Bab 19. (D) Romantik

379 500 0
                                    


Minggu, 7 Juni 2015—Pukul 08.07 WIB.

Hari ini kami hendak pergi untuk menuntut ilmu di pesantren. Tadi aku selesai mandi dan berpakaian, sekarang aku sedang merapikan jilbab sambil menghadap meja dan cermin rias, setelah itu aku lalu memakai pelembab wajah dan bedak seulas—selagi ini, aku mendengar suara merdu suamiku yang sedang membaca selawat dan syair puji-pujian—posisinya berada di luar kamar, selawat dan syair puji-pujiannya begini, “Allahumma Shalli ‘Alaa Muhammadin ... Sayyidina Wa Maulana Muhammad. Kanjeng Nabi marentahkeun ka umatna ... salat lima waktu, tholabul ‘ilmi, Allah Faridhotun ‘Ala Kulli Mukallafin.” Ini diulangi 3 kali.

Di saat aku selesai memakai pelembab wajah dan bedak seulas—seketika itu, suamiku muncul lalu langsung memelukku dari belakang sambil mencium pipiku, terus berkata, “Cahaya Hatinya Kang Kuat, udah siap berangkat belum, Sayang. Heum?” tanyanya, lalu mencium pipiku lagi.
Artinya : Rasul memerintahkan kepada umatnya salat lima waktu, menuntut ilmu—Allah mewajibkannya bagi seluruh muslim dan muslimat

“Udah siap sih, Sayang. Tapi, aku ingin minta izin dulu sama kamu. Boleh gak, aku dandan buat keluar? Kan aku mau ikut tholabul ‘ilmi sama kamu. Nah, kalau aku gak dandan, gimana nanti malah malu-maluin kamu, lagi. Gimana, dong?” tanyaku sambil menolehnya ke belakang—masih dalam dekapannya. Seketika itu Tegar tertawa.

“Idih, kok malah ketawa, sih. Bukannya dijawab. Aku kan serius nanya kamu.” Aku lalu cemberut.

Lalu Tegar berhenti tertawa. “Alhamdulillah ... Maa Syaa Allah ... Baarakallaahu Fiiki, Sayang. Sayang, kamu gak sadar, ya?” tanyanya menggantung, bikin aku penasaran.

Seketika aku mengernyitkan dahi. “Gak sadar, gimana maksudnya?”

Lalu aku memutar kursi untuk menghadapnya.

Tangannya yang sontak terlepas pun kemudian menggenggam kedua tanganku sambil berjongkok di hadapanku dan menatapku. “Gak papa, cuma kamu gak menyadari kalau kamu dandan, maka make up yang kamu pake itu jadi gak berfungsi.” Tegar sambil tersenyum mesra.

“Lho, kenapa bisa begitu?” Aku sambil mengernyitkan dahi.

“Ya, iyalah, kosmetiknya ketutupan sama kecantikan cahayamu. Sebab, kecantikan cahayamu itu make up dari segala make up. Kecantikan cahayamu itu merupakan kosmetik satu-satunya yang tidak ada lagi di dunia.” Tegar sambil tersenyum mesra.

“Idih ... gombal,” ucapku refleks. Tapi, sebenarnya hatiku seolah-olah mau terbang setelah mendengar perkataannya itu.

“Eh, bener serius. Ini bukan gombal. Sungguh cahayamu itu adalah kosmetik mutlak dalam dirimu. Jadi, ngapain kamu repot-repot dandan, BBW alias buang-buang waktu aja, deh.” Tegar lalu tersenyum.

Aku tersenyum. “Eh, tapi serius nanya nih, Sayang. Aku boleh dandan, gak?”

Tegar lalu menatapku serius. “Cahaya Hati Sayangku, Cintaku. Dengerin Kang Kuat, ya!” Sembari memegang kedua pipiku, “kecantikan kamu itu letaknya selain di hati, tapi juga terletak di namamu. Nur artinya cahaya, kalau Nuri artinya cahayaku. Ya, karena cahayamu itu yang membuat fisikmu cantik. Kamu tahu, aku jatuh hati padamu semenjak pandangan pertama, ketika aku pertama kalinya melihat cahaya jernih yang kuat yang menyelimuti dirimu, dan itu tidak bisa dilihat dengan kasat mata, melainkan dengan mata batin yang tulus. Ya, cuma aku yang bisa melihatnya, karena aku tulus menyayangi dan mencintaimu, Cahaya Hatiku Sayang. Jadi, aku suka kamu yang apa adanya. Udah gitu aja gak ribet.” Tegar tampak tulus memujiku. Sungguh, hatiku tersanjung mendengarnya.

Senyumku semakin lebar. “Jadi, udah nih gini aja gak usah dandan? Tapi, bener ya aku gini aja gak bikin kamu malu, kan?”

“Gak malulah, justru aku seneng kamu menyembunyikan kecantikan paras dan tubuhmu di hadapan lelaki lain. Sungguh aku meridai kamu berdandan cuma untuk aku aja ya, Sayang. Karena memang istri itu diwajibkan berdandan hanya untuk suaminya, kalau istri itu mengumbar kecantikan paras dan tubuhnya kepada banyak lelaki yang bukan mahram, maka itu haram hukumnya dan itu sama aja dengan zina, kenapa bisa begitu? Ya, karena keindahan wajah dan tubuhnya itulah yang mampu membuat zina mata bagi para lelaki siapa pun yang memandangnya, dan yang selanjutnya itu dapat membangkitkan nafsu berahi dalam hati para lelaki tersebut. Ya, meskipun kamu berpakaian tertutup, tidak seksi. Tapi, tetap aja keindahan parasmu yang udah di-make-up itu bisa membuat para lelaki yang bukan mahram itu terpana melihat kecantikan parasmu. Jadi, ya udah kalau kamu ingin dandan ke luar mah, udah gini aja. Pake bedaknya aja seulas gini. Gak usah deh pake lipstik, terus pake ... apa tuh namanya pelentik bulu mata teh mascara ya, eye liner, eye shadow. Nah, gak perlu pake yang begituan, ya. Cuma, nih kamu teh kurang pake blush-on, deh.” Tegar sambil mengelus kedua pipiku.

Hah, pake blush-on? Lho, pake yang lainnya gak boleh, kok pake blush-on boleh sih, Sayang?” tanyaku heran.

Eh, betapa kagetnya aku, begitu Tegar mencium kedua pipiku secara tiba-tiba. Lalu suamiku itu berkata, “Itu blushon-nya yang khusus dari Kang Kuat, itu biar melengkapi kecantikan cahayamu, Cahaya Hatiku Sayang.”

Senyumku semakin lebar. “Ih ... Kang Kuat mah meuni genit, deh.” Aku sambil mencubit kedua pipinya geregetan.

“Biarin, kan genit sama istri mah ibadah,” jawabnya disertai tawa renyahnya.

Lalu aku mengecup bibirnya, Tegar pun sontak bengong. Setelah itu aku membawa tas kecil yang berisi sebuah buku catatan beserta sebuah pulpen, sedangkan Tegar tidak membawa apa-apa, karena Alquran, kitab-kitab, dan buku catatannya disimpan di lemari di pesantren.

Lalu aku berkata, “Aku juga mau ibadah dong, genit sama suami,” ucapku disertai tawa. Tegar pun tersenyum, lalu beliau menggandeng tanganku, kemudian kami berangkat. 

Cahaya untuk Tegar (SEASON 2) - TAMAT ✔️ | BELUM TERBIT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang