Bab 21. (C) Adegan di Sepertiga Malam

393 506 0
                                    


Beberapa Saat Kemudian.

Tiba-tiba aku terbangun dan keadaanku sedang dipeluk oleh suami. Ya, aku terbangun karena dari tadi mendengar beliau mendengkur, padahal tidak biasanya beliau mendengkur. Lalu aku menyingkapkan pelukannya, terus bangkit dan menyalakan lampu, lalu kulihat jam dinding ternyata sekarang baru pukul 03.21 WIB.

Lalu aku menatap wajah suamiku—Kasihan, Suamiku. Pasti beliau ngorok itu karena gara-gara kacapean banget. Tapi, meski lagi ngorok gitu, Alhamdulillah, Kang Kuat tetap terlihat ganteng. Maa Syaa Allah, Baarakallaahu Fiika, Sayang. (Aku lalu tersenyum).

Kulihat mata suamiku sedikit terbuka, meski beliau terlelap. Mulutnya sedikit terbuka, wajahnya tampak pucat dan lemas, tapi walau begitu beliau tetap terlihat tampan. Aku lalu membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang sembari mencium keningnya beberapa kali. Dengan hati yang bergetar kasih sayang, lalu berkata, “Kang Kuat Sayang ... sungguh bahagianya aku bisa melewati hari-hari indah bersamamu. Kamu emang suami yang selalu bertanggung jawab dan pekerja keras. Aku bangga banget memiliki suami sehebat, sekuat, dan secerdas kamu, Sayang. Aku berjanji gak akan pernah berpaling darimu, Sayang. Karena Allah, aku sungguh sayang, merindukan dan mencintaimu tak terhingga, Kang Kuat Sayang.” Aku berbisik ke telinganya seraya mengelus rambutnya, beliau pun bergeming. Lalu kucium pipinya—bersamaan itu air mataku jatuh tepat di pipinya itu. Kemudian kukecup bibirnya tiga kali dengan penuh kasih sayang, sehingga beliau pun otomatis terperanjat, menggeliat, lalu menguap. Aku pun langsung menghapus air mataku. Beliau tidak boleh tahu, bahwa aku sudah menangis.

Beliau pun bangkit dan mengucek-ngucek pelupuk matanya.

“Sayang, udah jam berapa sekarang? Udah subuh, ya?” suaranya serak.

“Belum subuh. Baru juga jam setengah empat kurang,” jawabku sekenanya.

“Terus kenapa bangun? Apa jangan-jangan perutmu sakit lagi, ya?” tanyanya sambil menyentuh perutku dengan ekspresi khawatir.

“Nggak papa kok, Sayang. Aku gak sakit perut, kok. Kamu jangan khawatir ya, Sayang. Hemmm, sejujurnya, aku bangun itu karena dari tadi aku denger kamu ngorok,” aku refleks mengatakannya.

“Oh ... jadi, dari tadi aku ngorok? Berarti kamu bangun itu karena terganggu oleh ngoroknya aku, dong. Maaf, ya. Kalau gitu aku tidur di sofa aja di luar.” Tegar menyingkapkan selimut, kakinya nyaris menginjak lantai. Aku pun mencegah.

“Eh, nggaklah, Sayang. Gak ganggu, kok. Justru Cahaya suka ngoroknya Kang Kuat.” Aku tersenyum sambil mengangkat kakinya ke kasur.

“Ngorok itu suara yang menyebalkan, siapa pun yang mendengarnya pasti merasa terganggu. Dan biasanya dia akan nyuruh orang itu buat berhenti ngorok atau gak gitu menyuruhnya tidur di luar kamar.”

Aku menggeleng. “Kalau aku nyuruh kamu berhenti ngorok, itu sama aja nyuruh kamu berhenti bernapas. Nggak! Itu hal yang kejam dan gak mungkin kulakukan,” aku menatapnya lekat sambil menggenggam kedua tangannya, “Sayang, aku gak mau nyuruh kamu tidur di luar kamar dan aku gak mau tidur di tempat yang jauh dari tempat tidurmu. Karena aku takut dilaknat oleh Allah dan malaikat-Nya, juga aku takut tidak mendapat rida darimu, Suamiku Sayang. Karena hal itu hukumnya setara dengan wanita yang tidur dengan meninggalkan tempat tidur suaminya. Sebab itulah para malaikat melaknatnya sampai pagi,” aku lalu mengelus rambutnya dan memandangnya penuh cinta, sedangkan beliau bergeming, “Sayang, sungguh aku suka banget semua suara yang berasal dari dirimu. Aku suka dengerin irama jantungmu, terus tawamu yang renyah dan suara dengkurmu juga. Dan bagiku, itu hal yang penting. Sungguh, aku gak mau kehilangan semua itu, Sayang.” Aku mengusap pipinya yang sebelah kanan, lalu mengelus janggutnya, terus turun memegangi dada bagian jantungnya, serta menciumnya penuh kasih sayang dengan mata terpejam, lantas memeluknya erat sambil mendengarkan detak jantungnya.

“Alhamdulillah, terima kasih banyak, Ya Allah. Atas tanda-tanda kekuasaan-Mu, Engkau telah menciptakan istriku ini dari jenisku sendiri, sehingga aku terus merasa tenteram kepadanya, dan Engkau telah menjadikan kami untuk terus menggenggam rasa kasih sayang dan cinta sejati dalam jalan yang Engkau ridai,” ucapnya tulus. Aku pun tersenyum mendengarnya.

Masih dalam pelukannya, aku bertanya, “Sayang, sekarang kamu tidur lagi, ya! Pasti kamu tadi baru tidur, deh. Oh, ya. Maaf ya, Sayang. Tadi aku gak sempat menyiwaki gigimu, seharusnya aku gak boleh kelewatan menyiwaki gigimu di setiap sebelum kamu tidur.”

“Ya, nggak papalah, Sayang. Kan aku yang minta kamu tidur duluan, jadi aku maklumin. Oh, ya. Emang tadi aku tidur selama tiga jam, tapi itu udah cukup, kok. Jadi, lebih baik sekarang kita salat tahajud lagi ya, Sayang. Lagian kan tanggung, bentar lagi juga azan subuh, jadi kalau sekarang tidur lagi, nanti bisa-bisa kita malah bangun kesiangan, lagi.”

Kemudian kami beranjak untuk melaksanakan salat sunah tahajud.

Cahaya untuk Tegar (SEASON 2) - TAMAT ✔️ | BELUM TERBIT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang