Dua bulan setelah insiden yang menguji cinta Prabaswara dan Wulandari.
Prabaswara menolak tinggal di istana Kembang Arum. Meskipun memorinya telah dipulihkan Prabu Recasentanu, Prabaswara masih menyimpan trauma kehidupan istana.
Taranggana tidak kuasa menolak menantunya. Demi kesembuhan mental Prabaswara, ia memutuskan memberikan sebuah rumah di wilayah Kembang Arum. Ia melakukan hal yang sama seperti Prabu Recasentanu dulu pada Jaladra, dan tentu sang prabu mendukungnya.
Sembari menunggu rumahnya selesai dibangun, Prabaswara dan Wulandari menempati rumah persinggahan dulu. Beberapa pengawal dan dayang kepercayaan dikerahkan untuk menemani mereka, karena mereka masih membutuhkan pemantauan.
"Apakah Dinda merindukan istana?"
"Hmm... lumayan."
"Jika rindu, katakan saja. Aku siap menemanimu pulang."
Wulandari tersenyum simpul. Selama sebulan menghuni rumah persinggahan, mereka belum kembali ke istana lagi. Ia tahu masih ada trauma tersisa pada Prabaswara, maka dari itu ia berusaha tidak membicarakan tentang istana. Justru keluarganya, bahkan beberapa utusan istana yang bergiliran mengunjungi mereka.
"Istana memang rumahku, tapi sekarang aku memiliki rumah utama yang tidak mungkin kutinggalkan. Sebuah tempat di mana aku mendapatkan cinta, kenyamanan, dan perlindungan. Rumah utamaku sekarang adalah Kanda."
Pipi Prabaswara seketika bersemu merah. Dirinya merasa tersanjung menjadi rumah utama bagi istrinya. Dibelainya pipi Wulandari dengan penuh cinta.
"Untuk itu, aku akan berusaha membuat rumah kita selalu nyaman dihuni. Akan kubangun rumah kita berlandaskan cinta dan rasa saling percaya. Niscaya rumah kita akan menjadi tempat teraman dan terindah di hati kita," balas Prabaswara, sembari menempelkan hidungnya pada hidung Wulandari. Dihirupnya aroma bunga yang bagaikan candu untuknya. Kini giliran Wulandari yang merona karena jarak mereka semakin dekat.
"Hmm... apakah Kanda ingin menagih ciuman pertama kita?" tanya Wulandari malu-malu. Tindakan Prabaswara barusan menu isyarat bahwa Prabaswara ingin menciumnya.
Prabaswara seketika sedikit menjauhkan tubuhnya dari Wulandari, disertai seulas senyum canggung. Bagaimana cara menjelaskannya ya, bahwa ia diam-diam telah melakukannya?
"Hmm... aku ingin memberitahumu sesuatu, Dinda, tapi jangan marah, ya?"
"Kenapa aku harus marah?"
"Janji dulu tidak marah padaku."
"Iya, aku janji."
"Hmm... sebenarnya, kita sudah pernah berciuman."
"Kapan?"
"Ketika Dinda dinyatakan telah tiada oleh para tabib, aku menciummu sebagai tanda perpisahan. Aku sungguh tak menyangka, beberapa saat setelah kucium, Dinda akhirnya bangun."
Wulandari tertawa kecil. Astaga, untuk apa ia harus marah? Bukankah harusnya ia bersyukur, setelah dicium, ia kembali bangun. Hingga kini pun Wulandari masih tidak menyangka diberi kesempatan kedua.
"Keajaiban pada hari itu memang atas kuasa Sang Pencipta. Uniknya, alurnya mirip seperti dongeng yang pernah kudengar dari dongeng Eyang. Ciuman cinta sejati menjadi obat paling mujarab di saat para tabib sudah menyerah."
"Jadi, Dinda tidak marah karena aku telah mencuri ciuman pertamamu diam-diam?"
"Haha... untuk apa marah, Kanda? Justru karena ciumanmu, aku masih bernapas hingga detik ini."
"Benar juga." Prabaswara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tingkahnya sangat menggemaskan, membuat Wulandari tak tahan ingin mencubit pipinya.
"Hei, sakit!" protes Prabaswara. Pelakunya kini berlari keluar kamar sambil tertawa.
Meskipun Wulandari sudah berlari, Prabaswara tetap bisa menyusulnya. Prabaswara menahan pergerakannya dengan melingkarkan lengannya pada perut Wulandari dari belakang.
"Dinda."
"Iya, Kanda?"
"Aku lapar." Prabaswara menyeringai lebar. Wulandari turut tertawa, tapi tentu saja sambil menyikut perut Prabaswara.
"Kanda ingin makan apa?"
"Apa saja yang penting kita bisa memasak bersama."
"Baiklah."
"Kanjeng hendak memasak? Biar kami saja." Swasti, salah satu dayang yang ikut pindah ke rumah persinggahan, terkejut mendapati majikannya berjalan bersisian ke dapur.
"Mbok Swasti istirahat saja. Kami ingin memasak berdua. Kami janji tidak akan memberantakkan dapur," bujuk Prabaswara. "Bukankah begitu, Dinda?"
"Benar, Mbok. Kami akan memasak untuk serumah."
Swasti menghela napas, tak sanggup menolak permintaan mereka. Biarlah, selama mereka tidak melakukan hal berbahaya, yang terpenting mereka bahagia.
Binar kebahagiaan tak henti berpijar pada sorot mata semenjak mertuanya mengabulkan permintaannya. Ia tinggal di luar istana, namun tetap mendapatkan perhatian dan cinta. Wajahnya terlihat lebih cerah, pertanda cahaya yang sempat hilang kini kembali pada pemiliknya.
Prabaswara telah menemukan kebahagiaan yang diimpikan.
.
.
.~TAMAT~
Alhamdulillah, akhirnya bisa menyelesaikan cerita ini dalam waktu 4 bulan, salah satu rekor menamatkan menulis novel tercepat yang pernah Janelee catatkan
Aku sengaja double update dua bab terakhir biar sekalian hehehe
Maaf jika masih ada kesalahan penulisan atau alur membosankan dalam cerita ini. Semoga cerita ini tetap menghibur kalian.
Terima kasih buat para pembaca setia Prabaswara. Tanpa dukungan kalian, author tidak akan sampai di titik ini
Kemungkinan akan ada extra chapter buat yang masih kangen sama Prabaswara & Wulandari, tapi untuk kapan publishnya, ditunggu aja yaa😉
Love💕
JaneleePRABASWARA
First published : 29 July 2022
Finished : 10 November 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Prabaswara [Complete√] ~ TERBIT
RomancePrabaswara adalah pangeran Kadhaton Tirta Wungu yang kehadirannya antara ada dan tiada. Prabaswara kerap mendapat perlakuan buruk dari keluarganya. Ia sangat takut tak ada putri yang mencintainya karena status dan kondisinya. Wulandari adalah putri...