"Gimana kabar putriku?" Abi Santoso bertanya tanpa melihat rupa pria muda di depannya. Pria itu, sedang sibuk membaca beberapa berkas di tangan.
"Kemarin dia datang ke Panti Asuhan, Pak. Seperti biasa, dia menjadi donatur disana..."
Abi mengangguk-anggukan kepalanya.
"Ada lagi?" Kali ini Abi mendongakkan kepalanya, menatap pria itu yang kini menunduk.
"Tidak ada, Pak. Hanya itu..."
Abi nampak terdiam sejenak sebelum menggerakan tangannya agar pria itu pergi meninggalkan ruangan.
"Kamu bisa pergi sekarang," ucap Abi santai, begitu menerima perintah—pria itu berpamitan lantas pergi meninggalkan ruangan Abi Santoso.
***
Perasaan Arin masih diliputi gelisah. Pikirannya bercabang. Tentang kemeja marun beraroma parfum wanita, juga kehadiran Andini di panti asuhan. Entahlah...
"Mbak Arin lama banget sih?" Daffa langsung mencegah langkah Arin ketika wanita itu sampai.
"Ngapain kamu, Daff?"
"Kok nanya sih? Aku kan adiknya Mbak. Kue nya masih ada nggak?"
"Astaga, Daff... kemarin Mbak sudah kasih 4 toples kue kering sudah habis?" Omel Arin.
Daffa mengangguk dengan polos. "Ada lagi kan kuenya? Bagi aku satu saja, Mbak..." pinta Daffa memohon.
"Nggak ada, Daff..." sahut Arin sambil melewati tubuh adik iparnya itu. Sementara Daffa mengekori Arin masuk ke rumah bahkan mencoba menyamai langkah wanita itu.
"Mbak buatkan lagi dong? Iya, pleaseeeee....."
"Sekalian saja aku buka toko kue dan kamu jadi pelangganku, gimana? Aku dapat uang, kamu makan kue ku?"
Arin berhenti begitupun Daffa. Lelaki itu nyengir dengan ide barusan.
"Ide bagus, Mbak. Aku sempet mau bilang itu sama Mbak Arin!"
Arin melongo kemudian memutar bola matanya kesal. "Terus?"
"Gimana? Mbak bisa pertimbangkan kan? Mumpung belum punya anak.. nanti namanya Arin Bakery? Atau Dapur Arini?"
Meski kesal, Arin terkekeh geli.
"Mbak libur dulu bikin kue. Mas mu nggak izinin."
"Ah bucin..."
"Daffa," panggil Arin serius. "Beneran, Mas Rio nggak bolehin Mbak kecapekan karena kita mau program hamil. Itu juga kata Dokter..."
"Oiya... kalau begitu aku request ponakan kembar ya, Mbak? Boleh? Biar rame... nanti aku bisa kok gendong dua-duanya..."
"Satu saja belum.. kamu minta dua..."
"Lho... nggak apa-apa lah. Minta dua saja.. biar seru. Jadi rame deh rumah ini. Aku nggak bisa bayangin ponakan-ponakanku manggil 'Om Daffa... Om Daffa... beliin mainan, ya?' Padahal aku aja masih minta uang sama mami, hahhaa..." Daffa tergelak sendiri membayangkan para ponakannya merecoki dia dengan banyak hal.
Tawa Daffa menular.
"Doakan saja, Daff... Mbak juga berharap segera di kasih kepercayaan sama Tuhan."
"Seharusnya Tuhan percaya dong sama Mbak. Daffa juga bingung, kenapa orang sebaik Mbak Arin susah banget dapetin momongan padahal Mbak Arin itu paling jago mengambil hati orang. Andai papap masih hidup, dia pasti suka deh sama sikap lemah lembutnya Mbak Arin. Jauh banget sama mami..."
"Hust... kok malah ghibah sih? Nggak boleh tahu..."
"Ya gimana.. aku suka sebel sama sikap mami yang toxic banget sama mbak Arin."
"Daripada ngajakin ghibah, mending kamu makan deh. Mbak pesen ayam goreng lengkuas kesukaan kamu sama Mas Rio. Nanti di siapin dulu.. mau nunggu Mas mu pulang?"
"Iyalah, nanti dia marah-marah kalau di tinggal makan."
"Yaudah Mbak naik ke atas ganti baju dulu ya? Kamu tunggu.. bentar lagi Mas Rio pasti pulang."
Arin meninggalkan Daffa menuju kamarnya di lantai dua. Lelaki berumur 20 tahun itu sepertinya melesat ke dapur. Entah mencari apa, biasanya sih makanan. Arin tidak peduli, ia segera masuk ke kamar untuk kembali menyentuh kemeja marun yang ia sembunyikan kemudian mencocokkan dengan beberapa koleksi parfum miliknya. Arin mengernyitkan alis, benar... parfum ini asing untuknya. Satupun koleksi parfum miliknya tidak ada yang aromanya menyamai dengan parfum ini.
Siapa?
Siapa wanita itu?
Arin semakin gelisah dan cemas. Ia tidak pernah berpikir bahwa Rio akan bermain hati di belakangnya.
Kesedihan tiba-tiba merayap masuk dalam benak Arin. Bagaimana kalau Mas Rio menceraikannya? Lalu menikahi gadis itu?
Ah, kenapa Arin harus menyelami kenyataan pahit ini?
Memikirkannya saja membuatnya sedih. Dia tidak bisa hidup tanpa Rio. Tapi bagaimana kalau Rio justru sebaliknya? Lalu kalimat cintanya selama ini, ia anggap apa?
Arin tidak bisa membayangkan hidup tanpa suaminya. Selama ini, pria itu telah melengkapi hidup Arin. Rio bisa menjadi teman, sahabat bahkan ayah untuknya. Sosok yang tidak akan pernah Arin temui pada siapapun. Lalu bagaimana jadinya kalau cinta pria itu terbagi? Membayangkannya saja hati Arin merasa nyeri. Tiba-tiba saja ia menggeleng saat setetes air mata jatuh dari pelupuknya. Jangan... jangan sampai ketakutannya ini terjadi. Ia harus mencari tahunya secara langsung.
"Mbak Arin," teriakan Daffa membuat Arin cepat-cepat menyembunyikan kemeja marun dengan cepat. Kemudian menghampiri lelaki yang masih berdiri di depan pintu.
"Kenapa, Daff?"
"Lama banget di kamar? Mas Rio sudah dekat.. Mbak cepetan deh turun, aku mau kalau Mas Rio sampai kita langsung makan. Ayam sama bebek gorengnya udah nyampe tuh..." omel lelaki itu sambil berlalu pergi. Arin sendiri mengelus dadanya lega. Selalu ada saja keributan yang di buat Daffa jika adik iparnya itu datang. Arin bahkan tidak akan di biarkan bersantai. Ada saja yang di minta oleh lelaki itu, apalagi soal makanan.
Ketika Arin turun ke bawah setelah berganti baju lebih dulu, Rio sudah duduk di kursi makan. Dua lelaki itu terlibat obrolan ringan. Kadang mereka saling mengejek satu sama lain.
"Mbak cepetan, lama banget sih. Mandi dulu kan pasti? Heran deh, seneng banget bikin cacing-cacing di perutku protes!" Omelan Daffa membuat Arin terkekeh sambil menarik kursinya untuk bergabung bersama mereka. Sebelum itu, Arin meraih piring Rio untuk menyendokkan nasi pada piring suaminya.
"Maaf, gerah. Jadi aku mandi dulu... yuk kita makan..."
"Aku ambilin juga mbak," Daffa sudah menyodorkan piringnya pada Arin agar wanita itu menyendokkan nasi juga untuknya.
"Caper banget sih, Daff," komentar Rio.
"Ternyata enak lho, punya kakak perempuan. Sudah perhatian, bisa bikinin makanan pula. Garing banget punya kakak cowok tapi bisanya cuma bucin!"
"Kamu lagi ngatain aku?"
"Ya siapa lagi? Kakakku kan cuma Mas doang."
"Sudah," Arin melerai keduanya. "Nggak bagus bertengkar di depan makanan enak gini,"
"Kita nggak bertengkar," jawab mereka berdua bebarengan.
Sedetik kemudian, mereka makan dengan lahap. Berbeda dengan Arin yang sama sekali tidak berselera, namun wanita itu mampu menutupi kegelisahan yang menggelayuti benaknya. Sekilas Arin melirik Rio yang makan dengan lahapnya. Alih-alih bertanya, Arin memilih diam tanpa mengutarakan kegundahannya. Dalam seperkian detik saat Arin menatap Rio, hatinya bertanya-tanya, apakah Rio setega itu mengkhianati indahnya mahligai cinta mereka?
***
Woooo... ada yg kangen nggak nih??
Ada kan?? Ada dong...
Masa nggak ada.. jangan sepi2 ngapa... sedih akunyaa... huhuhu..
Kita main tebak-tebakan aja yukk😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Marriage
Roman d'amourRio Dewangga yakin bahwa ia tidak pernah berkhianat, meski nyatanya seorang Andini hadir di kehidupan rumah tangganya bersama Arin untuk memporak-porandakan hidup pasangan itu. Wanita itu mengaku hamil anaknya saat Arin-wanita yang dia nikahi selam...