Harus ku kubur dalam-dalam mimpiku untuk menjelajah dunia ketika usia kedua orangtuaku sudah tak muda lagi.Apa aku menyesal karena memilih terpaku saja?
Tidak.
Mungkin lebih sedikit iri pada mereka yang mencapai mimpinya.
Sedikit?
Yakinkah aku hanya sedikit?
Tetapi, aku jauh lebih sakit ketika memilih jauh dari keduanya di saat-saat kondisi tubuh mereka pun tak sesehat seperti beberapa tahun lalu.
Aku memang bukan anaknya yang baik. Jauh dari kata sempurna untuk sekedar membuat beban mereka sedikit saja terangkat.
Tetapi, lebih baik diam memerhatikan dibanding jauh dari mereka namun tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba saja diberi kabar bahwa keadaan tak baik-baik saja. Siapa yang tak didera rasa khawatir kalau sudah seperti itu. Sakit biasa saja sudah hampir membuatku melayang apalagi tahu diterpa sakit parah. Mana bisa aku berpikir jernih.
Lalu setelah diam di rumah, apa kekhawatiranku mereda?
Tidak. Malah semakin khawatir karena rasio sehat dan sakit yang malah tak berjarak jauh. 5 : 5. Semakin tahun, semakin mudah diterpa penyakit.
Aku jadi membayangkan diriku yang memilih untuk tidur jauh lagi. Mungkin saja aku memilih berhenti di tengah jalan sedangkan keputusan itu bukan prinsipku sekali.
Ya, jauh lebih baik begini. Istirahat sebentar atau selamanya. Setidaknya aku masih memantau.
Rasa iriku tidak akan menghentikanku.
Siapa aku yang berhak mengatakan aku bukan anak yang baik. Meski rumahku berisi keluhan melulu, aku mendadak jauh lebih baik dibanding tak mendengar itu.
Karena aku tidak tahu, kapan waktu berhenti sejenak untuk keluarga kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Magic Shop🦋 [ Tamat ]
Short StoryPatah hati, jatuh hati, kecewa, kehilangan arah, mimpi, bahkan ingin mati. Semuanya ada di sini. Sisi lain dari manusia-manusia bertopeng baja yang memiliki sertifikasi tawa paling membahana di dunia. Rasa sakit yang disembunyikan dengan apik, rasa...