Ratu Rukmini sedang menikmati secangkir teh di malam yang tenang saat tiba-tiba dadanya terasa nyeri seperti dihujam sesuatu yang tak kasat mata. Cangkir dalam genggamannya meluncur dan pecah berkeping-keping.
"Ada apa?" Prabu Recasentanu datang tepat waktu. Sang prabu tampak panik melihat permaisurinya pucat pasi dengan tangan menyentuh dada kiri.
"Apakah Dinda mendapat firasat lagi?"
"Sepertinya begitu."
Ratu Rukmini sangat peka dengan firasat. Ketika suatu hal buruk terjadi pada orang terdekatnya, fisik sang ratu akan bergejolak. Biasanya merasa lemas, pusing, dan pandangan berkunang-kunang.
"Maukah kupanggilkan Taranggana? Agar kita tahu apa yang sedang terjadi."
Ratu Rukmini hanya mendapatkan firasat, tapi tidak bisa melihat hal buruk apa yang terjadi. Jika sudah begini, biasanya Prabu Recasentanu memanggil Taranggana untuk mengkonfirmasi apakah dirinya melihat sesuatu.
"Tidak perlu. Jangan tanyakan pada Taranggana."
"Baiklah. Dinda istirahat saja, ya." Prabu Recasentanu menuntun permaisurinya menuju ranjang.
Pikiran sang prabu menerawang. Ia tidak tahu apakah nyeri dada yang menyerang permaisurinya adalah pertanda firasat ataukah penyakit masa tua yang mulai timbul?
***
Setelah mengetahui ada yang tidak beres dengan Wulandari, Taranggana dan Sasikirana mengirimkan surat ke Tirta Wungu. Mereka ingin mengetahui kabar Wulandari.
Sayangnya, kali ini Wulandari tidak bisa menerima suratnya karena masih menjalani hukuman. Surat itu diterima oleh Kenangkali.
"Bagaimana ini, Gati?"
"Ada apa, Kenang?"
"Ada surat dari Kembang Arum yang dituliskan oleh orang tua Kanjeng Putri Wulandari. Apakah kita harus mengunjungi penjara?"
"Selama tidak ada larangan untuk mengunjungi, tidak masalah, Kenang. Lebih baik sampaikan kepada Kanjeng Putri dulu, daripada surat ini dibuka oleh orang lain."
"Baik. Mari temani aku ke penjara."
Gati dengan senang hati menemani Kenangkali. Ia merindukan kanjeng putrinya. Gati sangat sedih mendengar hasil sidang, yang tidak berpihak pada Prabaswara dan Wulandari.
Kenangkali dan Gati diberi waktu maksimal lima belas menit untuk berkunjung. Mereka tidak mau membuang waktu. Namun, mereka sempat membeku sejenak melihat kondisi Prabaswara dan Wulandari.
"Apa yang terjadi pada Kanjeng?" Mata Gati bahkan sudah berkaca-kaca.
Mengapa Kanjeng Prabu kejam sekali pada Kanjeng Pangeran Prabaswara? Kenangkali menghela napas, menatap nanar tuannya yang terbelenggu. Ia yang hanya pelayan tidak pernah dihukum seperti ini, sementara Prabaswara yang seorang pangeran sudah beberapa kali harus dibelenggu.
"Kemarin Adinda demam sangat tinggi. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Aku memohon agar Adinda diobati. Eyang Kakung mengabulkannya meski terpaksa dan ada syaratnya."
Kenangkali dan Gati tertegun dengan penjelasan Prabaswara. Wulandari demam. Prabaswara harus menerima semua belenggu itu demi kesembuhan Wulandari.
"Jadi, apa yang membawa kalian kemari?"
"Ah, kami membawakan surat dari Kembang Arum, Kanjeng. Kali ini ditulis oleh orang tua Kanjeng Putri."
Wulandari bangkit dari posisinya, menerima suratnya. Ia lekas membacanya, kemudian menyerahkannya pada Prabaswara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prabaswara [Complete√] ~ TERBIT
RomansaPrabaswara adalah pangeran Kadhaton Tirta Wungu yang kehadirannya antara ada dan tiada. Prabaswara kerap mendapat perlakuan buruk dari keluarganya. Ia sangat takut tak ada putri yang mencintainya karena status dan kondisinya. Wulandari adalah putri...