Mendung menggantung di langit Kembang Arum. Seisi kadhaton berduka atas berpulangnya sang ratu. Prabu Recasentanu mengumumkan masa berkabung selama sepekan.
Kadhaton lain berbondong-bondong mengirim surat berbela sungkawa. Ada beberapa pemimpin kadhaton yang datang langsung ke Kembang Arum, terutama yang memiliki hubungan dekat.
Taranggana yang bertugas menyambut dan menerima ucapan bela sungkawa dari perwakilan kadhaton lain. Sementara sang prabu, setelah istrinya dikebumikan, kembali ke kamarnya.
Prabu Recasentanu mendekap erat mahkota istrinya. Tatapannya kosong. Separuh jiwanya telah pergi.
"Eyang Kakung." Prabaswara mungkin lancang memasuki kediaman sang prabu di situasi seperti ini. Namun ia ingin menyerahkan surat dari keluarganya secara langsung.
"Masuklah, Cucuku."
"Maaf keluargaku hanya bisa mengirimkan surat, Eyang." Prabaswara tidak berani duduk di samping Prabu Recasentanu. Ia memilih bersimpuh di bawah ranjang.
"Tidak mengapa. Kehadiranmu sudah mewakili Tirta Wungu." Sang prabu membuka surat dari besannya, masih dengan tatapan kosong. Prabaswara bisa melihat kakek mertuanya yang berusaha tegar, namun nyatanya sangat kehilangan.
"Aku tahu cepat atau lambat ini akan terjadi. Entah aku yang pergi dahulu atau istriku."
Entah dorongan dari mana, Prabaswara berani menyentuh jemari Prabu Recasentanu. Sebuah cahaya putih berpendar lembut, membuat sang prabu tak berkedip.
"Apa yang kau lakukan?"
Prabaswara tersentak, melepaskan genggamannya. Apakah kakek mertuanya akan marah?
"Kau memiliki kekuatan menenangkan?"
"I, iya, Eyang."
"Baru kali ini aku merasakannya. Betapa beruntungnya kau mendapat anugerah tersebut, Nak."
"Eyang Kakung bisa merasakannya?"
"Tentu. Kekuatanmu membuatku lebih tenang. Kekuatanmu menyadarkanku bahwa aku tidak boleh terus larut dalam kesedihan yang membuat istriku tidak tenang di sana. Terima kasih, Nak." Prabu Recasentanu memeluknya erat. Sentuhan tangan Prabaswara pada punggung sang prabu kembali memancarkan cahaya putih lembut.
"Aku mendengar pesan terakhir istriku padamu, namun aku tidak tahu apa yang telah kau alami. Sejak pertama kali mengenalmu, kuyakin kau anak yang tulus. Pergunakan kekuatanmu untuk membantu orang yang membutuhkan, Nak."
"Iya, Eyang." Prabaswara semakin mengeratkan pelukannya pada Prabu Recasentanu. Terlebih kakek mertuanya kini mengusap lembut kepalanya.
Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan dari kakek kandungnya.
***
Prabaswara duduk termangu di pinggir ranjang. Ia teringat kembali kenangannya bersama Ratu Rukmini.
"Kini aku memiliki tiga cucu laki-laki. Respati, Parikesit, dan kau, Prabaswara. Aku lebih suka menganggapmu sebagai cucuku, bukan cucu menantu."
Prabaswara terisak pelan. Ratu Rukmini begitu menyayanginya layaknya cucu sendiri. Sayang, di saat Prabaswara baru sebentar merasakan kasih sayang seorang nenek, Ratu Rukmini harus pergi.
"Tidak masalah seorang lelaki menangis, Nak. Menangis bukan berarti kau lemah. Air matamu tidak harus selalu disimpan. Keluarkanlah jika itu bisa membuat perasaanmu lega."
Sungguh berbanding terbalik dengan ucapan Ratu Gangganggeni yang selalu memarahinya ketika menangis. Kala itu, Prabaswara menangis saking terharunya mendapat belaian cinta seorang nenek.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prabaswara [Complete√] ~ TERBIT
RomantikPrabaswara adalah pangeran Kadhaton Tirta Wungu yang kehadirannya antara ada dan tiada. Prabaswara kerap mendapat perlakuan buruk dari keluarganya. Ia sangat takut tak ada putri yang mencintainya karena status dan kondisinya. Wulandari adalah putri...