Bab 11. (C) Perasaan Aneh di Rumah Duka (Selesai)

614 894 10
                                    


Pukul 09.37 WIB—Masih di Rumah Tegar.

Setelah selesai salat jenazah dan pemakaman jenazah, aku masih di sini untuk membantu menyiapkan hidangan buat acara tahlilan, karena Ibu Nenden menyuruh aku demikian. Aku ikhlas membantu mereka, terlebih saat selesai pemakaman jenazah tadi, katanya Tegar mau berbicara sesuatu padaku dengan ekspresi serius. Semenjak itu aku jadi merasa penasaran. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu yang penting dan beda.

Kini aku posisinya di ruang tengah lagi-Kak Tegar mau ngomong apa, ya? Apa jangan-jangan ... dia mau ngomong ... ah, ngaco. Gak mungkin gitu. Ih, Nuri kamu mikir apa, sih. (Aku lalu tepuk jidat).

Tiba-tiba Tegar memanggilku, "Nur!" Dia posisinya tepat di lawang pintu menuju ruang tengah ini. Kira-kira jaraknya 3 meter dari posisiku.

Lalu aku sontak mendongak, "Eh, hemmm, Kak Tegar. A-ada apa ya, Kak?" Aku sambil tersenyum gugup.

Lalu dia menghampiri aku.

Duh ... jangan-jangan dia mau ngomong sesuatu itu, lagi. Duh ... Ya Allah Gusti ... kenapa jantungku menggedor-gedor dadaku lagi, sih. (Aku refleks menyentuh dada sambil menggigit bibir).

Sekarang Tegar tepat berada di hadapanku, "Nur, sekarang waktunya kamu bantu-bantu kita, ya. Kamu beneran gak kerepotan, kan?"

"Lho, tapi, Kak. Bukannya Kak Tegar mau ngomong sesuatu ya sama aku?" tanyaku refleks, sehingga aku langsung menutup mulut dengan telapak tangan, karena keceplosan.

"Oh, kalau itu nanti aja ngomongnya, ya. Sekarang kan suasananya lagi berduka dan riweuh, terus aku juga mau pergi ke pesantren sekarang buat mengundang pak kiai, para ustaz, dan para santri untuk mengisi acara tahlilan di sini, jadi sekarang tuh momennya gak tepat untuk membicarakan soal itu."

Tiba-tiba Ibu Nenden menghampiri aku, lalu berkata, "Neng Nuri, punteun bantu Ibu, ya untuk menyuguhkan hidangan pada teman-temannya Ibu di ruang tamu!"

"Lho, Bu. Punteun, Bu. Kalau untuk itu mah, kenapa Ibu gak nyuruh si Imas atau si Zahra atuh? Atau siapa gitu, nyuruh orang-orang yang ada di dapur kan bisa, Bu." Tegar sambil menunduk takzim terhadap ibunya.

"Tapi, Ibu maunya oleh Neng Nuri pokoknya."

Aku tersenyum, "Gak papa kok, Kak. Ya, baik, Bu." Aku sambil mengangguk.

Kemudian aku beranjak ke dapur untuk melaksanakan perintah Ibu Nenden. Secara bersamaan, Tegar juga langsung pamit untuk pergi ke pesantren.

*******

Setelah menyuguhkan hidangan kepada ibu-ibu-teman-temannya Ibu Nenden itu, lalu salah satunya dari ibu-ibu tersebut memujiku, "Euleuh-euleuh ... meuni rajin si Neng." Ibu itu menatap aku sambil tersenyum.

Aku pun tersenyum dan mengangguk takzim padanya sambil memegang nampan.

"Saha eta teh, Ceu? Calon istrinya Ujang Tegar?" tanya seorang ibu yang lain kepada Ibu Nenden.

"Ah, bukan, Ceu," jawab Ibu Nenden sekenanya.

"Oh, temannya Ujang Tegar berarti, ya? Atau sepupunya Ujang Tegar yang dari luar kota?" tanya seorang ibu yang lainnya lagi.

"Bukan juga. Tapi, dia teh cuma PRT di sini," jawab Ibu Nenden sambil menatap dan tersenyum sinis padaku.

Perkataannya tersebut, sontak membuat hatiku syok, begitu nyelekit. Sungguh, aku benar-benar tidak menyangka Ibu Nenden akan berkata begitu.

"Oh, PRT," ucap ibu-ibu-teman-temannya Ibu Nenden itu secara kompak sambil menatap aku juga.

"PRT teh masih muda, ya di sini mah," komentar seorang ibu yang lain lagi.

Cahaya untuk Tegar (SEASON 2) - TAMAT ✔️ | BELUM TERBIT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang