Bab 8. (A) Kehidupan Usai SMA

669 930 8
                                    


Senin, 18 Agustus 2014.

Ternyata mencari pekerjaan tidak segampang mengedipkan mata. Dulu sewaktu sekolah, aku berpikir bahwa dengan berbekal ijazah SMA bisa mudah diterima kerja. Namun, kenyataan malah berbalik. Telah cukup banyak perusahaan-perusahaan industri didatangi. Beberapa pabrik garmen kebanyakan hanya membutuhkan karyawan yang berpengalaman/berkeahlian menjahit. Sedangkan aku tidak punya keahlian tersebut, otomatis lamaran pekerjaanku ditolak. Terus ke pabrik textil. Nah, syarat untuk bisa kerja di situ harus berbadan tinggi mininal 160 cm, sedangkan tinggi badanku di bawah itu, sebab itu tidak diterima. Lalu ke pabrik plastik, syaratnya sama seperti di pabrik textil. Ya, tentu gagal lagi.

Kukira profesi yang mensyaratkan tinggi badan itu untuk pekerjaan modeling. Eh, ternyata seorang buruh pabrik juga harus tinggi. Walau tidak semua pabrik mencantumkan syarat itu. Kenapa begitu? Alasannya karena mesin-mesin di pabrik textil dan plastik ukurannya tinggi, jadi pantaslah pegawainya harus berbadan tinggi pula.
Sekarang aku masih menganggur, baru saja kaki ini ditempel plester koyok panas, sebab pegal-pegal. Sudah ke sana-sini, alhasil malah membuang-buang uang karena dipakai ongkos. Walau sering kali jalan kaki kalau sudah sampai di depan gang-gang besar menuju pabrik ini gunanya supaya mengirit ongkos. Tapi, tetap saja dompetku menipis, apalagi melamar pekerjaannya hampir tiap hari.

Beginilah kenyataan hidup setelah banting bangku SMA. Kala SMA, salah satu guruku pernah memberi nasihat pada murid-muridnya begini, "Kehidupan selepas SMA itu perih dan kejam, apalagi bagi mereka yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi dan malah memilih bekerja. Ingatlah kalian nanti akan dihadapkan dengan berbagai profesi yang kompetitif. Ini berlaku bagi kalian, baik yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, apalagi yang langsung memilih bekerja setelah lulus SMA. Dan satu kuncinya adalah dengan prestasi/keahlian yang dapat membuka bidang profesi."

Terus, aku juga ingat perkataan Fitriani yang begini, "Pekerjaan itu akan gampang didapat kalau menggunakan keahlian atau talenta, bukan dengan ijazah yang nilai-nilai akademisnya bagus." Ya, yang nilai akademis bagus saja tidak menjamin diterima kerja di pabrik, apalagi yang nilai akademisnya pas-pasan seperti nilai akademisku.

Aku mengaku memang tidak punya keahlian apa-apa. Hanya memiliki keinginan yang kuat, tetapi kenapa rasanya lemah untuk berusaha mendapatkannya? Kalau aku pribadi yang potensial, pasti tidak sulit mendapatkan pekerjaan. Bisa dibilang moto 'profesi murah dengan talenta'.

Kata Fitriani, bahwa kerja itu menyenangkan dan nyaman kalau menggunakan keahlian/talenta. Berbeda rasa jika kita melakukan setiap tuntutan kerja, namun sebenarnya itu bukan kegemaran dan keahlian kita, melainkan karena saking butuh uang jadi terpaksa melakukannya, sehingga sama sekali tidak mencintai pekerjaannya. Karena itu menyebabkan tidak profesional dalam bekerja.

Seyogianya seorang pegawai jatuh cinta pada pekerjaannya, dan itu bukan cuma dilihat dari besarnya nominal gaji. Tetapi, tipe pekerjaannya harus disesuaikan dengan kemampuan yang kita punya. Atau tidak ada jalan lain harus melakukannya, meski tidak setara dengan hobi atau keahlian, ya kita harus bersikap terbuka pada segala bidang pekerjaan apa pun asalkan pekerjaan itu halal, dan biar langgeng bekerjanya, cobalah lakukan selagi mampu, mana tahu itu malah menjadi keahlian atau talentanya yang akan menyukseskannya. Maka sebaiknya jangan melibatkan hasrat minat dengan mata pencaharian, kalau kenyataannya sulit didapat, apalah daya? Maka sampai kapan pun tidak akan pernah menemukan titik terangnya. Nah, begitulah pemikiranku saat ini. Jadi, kerja apa pun harus siap dan menerimanya dengan syukur asalkan pekerjaannya halal. Selalu ikhtiar dan disertai dengan doa. Lalu husnudzan, berbaik sangka bahwa doanya yakin diijabah dan dikabul.

Aku senang sekaligus bangga pada sahabatku, Fitriani. Dia berhasil mengolaborasikan talentanya dengan profesi. Kemarin dia disuruh jadi sopir pribadi dan bodyguard anak tetangganya. Wah, jadi seorang sopir dan bodyguard? Saat itu aku menjawabnya dengan nada heran plus tak percaya. Aku tanya apakah serius? Kukira dia sedang bercanda. Eh, tapi langsung terbukti, loh.
Di tengah percakapan kami di rumahnya waktu itu, tiba- tiba datang seorang anak SMA, dia juga merupakan adik kelas kami. Gadis sekolahan itu meminta tolong pada Fitriani untuk mendampinginya pergi belanja ke mal dan menonton bioskop, lantaran anak berparas molek itu sering digoda lelaki-lelaki berandalan yang acap kali mengikutinya ke mana pun pergi. Menjadi seorang sopir sekaligus bodyguard, menurutku itu profesi yang langka untuk seorang perempuan. Pekerjaan yang ekstrem, tentu saja konsekuensinya besar. Gadis karateka itu tidak peduli dengan risikonya, padahal jelas- jelas bisa mengancam nyawa sendiri.

Mengapa pekerjaan itu diambil? Apa ia tidak berpikir, bagaimana kalau lelaki-lelaki itu balas dendam padanya? Malah berbalik dia yang jadi bulan-bulanan.
"Kan ada Allah, kenapa harus takut? Lagian aku suka tantangan, bagi aku tantangan itu adalah vitamin yang harus aku konsumsi, biar bisa membugarkan mental." Itu kalimat yang menggairahkan mentalku.

Ini adalah kalimat Fitriani yang membuat aku kagum, "Sebagai anak sulung berarti aku anak tulang punggung keluarga yang harus kerja demi keluarga, apalagi ibu sama bapak udah bercerai. Kasihan ibu kerja di pabrik penuh tekanan batin jadinya sakit, akhirnya di-PHK. Terus ya ... udah aku suruh beliau berhenti kerja, biar aku aja yang kerja."

Kenapa aku tidak berpikiran sedewasa itu? Gadis karateka itu juga mengutarakan hasrat suci, dia ingin memberangkatkan ibunya ke Baitullah juga mau menyekolahkan tinggi adik-adiknya. Sungguh aku kagum dengan ambisiusnya yang luar biasa. Meski gajinya tak seberapa. Dia tetap bersyukur dan berkata, "Yang penting aku seneng dan merasa lega, karena talentaku bisa berfaedah bagi orang lain. Walau gajinya bisa dibilang gak seberapa, tapi Alhamdulillah, lumayanlah berkat upah aku itu bisa bikin warung seblak dan bakso kecil-kecilan buat ibu. In Syaa Allah, mudah-mudahan bisa sukses dan barakah, Aamiin."
Demikianlah obrolan dengan Fitriani kemarin, sebelum dia bertugas mengantarkan majikannya itu.

*******

Senin, 25 Agustus 2014.

Alhamdulillah, hari ini aku berangkat melamar kerja ke suatu pabrik, ya kemarin Sabtu aku dapat informasi dari seorang teman seperjuangan yang sama-sama mencari pekerjaan. Katanya bahwa ada pabrik garmen yang membutuhkan pegawai yang baru lulus sekolah atau yang belum berpengalaman kerja. Alamatnya di kawasan Dayeuh Kolot. Aku gugup ketika personalianya membuka surat lamaranku. Baru kali ini loh ... surat lamaranku akhirnya dilihat juga oleh pihak perusahaan. Sebelumnya jangankan begitu, disentuh amplopnya saja tidak. Malah ditanya dulu, sudah berpengalaman kerja atau belum? Atau berapa tinggi badannya? Sudah ditanya begitu langsung disuruh pulang lagi, karena tidak punya keahlian dan tinggi badannya kurang.

Ternyata untuk masuk perusahaan ini tidak sesulit yang aku bayangkan. Kukira testingnya seperti yang di minimarket kemarin, yang dites psikotes dan IQ. Eh, malahan di sini lebih gampang. Di-interview saja sudah langsung pulang dan besoknya mulai kerja. Apa mungkin karena perusahaan ini sedang membutuhkan karyawan banget, ya?

Cahaya untuk Tegar (SEASON 2) - TAMAT ✔️ | BELUM TERBIT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang