seperti ini?" Mata yang berair itu memandang setiap sudut tubuh Reinand. Hatinya semakin sakit melihat luka-luka itu.

"Itu tidak penting, Gadis Kecil. Yang terpenting aku bisa melihatmu sekarang. Ada banyak hal yang harus aku jelaskan padamu, semua tidak seperti yang kau dengar." Pria itu mengelus surai hitam Nazia lembut. Hingga matanya tertuju pada goresan merah di pipi Nazia. Alis Reinand berkerut marah. "Siapa yang menyebabkan luka ini?" Nadanya terdengar dingin.

"Itu tidak penting. Yang terpenting sekarang, kau harus ke rumah sakit!" Gadis itu menggandeng lengan Reinand.

Reinand tak bergerak. Pria itu menoleh ke arah rumah di hadapannya. "Tidak, aku harus menemui orang yang ada di dalam sana."

"Jangan! Kau harus segera pergi dari sini. Di mana ponselmu?" Nazia mengusap kedua pipinya. Gadis itu mencari ponsel Reinand yang ada di kantong pria itu. "Aku akan menghubungi Cloi untuk menjemputmu." Ia segera mencari kontak Cloi dan menghubunginya.

Reinand lantas meraih ponsel itu. Matanya memandang Nazia sendu. "Aku akan pergi jika itu bersamamu," ujar Reinand tak mau kalah.

Nazia berdecak. Dirinya takut Alian tiba-tiba keluar dan mendapati Reinand ada di sini. "Pergilah! Kakakku ada di dalam. Dia akan marah jika melihatmu!" tekan Nazia.

Reinand menggeleng tak mau. "Aku bisa menghadapinya."

"Kau terluka, Reinand! Lukamu sangat parah!" Nazia meninggikan suara. Ia terlanjur marah.

"Maka dari itu, kau harus ikut denganku ke rumah sakit." Pria itu menggenggam tangan Nazia.

"Aku tidak bisa!" Mata Nazia terus memandang arah pintu.

"Yasudah, aku akan tetap di sini, mati di sini." Pria itu seketika membaringkan tubuhnya di tanah. Ia menutup mata dan berlagak seolah-olah sebuah jasad.

Nazia menghembuskan napas, berusaha meredam emosi. Gadis itu lantas berdiri. Decakan kecil lolos dari bibirnya sebelum berkata pada Reinand. "Tunggu sebentar."

Nazia berlenggang pergi menuju ke dalam. Sebelum masuk, ia sempat memungut obat yang tadi terjatuh.

"Kenapa lama sekali?"

Nazia terlihat gelagapan. Ia cepat-cepat memberikan obat itu pada Alian. "A-aku ... aku kesusahan mencari obat itu." Dilihatnya sang ibu sudah tertidur pulas di dekapan Alian.

Tanpa rasa curiga Alian meraih obat itu dan meletakkannya di samping kasur. Ia lantas membaringkan Arinda perlahan tanpa membangunkannya. "Jaga Ibu, aku akan pergi memanggil dokter."

"Eh." Nazia mencegah. "Biar aku saja."

Alian menatap Nazia lama. Setelah berpikir panjang ia akhirnya memutuskan. "Pergilah. Cepatlah kembali, jangan berkeluyuran ke manapun! Ambil kunci ini." Alian melempar kunci mobilnya pada Nazia.

Gadis itu menangkapnya dan mengangguk mengiyakan. Ia lantas berlari keluar.

Nazia berhenti tepat di depan pintu setelah menatap tempat yang tadi ditiduri Reinand kosong. Gadis itu menoleh ke segala arah.

"Ada apa Nazia?" Alian tiba-tiba datang. Melihat tingkah Nazia yang mencurigakan membuatnya turun menyusul.

Nazia terkejut. Gadis itu lantas berbalik badan. "Ah, tidak. Sudah lama sejak aku menyetir mobil."

REINANDOUZS (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang