1. Satu-Satunya

13.3K 635 109
                                    

Memandangi bentangan langit biru di hadapanku, senyum bahagia segera terbit di wajahku. Sebab sudah tak sabar ingin segera pulang ke kampung halamanku.

Yang meski ini sudah seperti rutinitas untukku. Tapi pulang ke rumah akan tetap jadi euforia luar biasa yang akan sangat berhasil untuk menggugah semangatku.

Sebab bukan hanya soal tempatnya saja. Tapi lebih tentang siapa saja orang-orang yang ada di dalamnya, yang selalu begitu setia menanti kepulanganku untuk bertemu dan berkumpul bersama mereka.

Menghirup napas dengan sangat panjang, senyumku kini semakin terkembang dengan begitu senang.

Apalagi saat menatapi layar ponselku yang sudah menyala. Maka tanpa perlu menunggu lama, panggilan telepon yang masuk sudah langsung aku terima.

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam, Dek. Adek jadi pulang, kan?"

Kekehanku langsung mengudara. Gemas dan bahagia sekali mendengar suara suka cita di seberang sana.

"Iya, Bu. Jadi. Apa Adek nggak usah pulang aja?"

"Ya kalau Adek nggak jadi pulang, berarti, selat yang udah Ibu masak, Ibu bilang Bapak suruh bagiin buat anak-anak kost aja."

Ancaman yang sudah sangat sering kuterima. Tapi setiap kali mendengarnya, aku tetap saja akan tertawa.

"Aduh. Kalau udah dipamerin selat Solo buatan Ibu, gimana Adek jadi nggak pengin, Bu?"

"Ya memang sengaja. Biar Adek pengin, ngiler, terus kebayang-bayang, jadi Adek cepet pulang ke Solo."

Aku kembali terkekeh geli seperti tadi.

"Iya, Bu. Adek pulang. Nggak mungkin jadwalnya diundur lagi. Ini, Adek udah di bandara."

"Alhamdulillah. Jadinya, gimana, Dek? Nanti bisa langsung ke Solo? Atau transit dulu?"

"Bisa langsung, Bu. Tapi Adek nggak dapat yang langsung turun Solo. Jadi nanti, Adek landing di Jogja."

"Nggak papa. Nanti, biar Mas Agam yang jemput Adek ya."

"Mas Agam lagi nggak dinas, Bu?"

"Baru pulang pelatihan. Lagi di rumah, udah dari kemarin. Jadi nanti, biar Mas Agam yang jemput Adek. Tadinya, mau Mas Andri yang jemput. Tapi langsung direbut sama Mas Agam. Katanya, Mamas udah lama nggak jahilin adiknya. Gitu."

Tawa bahagiaku kembali mengudara.

"Dari dulu, Mas Agam kalau mau bilang kangen sama Adek, suka gengsi banget ya, Bu."

"Iya. Gengsinya Mamas emang gede banget kaya Bapak. Tapi sayangnya, juga nggak kira-kira."

"Iya, Bu. Makanya Adek juga sayang banget sama para Mamas."

"Harus dong. Anak-anak Bapak Ibu, putra-putri Bapak Ibu, memang harus bisa rukun dan kompak selalu. Saling sayang, dan saling jaga. Karena itu yang bisa buat Bapak dan Ibu merasa tenang serta bahagia."

"Aamiin. InsyaAllah, selalu ya, Bu."

"Iya, sayang. Ya udah, habis ini, Ibu mau langsung bilang sama Mas Agam. Biar nanti, waktu Adek sampai bandara, Adek nggak nunggu Mamas terlalu lama."

"Iya, Bu. Nggak papa. Ini juga Adek masih di bandara, soalnya pesawat delay. Jadi Ibu tenang aja."

"Ya udah. Adek hati-hati ya. Sambil nunggu, dibawa makan aja dulu. Biar nggak bosen ya, sayang."

Jatuh Cinta Di Udara ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang