Bab 15. (D) Sahabat Terbaik (Selesai)

616 884 15
                                    


Sabtu, 21 Maret 2015-di Kamar Fitriani-Pukul 08.45 WIB.

Pagi ini setelah pulang kerja bagian shift 3 (malam) dan kebetulan sekarang hari libur karena tanggal merah. Jadi, sebelum pulang, aku mampir dahulu ke sini (rumah Fitriani). Meski sebenarnya aku lupa lagi letak rumahnya, karena rumahnya itu ada di dalam perumahan yang jalannya berliku-liku, terlebih aku jarang main ke rumahnya. Di gang menuju ke arah rumah Fitriani itu, aku berpapasan dengan seorang pria. Aku tidak mengenalnya, tapi dia tersenyum dan menyapaku dengan ramah. Sehingga aku bertanya tentang Fitriani padanya dengan cara menujukkan foto gadis itu di ponselku. Seketika itu ia mengaku tetangganya Fitriani. Kemudian bukan hanya menunjukkan arah jalan, namun ia juga mengantarkan aku sampai dekat halaman rumah ini.

Tapi, sebelum aku ke sini, sebenarnya aku ke rumah Aulia dulu. Seperti yang sudah-sudah, maksudku hanya ingin berdamai dengannya, meski aku tahu bahwa dia sekarang sudah semakin membenci aku semenjak pertemuan pada waktu 3 hari yang lalu itu. Namun, hasratku yang ingin berdamai dengannya terus menggebu dan ingin terus berusaha meluluhkan hatinya, karena aku ingin persahabatanku dengan Aulia kembali normal seperti sediakala. Bahkan, aku rela terus memohon minta maaf padanya, meski tahu aku tidak salah, namun aku telah membuatnya kecewa berat gara-gara aku tidak bisa melaksanakan permintaannya yang ingin Tegar datang melamar dan menikahinya. Tapi, itu tak mungkin mampu kulakukan, karena Tegar begitu ketergantungan padaku, meski aku juga merasa ketergantungan padanya, tapi sebenarnya aku bisa saja berkorban melepaskan dia untuk Aulia. Biarkan aku saja yang merasakan sakit hati, namun aku tak sanggup dan tidak kuat jika melihat Tegar merasakan sakit hati karena jauh dariku, apalagi dia sudah terlalu menderita sakit yang bertubi-tubi oleh penyakitnya dan juga menderita oleh masalahnya yang lain.

Di rumahnya, Aulia malah mengusir aku bahkan sampai mendorong aku sampai jatuh, seketika itu aku jadi merasa tak kenal lagi dengan Aulia yang dulunya dikenal baik dan selalu tersenyum ramah padaku. Namun, mamahnya bisa berbicara baik-baik denganku. Beliau berkata bahwa beliau dan papahnya sebenarnya sudah sering menasihati Aulia supaya ikhlas melepaskan Tegar untuk aku. Tapi, memang watak anaknya itu begitu keras, biarpun dia anak yang baik, namun sifat buruknya aktif ketika suatu keinginannya tidak terlaksana. Kata mamahnya, dari kecil, Aulia selalu dimanja, hampir semua keinginannya selalu tercapai, sehingga membuatnya puas, bahagia, dan membuat perangainya bagus, tetapi jika ada satu saja keinginannya yang tidak terlaksana, maka hatinya sulit menerima dan mengadat. Jadi, bisa dibilang, segala keinginannya harus selalu bisa diraihnya tidak boleh tidak bisa.

Karena Aulia tidak bisa diajak berbicara baik-baik, maka aku meninggalkan rumahnya. Lalu dalam perjalanan pulang, aku jadi merasa bingung, karena di satu sisi aku butuh teman untuk dijadikan sebagai motivator dan pendengar yang baik untuk mendengarkan cerita curahan hatiku. Kemudian aku pergi ke rumah Fitriani. Karena aku pikir hanya Fitriani sahabatku satu-satunya yang bisa diajak berbicara dari hati ke hati, karena cuma dialah yang bersifat netral, dia tidak memihak dan membela siapa pun, tapi sepertinya dia mendukung hubunganku dengan Tegar, sedangkan Desi malah memihak dan membela Aulia, dia hanya mendukung hubungan Tegar dengan Aulia.

"... jadi, menurut kamu ya, Fit. Apa aku egois karena udah memutuskan begitu?" tanyaku setelah menceritakan semua padanya.

"Ri, kalau menurut aku, kamu gak egois dan gak salah, kok. Justru aku menyayangkan keputusan kamu yang awalnya itu. Padahal mah kamu gak usah berkorban dengan lakuin permintaannya si Iya yang mengharuskan kamu lepasin Kak Tegar buat dia, ih ngapain gitu. Nih ya, Ri," Fitriani lalu merekatkan posisi duduknya denganku. Kami duduk di atas kasur busa kecil yang kata Fitriani baru dibelinya sebulan yang lalu, "kamu tuh jadi orang jangan terlalu baik, deh. Gini ya, Ri. Kita emang harus berbuat dan bersikap baik sama siapa pun termasuk sama sahabat-sahabat kita, tapi bukan berarti kita harus memberikan segalanya sama sahabat kita. Kita boleh ngasih barang-barang atau benda-benda kesayangan kita kepada sahabat, tapi tidak dengan orang yang kita sayangi, Ri. Tentu rasanya beda kan bahwa hati kita bisa dengan mudahnya mengikhlaskan barang-barang kesayangan kita buat dimiliki oleh sahabat, tapi kalau orang kesayangan kita dimiliki oleh sahabat, ya tentu hati kita merasa sulit banget mengikhlaskan, cuma di mulut gampang mengikhlaskannya. Jadi buat apa, Ri? Buat apa? Kalau kebaikan itu hanya membuat satu pihak bahagia, tetapi dua pihaknya lagi malah menderita karenanya. Nah, itu artinya pengorbananmu itu cuma bisa bikin si Iya bahagia, tapi kamu dan Kak Tegar malah menderita, kan. Karena Kak Tegar inginnya sama kamu, Ri. Bukan sama Iya. Tapi, aku mendukung banget keputusanmu yang sekarang, Ri. Emang itulah keputusan yang tepat, yang seharusnya keputusan itu kamu ambil dari awal dan gak berubah."

Cahaya untuk Tegar (SEASON 2) - TAMAT ✔️ | BELUM TERBIT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang