Bab 6. (C) Hariku Bersamanya (Selesai)

740 974 44
                                    

SEKILAS INFO DARI PENULIS :

Karena novel CUT ini berbeda dari novel yang lain, maka aku menuliskan sesuatu yang unik dan freak di novel ini. Jadi, khusus di bagian ini ada pembahasan tentang pelajaran ekonomi/akuntansi yang cukup detail (yang memang ini termasuk salah satu pelajaran utama di SMA jurusan IPS). Nah, itu aku lakukan, bukan bermaksud so pintar atau menggurui, atau pun bukan ingin membuat pembaca bosan ya, melainkan ingin membuat pembaca paham dan meyakini bahwa si tokoh tersebut memang benar-benar pintar yang terbukti dengan mengerjakan soal-soal ekonomi/akuntansi tersebut, begitu. Jadi, bukan menceritakan tokoh yang pintar itu dijelaskan secara narasi, tetapi kalau ini secara show real/pertunjukan nyata-dan ini sebagai bentuk totalitas dan kreatifitas penulis dalam menulis novelnya, begitu. Ya, supaya pembaca dapat merasakan bahwa cerita dalam novel CUT ini terasa hidup/bernyawa yang memang relate dengan kehidupan nyata, begitu.

*Kalau memang pembaca bosan dengan hal-hal begitu ya boleh di-skip/dilewati, kok-ini hak pembaca, ya. Yang penting pembaca bisa meyakini bahwa tokoh-tokoh tersebut memang benar-benar pintar yang terbukti dari pemaparan materi tersebut.*

SEKIAN, TERIMA KASIH ATAS PERHATIAN TEMAN-TEMAN PEMBACA. 🙏

MARI LANJUT LAGI BACA CERITANYA. SELAMAT MEMBACA! 😊

*******

Di Ruang Tamu-Rumah Bibi Di Jelekong, Kabupaten Bandung.

Saat aku perkenalkan Tegar pada Bibi, seketika Bibi tampak kaget setelah aku menyebut nama Tegar. Kenapa begitu? Pasalnya Bibi pernah dengar nama Tegar di berita televisi tempo lalu dalam kasus pem-bullyan fisik itu. Meskipun Bibi pernah membesuk lelaki itu di rumah sakit, tapi beliau belum pernah bertemu Tegar, karena waktu itu tidak sempat, sebab Tegar lagi dalam perawatan intensif sehingga belum bisa dijenguk, setelah itu Bibi tidak membesuknya lagi. Setelah mengetahui itu, Bibi lalu mengucapkan kata-kata empati serta memuji fisik dan kekuatan hati lelaki itu.

Selama aku bersama Tegar di ruang tamu, kami selalu dipantau oleh Bibi di balik rak lemari besar-sekat antara ruang tamu dengan ruang keluarga.

"Ini gimana, nih. Mau aku kasih rumusnya aja atau gimana?" tanya Tegar.

"Hemmm, gimana, ya. Karena ini soal-soalnya sulit semua, Kak. Kalau dikasih rumusnya doang, aku gak tahu prosedur ngerjain soalnya gimana. Nah, gimana kalau Kakak kasih jawabannya juga. Ya, sedikit ... aja, please." Aku memelas sambil menempelkan kedua telapak tangan di depan dada.

"Oke, aku kasih jawabannya juga. Tapi, biar gak terkesan curang, jadi aku kasih jawabannya sebagian aja, ya. Soal-soal sisanya biar aku kasih rumusnya aja," jawabnya.

"Oke, Kak. Aku setuju. Ya, udah. Kakak boleh bimbing aku dimulai dari soal nomor ke satu dulu ya, Kak. Yang ini." Aku menyodorkan kertas soalnya sambil menunjuk soal tersebut.

Tegar menerima kertas soal tersebut, lalu memerhatikan soal yang kutunjukkan itu sambil tersenyum. "Yakin mau soal yang ini yang mau dibimbing?" tanyanya sambil menatapku.

"Ya, yakinlah, Kak. Emang kenapa kok nanya gitu?"

"Ya, karena ini soalnya gampang banget deh, asli da. Kan aku cuma boleh bimbing dan ngasih tahu jawabannya untuk sebagian soal dari sepuluh soal ini kan, jadi kamu pilih dulu, nih. Soal yang menurutmu paling sulit yang mana? Setelah itu aku pasti bimbing kamu mengerjakan soal itu."

Kok aku jadi merasa minder, ya. Ketika dia berkata begitu. Kayak mengatakan soal itu gak perlu dibimbing dan dipersulit, gitu.

"Hemmm, ya kalau menurut aku soal-soal ini sulit semua, Kak. Kalau menurut Kak Tegar mah pasti soal-soal ini teh gampang banget, kan. Ya, panteslah Kak Tegar kan pinter, sedangkan aku gak pinter. Jadi, soal-soal ini rasanya tuh di luar nalarku, Kak." Aku menunduk sambil cemberut.

Cahaya untuk Tegar (SEASON 2) - TAMAT ✔️ | BELUM TERBIT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang