Bab 22. (B) Koma

407 512 5
                                    


Pukul 19.39 WIB—masih di Ruang ICCU.

Malam ini untuk yang ke-sekian kalinya aku menemani Tegar di sini. Suamiku masih koma, beliau sudah koma selama 1 bulan. Dan pada kejadian tadi pagi, memang Tegar dinyatakan lolos lagi darimaut, tapi walaupun begitu tidak membuatnya langsung sadar. Namun, kami bersyukur karena tingkat kesadarannya naik dari level 4 dan kini menjadi level 6. Ya, tentu kami sangat bersyukur, meskipun beliau belum bisa membuka matanya, tapi setidaknya beliau sudah bisa mendengar perkataanku dan meresponsnya dengan gerakan jemari tangan kecil, walaupun begitu Tegar belum bisa dipindahkan ke ruang HCU, apalagi ruang perawatan biasa, karena sebenarnya kondisinya masih lemah meski keadaannya kini bisa dikatakan lumayan membaik dibandingkan dengan kondisi yang sebelumnya. Tetapi, dokter mengkhawatirkan henti jantung itu terjadi lagi pada suamiku, maka dari itu tetap dirawat di ruang ICCU ini untuk mendapatkan perawatan yangintensif dan ketat.

Sekarang aku sudah salat isya di musala, sedangkan ibu mertuaku hendak mengambil pakaian ganti untuk anaknya di rumah kami. Begitu Ibu berangkat, aku lantas mencium kening suamiku, tapi sayangnya kali ini aku tidak bisa mencium kedua pipi, hidung, dagu, dan bibirnya, karena itu semua tertutup oleh masker berukuran agak besar—masker ini diikat oleh dua tali yang dilingkarkan ke kepalanya dengan erat—serta masker tersebut terhubung dengan dua selang berukuran agak besar yang juga terhubung dengan mesin ventilator—ini disebut non invasif ventilator.

Aku menggenggam tangannya erat sambil mengelus-elus kepalanya yang dibalut kain penutup kepala berwarna hijau. “Aku pikir, setelah detak jantungmu kembali lagi, maka aku bisa langsung lihat senyum manismu. Eh, tapi nyatanya ... hemmm, tapi Kang Kuat jangan khawatir dan jangan kesepian, ya. Karena Kang Kuat gak sendiri, ada Cahaya yang selalu dekat Kang Kuat dan tetap bersama Kang Kuat dalam keadaan apa pun. Sayang, aku tetap bercahaya menerangi seluruh ruang hatimu dan aku tetap menjadi Cahaya Hatimu selamanya, Sayang. Bukalah matamu, Kang Kuat Sayang, please … Cahaya kangen ... banget sama Kang Kuat,” lantas kurasakan jemari tangan Tegar bergerak pelan, “aku tahu, kamu juga kangen banget sama aku kan, Sayang. Aku juga tahu, bahwa kamu sebenernya bisa denger perkataanku dan semua suara di sini, kan. Hemmm, Cahaya sayang ... banget sama Kang Kuat, sayangnya tak terhingga plus cinta dan rindu Kang Kuat tak terbatas.” Aku lalu tersenyum terus mencium tangannya.

Lagi-lagi suamiku menggerakkan jemari tangannya pelan. Aku jadi semakin yakin, bahwa sebenarnya beliau sudah sadar, hanya saja saraf motoriknya masih lemas, sehingga belum mampu membuka matanya. Namun, kata dokter, untuk terapi kesadarannya maka pasien harus sering kontak dengan keluarga atau harus sering disemangati oleh orang-orang terdekatnya. Makanya, aku terus mengajaknya mengobrol sambil terus menyemangatinya.

“Kang Kuat Sayang bangun, Suamiku. Kang Kuat kan udah janji mau terus membimbing Cahaya ngaji. Cahaya juga kangen banget dengerin Kang Kuat ngaji lagi yang selalu bikin hati Cahaya adem,” aku sembari mengusap punggung tangannya yang dibalut perban infus, “jujur, saat itu Cahaya kesel banget saat Kang Kuat nyuruh Cahaya baca ta’awud dan surah Al-fatihah yang harus diulang terus, karena tajwidnya salah lagi-salah lagi. Jadi weh bawaannya pengen ngacak-ngacak rambut Kang Kuat,” aku lalu tertawa kecil, terus melanjutkan, “tapi, sekarang Cahaya malah kangen banget, Sayang. Pengen gitu lagi. Cahaya sadar, bahwa cara Kang Kuat mengajari ngaji itu sangat penting dan berarti. Cahaya sangat bangga memiliki suami sebaik dan sesaleh Kang Kuat Sayang.”Aku lalu mencium keningnya lagi dengan tersenyum.

Tak ada suaranya yang menyahut, melainkan rekaman irama jantungnya di monitor EKG yang selalu mengiringi setiap perkataanku. Tapi, jemari tangannya selalu bergerak pelan, itu artinya Tegar selalu menanggapi perkataanku, walaupun tidak menyahut dengan suaranya.

Aku menggenggam tangannya lagi. “Sayang, barusan aku udah salat isya. Oh, ya. Di setiap selesai salat isya dan subuh kan aku harus menyetorkan hafalan Quranku sama kamu, ya. Kan kata kamu,jika aku terlalu berat untuk menghafal Alquran sebanyak 30 juz, maka setidaknya aku wajib menghafal 4 surah, yaitu surah Yasin, Al-Mulk, Al-Waqiah dan Al-Kahfi serta 40 hadis, semua itu wajib hafal dalam seumur hidup. Tapi, aku masih belum hafal semuanya, Sayang. Tapi, aku baru aja menghafal surah Al-Mulk seluruhnya, loh. Ya, kan waktu itu aku cuma baru hafal 21 ayat. Nah, sekarang Cahaya baca surah Al-Mulk dulu, ya. Tapi, Kang Kuat harus menyimaknya ya, Sayang.” Kemudian aku membaca surah Al-Mulk dengan mata terpejam sambil tetap menggenggam tangannya.

Cahaya untuk Tegar (SEASON 2) - TAMAT ✔️ | BELUM TERBIT.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang