Bab 1. (A) Hari Pertama di Sekolah

2.7K 1.5K 438
                                    


Bandung, Senin, 7 Januari 2013-Pukul 07.39 WIB.

Ini adalah hari Senin, hari di mana aku mulai masuk di sekolah yang baru. Aku pindah SMAN dari Majalaya ke Baleendah. Sebenarnya ini bukan keinginanku, tapi keinginan orang tua yang ingin anaknya masuk di sekolah negeri yang biayanya terjangkau. Tadinya memang di SMA Negeri yang biayanya sangat mahal. Aku pindah ke SMAN Cahaya Asa Baleendah-sekolah ini terakreditasi A+ dan merupakan salah satu SMAN favorit di Kabupaten Bandung.

Tapi, yang membuat heran dan bingung, kenapa aku harus banget pindah sekolah ke SMAN tersebut? Seperti tidak ada pilihan sekolah yang lain. Tapi, ternyata alasannya ya itu-karena biayanya cukup terjangkau. Bukan cuma menghemat, tapi memang harus disesuaikan dengan tingkat finansial yang dimiliki oleh orang tua. Maklum, bapakku seorang pekerja serabutan, kadang beliau berdagang buah-buahan musiman di pasar, kadang juga jadi buruh tani di perkebunan singkong, atau jadi kuli panggul. Ya, begitulah pekerjaannya tidak tetap. Sedangkan kakak laki-laki kerja di luar kota sebagai kuli bangunan, ia cuma sekolah sebatas SMP. Terus, apakah aku punya adik? Tidak, cuma dua bersaudara. Sedangkan mamahku seorang ibu rumah tangga, terkadang beliau juga jadi buruh cuci di rumah-rumah tetangga, atau bisa juga ikut bersama bapakku jadi buruh di perkebunan singkong.

Pagi ini setelah selesai mengikuti upacara bendera di lapangan, aku ke kantor sekolah dulu untuk diberi pengarahan sebentar, lalu setelah itu dipandu oleh satu guru untuk memasuki kelas XI IPS-4 yang merupakan kelas urutan terakhir, aku didampingi satu guru yang bernama Ibu Aisyah, karena sebelumnya beliau memperkenalkan namanya dahulu. Sesudah memasuki kelas XI IPS-4 dan mengetahui kondisi kelas, aku malah gerogi, tak tahu apa dulu yang harus dilakukan?

Apa harus memperkenalkan diri dulu? Ah, tapi ... aduh gimana nih, mereka semuanya pada lihatin aku, lagi. (Tanganku gemetar meremas rok berwarna abu-abu itu).

Setelah ibu guru memberitahukan ke murid-muridnya, bahwa mereka telah kedatangan teman baru yaitu aku. Lalu beliau menatapku-berisyarat menyuruhku untuk memperkenalkan diri.

"Hemmm, Bu. Sa-saya boleh langsung duduk, kan. Saya bo-boleh duduk di bangku yang mana, ya?" tanyaku lalu menggigit bibir.

Ibu guru itu tersenyum, lalu berkata, "Boleh. Nanti bangkumu Ibu arahkan, ya. Tapi, kan kamu di sini siswi baru, jadi kamu harus memperkenalkan diri dulu pada teman-teman barumu, ya. Silakan." Sambil tersenyum.

Lalu aku melirik mereka lagi-duh ... mereka fokus bener ya memerhatikanku. (Aku lalu menunduk).

"Ta-tapi, Bu." Aku menatap ibu guru lagi, hanya itu pandanganku yang agak berani.

Ibu guru lalu tersenyum, terus berkata, "Nuri ... kita hidup itu butuh komunikasi dulu dengan orang asing, supaya mereka bisa mengenal kita, lalu kita bisa berinteraksi lebih dalam agar memicu persahabatan antar individu maupun kelompok, tentunya hal ini juga penting untuk membangun peradaban manusia. Jadi, semua orang jangan malu bersosialisasi, ya. Apalagi nih kamu memasuki kelas IPS, nah jadi orang IPS itu seharusnya jangan malu bersosialisasi. Karena sudah jadi hukum alam, bahwa kita sebagai makhluk sosial yang harus hidup bermasyarakat, yang memang kita tidak akan pernah mampu menjalani kehidupan ini tanpa bantuan orang lain," ucap ibu guru dengan lekat menatapku, aku jadi semakin gugup. Tapi, memang benar kata beliau.

"Nuri, kalau kamu masih malu-malu memperkenalkan diri, ya Ibu tidak mau memaksa kamu. Ya, sudah sekarang kamu boleh duduk di ...."

"Hemmm, baiklah, Bu. Saya mau memperkenalkan diri," ucapku-berusaha memberanikan diri. Aku menghela dan mengembuskan napas untuk meredakan rasa maluku, kemudian memandang mereka dengan berusaha percaya diri.

"Ayolah, dari tadi kita udah nunggu nih pengen denger nama indah di lisanmu itu dan pengen tahu dari mana asalmu," kata salah satu siswa di kelas ini.

Sedangkan yang lain juga nimbrung, "Iya, bener, tuh!"

"Eh, kamu gak denger apa barusan Ibu manggil nama dia. Nama dia itu Nuri bukan Indah," tutur seorang siswi sambil berdiri menoleh siswa itu.

"Heh, Nyai Lambe. Apaan sih tiba-tiba maen nyamber komen aja. Kenapa? Oh ... kamu cemburu ya, karena aku gak mau denger namamu dari mulutmu yang kayak kaleng yang nyaring bunyinya itu?"

"Idih ... orang aku cuma ngasih tahu, kok. Ih, malah ke-GR-an. Hemmm, aku tahu, pasti gara-gara cintamu ditolak sama aku kemarin, kan. Jadi, gitu tuh efeknya, berhalusinasi seolah-olah aku ada rasa gitu sama kamu, ih ... jangan ngarep aku bisa cemburui kamu, yes," ucap siswi itu lagi dengan gaya khasnya.

Cowok itu langsung tertawa begitu mendengar perkataan cewek tersebut, "Hahai! Ngomong apa, sih. Nyai Lambe ... Nyai Lambe, entah apa roh halus yang merasukimu? Hahai, ngayalmu ngaco banget."

"Eh, kamu yes yang ngayal," protes si cewek itu.

"Eh, kamu duluan yang repot, kamu juga yang ngayal gak jelas." Cowok itu tak mau kalah.

"Eh, kamu yang gitu mah!"

"Kamu!"

"Kamu!" (Keduanya saling melempar bola kertas)

"Eh ... Desi! Ito! Kalian itu ya kebiasaan, deh. Jaga sikap kalian ya, apalagi di hadapan teman barumu ini, jangan membuat dia merasa tidak nyaman, ya!" Tegur ibu guru sambil menolehku sekilas. Aku pun tersenyum.

"Heuh ... biasa, Bu. Berantem terus ala-ala di sinetron atau FTV gitu, entar juga mereka lama-lama bakalan saling cinta, tuh," nimbrung siswa yang lain. Seketika siswi yang bernama Desi itu pun mendelik ke arahnya.

"Udah, diam semua, ya. Sekarang biarkan dia mengenalkan diri. Silakan, Nuri!"

Sekarang aku jadi tenang semenjak dijeda oleh perdebatan konyol kedua orang itu. Aku lalu mengucapkan salam dulu, lalu mereka menjawab salam.

"Perkenalkan namaku Nuri Hauratul Husna. Aku pindahan dari SMAN Merah Putih Majalaya. Dulu tempat tinggalku di Desa Neglasari, Kecamatan Majalaya, Bandung. Tapi, untuk sementara ini tinggal bersama Bibi di Kampung Nanggerang Jelekong. Sekian, terima kasih."

"Nuri, kamu boleh duduk di bangku ..." Ibu guru lalu melirik bangku pertama yang di sebelah kanan, "Aulia, bangku di sebelahmu kosong, kan Ririn udah pindah sekolah, ya. Jadi, gimana kalau Nuri duduk di sebelahmu, boleh?"

"Boleh, Bu," jawab Aulia sambil tersenyum.

"Nuri, kamu duduk di sebelah Aulia, ya!"

"Baik, Bu."

"Silakan, Nuri," Aulia tersenyum ramah padaku, aku pun tersenyum padanya.

"Asyik ... teman baru kita tuh, Iya. Pengganti si Ririn, tuh. Kebetulan," ucap cewek yang di sebelah Desi di bangku pertama yang di sebelah kiri.

"Nuri!"

"Hemmm, iya." Aku refleks menoleh, ternyata cowok yang bernama Ito itu yang memanggil namaku.

"Tadi kamu bilang tinggalnya di mana, sih? Soalnya suaramu itu kecil, jadi kurang kedengeran?" tanya Ito.

"Ri, jangan dijawab, percuma. Maklum, jalma eta mah da rada budek. Sebenernya dia tuh merupakan pasien abadi yang lagi berobat jalan di THT. Sekarang belum dikontrol ke dokter THT-nya meureun," ledek Desi, teman di sebelahnya pun menyiku lengannya. Sedangkan sebagian teman yang lain pun tergelak. (Meureun artinya mungkin dan jalma artinya manusia).

"Aih ... pengen ditembak bener meureun, nya," respon Ito.

Sttt ... (Ibu guru berdesis sambil jari telunjuk ditempelkan di bibirnya).

"Sekarang kalian buka buku paket ekonomi halaman 93 tentang 'Neraca Pembayaran'. Iya, kasih Nuri lihat bukunya, Ya." Aulia lalu memperlihatkan isi buku paket ekonomi itu padaku.

LANJUT DI PART SELANJUTNYA, YA 👉

Cahaya untuk Tegar (SEASON 2) - TAMAT ✔️ | BELUM TERBIT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang