31. Antara Ada dan Tiada🌙

44 7 0
                                    

Prabaswara mengerjapkan mata, disambut aroma obat yang amat menusuk hidungnya. Prabaswara mencoba mengedarkan pandangan. Rupanya ia berada di kamarnya.

Namun seperti ada yang aneh. Ia melihat Wulandari meringkuk di bangku panjang andalannya. Di sisi lain, tampak seorang pemuda tertidur di bawah ranjangnya, beralaskan karpet yang untunglah tebal dan empuk.

Hah, ia tidak menduga Kenangkali mau tidur di kamarnya setelah mendapatkan kenyamanan di Puri Abang.

Prabaswara berusaha bangkit, namun sulit. Tubuhnya terasa amat sakit ketika digerakkan. Sebuah erangan lolos dari bibirnya.

Apa yang terjadi padanya?

"Arrgghh!"

"Dimas?" Kenangkali sontak terbangun.

"Jangan mendekat!" seru Prabaswara kala Kenangkali bangkit dan hendak meraih tangannya.

"Kakanda?" Wulandari juga terbangun.

"Apakah Dimas baik-baik saja?"

"Tinggalkan aku sendiri!"

"Kami tidak bisa meninggalkanmu sendiri. Kondisimu masih lemah."

"Biarkan saja. Dari dulu aku juga lemah."

Wulandari tersentak. Prabaswara masih menyimpan kekecewaan karena ditinggalkan sendirian setelah mendengar kenyataan menyakitkan itu. Ia tidak bisa meninggalkan Prabaswara sendirian, tapi jika ia memaksa menemani, akan berdampak buruk pada kesehatan Prabaswara.

"Jika Dimas tidak ingin ditemani olehku, tidak mengapa. Tapi jangan mengusir Diajeng Wulandari. Ini kamar kalian. Selama tiga hari ini, istrimu berjuang keras melawan batasan kekuatannya demi melihatmu siuman."

"Tiga hari?" Prabaswara mengernyit.

"Iya. Dimas tidak sadarkan diri selama tiga hari."

Astaga, pantas badannya terasa remuk ketika digerakkan. Prabaswara langsung bergidik melihat bahu kiri dan kedua kakinya terbalut perban.

"Maaf, aku tidak bisa mengobati keretakan tulang bahumu. Kekuatanku hanya bisa mengobati kakimu yang terkilir, meskipun tidak bisa terobati sempurna."

Prabaswara tidak menjawab. Ia juga tidak protes kala Wulandari duduk di tepi ranjang dan menyentuh kakinya yang diperban.

"Akan kupanggilkan tabib." Kenangkali beranjak keluar kamar. Menembus dingin dan hening malam untuk memanggil tabib istana.

***

Prabaswara tidak pernah menolak ketika Wulandari mengerahkan kekuatannya untuk membantu kemajuan penyembuhannya. Ia juga tidak menolak suapan istrinya. Hanya saja Prabaswara terus diam, jarang sekali bersuara, yang tentu membuat Wulandari gusar.

Apakah luka hatinya sedalam itu?

"Mengapa kau mau menemaniku?"

"Sudah kewajibanku sebagai istrimu."

"Tidak perlu bersusah payah membantu orang yang sejatinya seumur hidupnya diasingkan di antara keluarganya sendiri."

"Ketika awal pernikahan kita, aku pernah berkata akan selalu mengikutimu ke manapun Kanda melangkah. Walaupun itu adalah tempat pengasingan."

"Termasuk jika aku dipenjara, kau juga akan mengikutiku? Ah, haha... baru kuingat beberapa minggu lalu kau sudah merasakannya." Prabaswara tertawa sarkas.

Kini bukan luka pada tubuh Prabaswara yang membuat Wulandari sedih. Tapi perubahan sikapnya yang menjadi dingin dan tidak ingin disentuh. Seakan-akan Prabaswara memposisikan diri seperti benar-benar terasing.

Prabaswara [Complete√] ~ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang