Bab 18. (F) Makan Pertama Pengantin Baru

393 499 0
                                    


Senin, 1 Juni 2015 Pukul 03.13 WIB

Tadi aku bangun pada pukul 02.55 WIB. Karena aku mau memasak makanan untuk sahur. Ya, aku tahu bahwa suamiku itu suka melaksanakan ibadah puasa sunah Senin-Kamis. Ya, hari ini kan hari Senin. Dan aku juga mau puasa sunah Senin-Kamis. Sekarang, aku sudah memasak dan sudah menyiapkan makanan di meja makan. Ya, sebenarnya makanannya ini adalah sisa hidangan hajatan tadi. Ya, ibu mertuaku yang membawakannya ke sini tadi sore. Jadi, aku tinggal menghangatkan makanan tersebut.

Sekarang aku mau membangunkan suamiku. Aku lalu mencium keningnya, kemudian mengelus rambutnya sambil berbisik ke telinganya, "Kang Kuat Sayangku, bangun, yuk! Cahaya udah nyiapin makanan untuk sahur. Kan kita mau melaksanakan puasa sunah."

Tapi, dia tidak bereaksi. Tampaknya tidurnya sangat nyenyak.

Apa suaraku terlalu kecil, ya. Sehingga beliau gak denger.

Lalu aku mengulangi dialogku tadi sebanyak 2 kali lagi, tapi dia tetap bergeming.

Duh ... gimana, ya? Kok aku jadi gak tega banguninnya. Aku jadi kasihan sama suamiku ini. Pasti tidurnya ini lagi nyenyak-nyenyaknya. (Aku sambil terus membelai rambutnya).

Lalu aku mencium kening, pipi kiri, hidung, dan bibirnya, terus aku berbisik ke telinganya, "Aku sayang banget sama kamu. Cahaya sayang banget sama Kang Kuat tak terhingga. Cahaya cinta dan kangen sama Kang Kuat Sayang tak terbatas."

Tak disangka, dia pun membalas kata-kataku itu, "Aku juga sama ...," suaranya serak dengan mata yang masih terpejam.

"Sama apa?" tanyaku.

"Ya, sama. Kang Kuat juga sama sayang banget, cinta dan kangen sama kamu tak terhingga, Cahaya Hatiku yang Jernih." suaranya serak dengan mata yang masih terpejam.

"Ya, udah yuk bangun, Kang Kuat yang Hatinya Tegar!" Aku sambil memegang pipinya.

"Emang udah jam berapa sekarang?" tanyanya serak dengan mata yang masih terpejam.

Aku lalu menengok jam yang terpajang di dinding kamar. Setelah itu, lalu berkata, "Baru jam 03.13. Cahaya tahu, Kang Kuat suka menjalani puasa sunah Senin-Kamis, kan. Nah, jadi Cahaya mau bangunin Kang Kuat sekarang buat makan sahur. Yuk, bangun yuk, Kang!" Aku sambil mengelus pipinya.

"Hayuk, tapi cium lagi dong!" pintanya dengan suara serak tapi manja.

Lalu aku mencium pipinya berkali-kali. Sehingga dia mengaduh, lalu menggeliat. Aku pun membantunya untuk bangun, dia bangkit perlahan sambil berkata, "Ciumannya meuni kebanyakan, tahu," dengan suara serak sambil matanya berusaha melek.

"Biarin atuh. Biar kamu cepet bangun," aku sambil menyandarkannya di tumpuan bantal di kepala ranjang, "udah gitu dulu, biar kamu gak pusing. Dan itu matanya melekin dulu, ah."

Setelah dia berhasil melek, kemudian aku mengambil segelas air minum untuknya.

Aku mengasongkan segelas air minum itu. "Nih, minum dulu airnya, Kang! Biar seger." Aku lalu tersenyum.

"Itu udah kamu minum dulu?" tanyanya.

"Nggak, Kang. Kan ini khusus buat Kang Kuat Sayang." Aku lalu tersenyum sambil terus mengasongkannya.

Lalu dia pun menerimanya, tapi tidak langsung diminum. "Air ini rasanya gak nikmat, kalau gak diminum dulu sama kamu. Jadi, airnya harus kamu minum dulu ya, Sayang. Nih, ayo minum dulu!" Dia malah balik kasih air minum itu ke aku. Aku pun menatapnya, "ayo minum! Nih, aku minumin kamu, ya." Dia mendekatkan gelas itu ke bibirku. Lalu dengan refleks aku pun meminum airnya setengah, selagi dia meminumkan air itu ke mulutku, dia pun sambil mengelus rambutku. Setelah itu, dia meminum air yang tersisa setengah itu tepat di tempat bekas bibirku. Dan selagi dia minum, aku pun membalas membelai rambutnya. Habis itu, dia memberikan gelas kosong itu padaku sambil mengucapkan terima kasih.

Setelah aku meletakkan gelas kosong itu di atas meja. Lalu dia berkata, "Kamu yakin mau puasa sunah hari ini?"

"Ya, yakinlah" jawabku sekenanya.

"Ya, hari ini kan siang pertama kita, lho."

"Ya, emang kenapa kalau hari ini siang pertama kita?"

"Ya, nggak papa. Tapi, takutnya nanti kamu gak kuat, lagi. Gimana?"

"Ya, kuatlah. Lagian, kan sekarang aku udah gak kerja. Udah ngundurin diri saat menjelang nikah, karena aku mau fokus menjadi ibu rumah tangga aja. Sekarang kamu juga masih cuti kuliah dan kerja, kan?"

Dia pun mengangguk sambil tersenyum.

"Ya, udah yuk, kita langsung makan sekarang!" Aku lalu tersenyum.

"Lho, jangan dulu makan. Kan kita harus mandi dulu. Hayooo! Kamu lupa, ya. Kan kita wajib mandi dulu sebelum menunaikan ibadah.

Aku mengangguk. Lalu dia mengulurkan tangannya ke arahku, lalu aku pun meraih tangannya, terus kami beranjak ke kamar mandi bersama. Selagi mandi, kami mengambil airnya dalam satu bejana. Setelah mandi dan berbusana, kami langsung beranjak ke ruang meja makan, waktu menunjukkan pukul 03.51 WIB. Sesudah tiba di meja makan, aku langsung mengambilkan nasi dan lauknya untuk suamiku, dan juga minumannya sudah kutuangkan ke dalam gelasnya. Namun, dia ingin satu piring dan satu gelas denganku. Ya, aku pun menuruti perintahnya. Lalu aku duduk di kursi sebelahnya. Kemudian kami berdoa, tapi sebelum makan, dia bersiwak dulu, setelah itu kami makan bersama dalam satu piring, dia pun menyuapiku dengan tangannya langsung, begitu pun aku menyuapinya dengan tanganku langsung. Serta selagi makan, tangan kiri kami saling bergenggam. Bahkan setelah selesai makan pun, dia tidak mau melepaskan genggaman tangannya. Karena katanya, begini, "Apa pun yang terjadi, dan dalam keadaan apa pun, aku mohon kamu harus tetap genggam tanganku, ya. Dan di masa kini hingga masa depan, selamanya kamu jangan pernah bosan genggam tanganku dan berada di dekatku." Genggaman tangannya tambah erat di tangan kiriku.

Kemudian aku berinisiatif mengelus kepalanya dengan tangan kananku, sambil berkata, "Sayang, tanpa kamu meminta hal itu pun, aku sungguh sudah berniat dan mau melakukan hal itu sama kamu selamanya. Dalam keadaan suka, duka, saat kamu lagi sakit. Aku janji, Sayang. Aku tetap selalu dan terus berada di dekatmu, menggenggam tanganmu, mencium tanganmu, mengelus kepalamu begini, memelukmu, menciummu, menyiwaki gigimu, dan mendengarkan detak jantungmu. Ya, pokoknya apa pun yang terjadi, aku ingin tetap menempel terus sama kamu. Karena kita adalah satu jiwa, meski kita tak senyawa, tapi kita satu hati dalam mencandu rasa dan asa. Pokoknya aku ingin terus bersamamu, Sayang. Sampai ... oh, nggak! Bukan sampai maut memisahkan kita, tetapi sampai surga yang mengabadikan kita. Heum, aku sangat mencintaimu, Sayang. Cahaya sangat sayang kamu, Kang Kuat yang Hatinya Tegar." Air mataku menetes, aku lalu mencium keningnya, terus memeluknya erat. Tegar pun mengelus rambut dan punggungku.


Cahaya untuk Tegar (SEASON 2) - TAMAT ✔️ | BELUM TERBIT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang