Bab 19. (C) Panti Asuhan

377 500 0
                                    


Di Panti Asuhan—Pukul 13.19 WIB.

Sepulang dari olahraga berkuda dan memanah, kini kami rencananya akan berenang di kolam panti asuhan. Supaya kami sekalian berenang bersama anak-anak di sana, dan setelah itu suamiku mau mengajar mengaji pada anak-anak asuhnya tersebut. Dan sekarang baru saja tiba di panti asuhannya. Kedatangan kami langsung disambut ramah oleh pengurus panti asuhan ini yaitu ada 9 orang ibu-ibu yang bertugas mengurus, merawat, dan memberikan tarbiah kepada anak-anaknya dan 7 orang bapak-bapak yang bertugas menyiapkan segala kebutuhan dan keperluan anak-anak, serta memberikan tarbiah kepada anak-anak tersebut. Dan juga ada 5 orang pembantu rumah panti (perempuan dan laki-laki). Di panti ini, orang-orang tersebut selalu kompak saling bekerja sama secara sukarelawan, jadi tanpa dibayar. Mereka berniat ibadah Lillah Hita’ala. Sedangkan Tegar sendiri menafkahi semua anak-anak di sini, tetapi Tegar juga suka memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak-anak tersebut, dan terkadang suka menemani mereka tidur, makan, bermain, berenang dan mandi, serta mengantarkan mereka ke sekolah. Dan setiap hari Sabtu, Tegar tak pernah absen memberikan pendidikan agama dan akhlak pada anak-anak tersebut, serta mengajarkan olahraga bela diri, memanah, berkuda, dan berenang, kecuali kalau ada uzur, maka beliau menunda pergi ke panti asuhan.

Sekarang pun anak-anak tersebut, semuanya berlari menyambut kedatangan Tegar. Mereka antusias seperti berlomba-lomba untuk mendapatkan pelukan dan ciuman dari suamiku. Serta yang membuat aku takjub itu, mereka memanggil Tegar dengan sebutan “Ayah”—sebenarnya ini bukan pertama kali kudengar, namun ini kedua kalinya aku menyaksikan suamiku yang masih belia itu dipanggil ayah oleh anak-anak asuhnya tersebut. Dan kata beliau, sejak panti asuhan ini didirikan yaitu pada masa Tegar mulai masuk SMP, dan di saat itu pula beliau mulai dipanggil “Ayah” oleh anak-anak asuhnya. Sedangkan aku, awalnya memang masih canggung berdekatan dengan anak-anak tersebut. Tapi, sekarang, entah kenapa aku seperti merasa jatuh cinta dan sayang pada anak-anak panti itu, apalagi pada anak-anak yang berkebutuhan khusus. Jadi, mulai sekarang hubunganku dengan mereka menjadi hangat, tidak sedingin kemarin. Sekarang pun, aku tidak merasa geli dipanggil “Bunda” oleh mereka, malah sekarang rasanya aku senang, rasanya aku menjadi seorang wanita yang paling banyak harta yang berharga di dunia ini. Dan anak-anak itu gembira ria, begitu ayahnya mengumumkan bahwa akan berenang bersama mereka. Kemudian kami beranjak ke kolam renang yang berada di belakang panti asuhan ini.

Kami pun berenang bersama anak-anak. Tapi, sebenarnya aku tidak bisa berenang, sehingga Tegar yang mengajarkanku berenang, kedua tangannya yang kuat dan lembutnya itu menuntunku untuk berenang. Tegar memang lelaki yang bertanggung jawab, beliau tidak pilih kasih, tetapi beliau penuh kasih sayang dan perhatian pada anak-anak asuhnya, beliau dari tadi mengawasi anak-anak yang sekian banyaknya tanpa kelihatan jengkel dan marah saat berhadapan dengan anak-anak yang bandel, susah diatur. Memang jiwa keayahannya itu membuat hatiku tersentuh dan semakin mengaguminya.

“Setelah anak-anak berenang, lalu Akang mau mengajari mereka apa lagi?” tanyaku sambil menoleh dan menatapnya.

Kami mengobrol di saat anak-anak sedang asyik berenang dan bermain, serta selagi suamiku mengawasi anak-anak asuhnya. Posisi kami sedang duduk di bibir kolam renang. Betis kami pun terendam air kolam.

Tegar tersenyum, lalu berkata, “Setelah berenang, biasanya aku selalu mengajari mereka bela diri, berkuda, dan memanah, tapi itu bergantian setiap hari Sabtunya. Nah, karena Sabtu kemarin sudah diajarkan berkuda serta memanah, maka Sabtu sekarang giliran berenang dan silat. Kurasa, anak-anak semuanya udah bisa berenang, tapi silatnya mereka masih belum banyak yang bisa, jadi setelah ini aku akan ngajarin mereka silat, habis itu kita salat asar berjamaah, terus dilanjutkan mengajar mengaji,” jawabnya. Tegar lalu memerhatikan anak-anak asuhnya lagi.

Aku tak henti-hentinya mengagumi suamiku yang super hebat ini. Aku lalu tersenyum mesra sambil menggandeng tangannya dan menyandarkan daguku di bahunya serta menempelkan pipiku di pipinya dengan manja dan perasaan bangga terhadapnya.

Ya Allah ... terima kasih banyak, Engkau telah menganugerahkan lelaki yang super hebat ini untukku. Duh ... rasanya aku bahagia tak terhingga. (Aku sambil senyum-senyum dengan pipi kami yang masih tertempel).

“Sayang, kayaknya kita bakalan pulang jam setengah delapan malam, ya. Kan aku mengajar ngajinya sampe jam setengah enam, terus salat magrib dan isya-nya salat berjamaah di masjid di sini. Gimana?”

Lalu aku mengangkat kepala dari bahunya, tetapi tangan kami masih bergandengan. “Ya, gak papa, Sayang. Cahaya mah ikut Kang Kuat Sayang aja,” aku sambil tersenyum mesra padanya, “oh, ya, Sayang. Aku mau nanya lagi. Gini loh, Sayang. Kok tiba-tiba aku merasa simpati ya sama anak-anak yang berkebutuhan khusus itu yang gak bisa ikut olahraga-olahraga begini. Jadi, aku merasa kasihan sama mereka. Ya, karena mereka memiliki keterbatasan fisik, jadinya mereka gak bisa melakukan olahraga kayak gini, gak bisa berenang, gak bisa berkuda, gak bisa berlari, apalagi silat. Jadi, mereka olahraganya gimana?”

“Mereka banyak yang bisa memanah, kok. Bahkan yang lebih mengagumkannya, mereka semuanya bisa menjadi hafiz dan hafizah, loh.”

“Oh, ya.” Ekspresiku semringah begitu mengetahuinya.

“Iya. Aku juga udah mengajarkan kesenian yang aku bisa pada semua anak-anak di sini. Aku udah ngajarin mereka, main musik piano dan gitar, seni bela diri, terus bermain seni peran dalam wayang yang bernuansa islami, dan juga bernyanyi.”

“Terus seni melukis yang versi sulam itu juga udah kamu ajarkan pada mereka?” tanyaku lagi.

“Ya, kecuali itu yang belum sempat aku ajarkan. Karena gak ada yang mengajarkannya. Ya, emang aku bisa mengajarkan itu, tapi kegiatanku terlalu banyak, jadinya untuk mengajarkan seni melukis versi sulam itu gak muat dalam waktuku.”

“Sayang, gimana kalau aku yang ngajarin itu. Ya, seminggu sekali aja ngajarinnya. Gimana?”

“Emang kamu bisa menyulam atau punya pengalaman menyulam, gitu?”

“Ya, waktu itu semenjak kamu menunjukkan sulam teks karya almarhum nenekmu itu, aku jadi ada keinginan untuk bisa menyulam. Nah, aku lalu minta diajarin sama bibi, ya karena waktu itu aku baru inget bahwa bibi juga bisa menyulam. Dan setelah belajar, ternyata menyulam itu tidak sesulit menjahit. Ternyata itu gampang banget loh, Sayang. Dan setelah melihat sulam teks karya almarhum ma nini, jadi aku terinspirasi, deh. Jadi, sekarang aku punya ide, loh. Ya, kan aku suka banget sama puisi, jadi gimana kalau menyulamnya itu menyulam puisi di kain strimin, gitu. Gimana, Sayang?”

Tegar sangat antusias menanggapi gagasanku itu. “Wah, ide bagus, tuh. Ide brilian. Terus apalagi ya di antara anak-anak di sini juga ada yang berminat di bidang sastra khususnya puisi. Nah, kalau puisinya itu disulam di kain strimin, jadi itu teh bisa dibuat dokumentasi yang bisa terpajang di dinding seperti foto dan lukisan biasa. Jadi, puisinya itu bisa tahan lama, kan kalau ditulis dalam buku mah, bukunya bisa berdebu dan kusam, juga bisa dimakan rayap. Nah, kalau puisinya disulam di kain strimin mah bisa tahan lama, dan tidak cuma itu, kita juga bisa spontan melihatnya setiap saat dan otomatis kita bisa diingatkan juga dengan makna-makna dalam puisi itu.”

“Nah, begitu juga maksud aku, Sayang. Jadi, rasanya aku bisa mengajari mereka buat menyulam itu. Gimana, Sayang?”

“Tentu boleh dong, Sayang. Nanti aku perlihatkan dulu lukisan sulamnya yang udah ada, ya. Aku yakin, ya setidaknya di antara mereka ada beberapa yang menyukai seni lukis macam itu. Jadi, langkah awalnya kita perkenalkan dulu seni lukis sulam itu pada mereka. Nah, jika ada yang suka dan berminat mau belajar menyulam, maka kamu bisa mengajarinya, oke?”

“Oke, Sayang. Heummm.” Aku tersenyum dengan nada manja, lalu menyandarkan pipiku ke pipinya lagi.

Cahaya untuk Tegar (SEASON 2) - TAMAT ✔️ | BELUM TERBIT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang