Prabaswara dan Wulandari digiring menuju penjara bawah tanah dengan tangan terbelenggu rantai. Untunglah tangan mereka tidak dirantai bersama sehingga masih bisa melakukan kegiatan sendiri-sendiri.
Sebelumnya mereka telah berganti pakaian, menggunakan pakaian yang minim seperti saat dihukum ketika ketahuan tidak tidur seranjang. Wulandari dilarang memakai perhiasan, kecuali cincin pernikahan. Mereka harus menjalani hukuman selama tiga minggu layaknya tahanan sungguhan.
Mereka didorong kasar ke dalam sebuah sel. Prabaswara masih mampu menahan keseimbangannya, namun tidak dengan Wulandari yang langsung tersungkur.
"Dinda tidak apa-apa?"
Wulandari menggeleng pelan. Bohong jika ia tidak apa-apa. Kedua lengannya nyeri karena para pengawal mencengkramnya erat. Tubuhnya masih sering gemetaran setelah Pramudhana hendak melecehkannya.
Prabaswara membantunya bangkit, kemudian didudukkan bersandar dinding. Prabaswara juga duduk di samping Wulandari. Ia tahu istrinya masih sangat terguncang. Bahunya siap menjadi sandaran. Dadanya siap menerima tumpahan air mata.
"Dinda jangan takut. Ada aku di sini."
"Aku... aku ingin pulang, Kanda." Wulandari kembali menangis. Tangisnya tidak kencang, tapi sangat menyayat hati Prabaswara.
Pulang yang dimaksud Wulandari tentu saja kembali ke Kembang Arum.
"Ketika hukuman ini berakhir, aku janji akan membawamu ke Kembang Arum."
Wulandari membenamkan wajahnya pada bahu Prabaswara, menumpahkan air matanya.
Prabaswara juga ingin menangis, tak tega melihat cinta pertamanya sengsara. Namun ia tahan. Jika ia bersedih, siapa yang akan menenangkan Wulandari?
"Jatah makan siang. Kanjeng hanya diperkenankan makan dua kali sehari dengan sepiring makanan yang harus dinikmati berdua."
"Terima kasih."
Penjaga mengangsurkan sepiring makanan berisikan ubi rebus. Prabaswara tetap tersenyum saat menerimanya.
"Maaf, kita makan seadanya dulu, ya."
Wulandari mengangguk pelan tanda tidak masalah. Prabaswara mengambil sepotong dan menyuapi istrinya.
***
Tengah malam Prabaswara terbangun. Dinginnya lantai penjara dan udara malam ditambah dadanya yang tak tertutupi sehelai kain membuatnya cukup menggigil. Tidak ada selimut hangat di sini. Hanya ada tumpukan jerami yang kini menjadi alas tidur Wulandari.
Prabaswara memang mengalah, tidak tidur di tumpukan jerami padahal masih ada cukup ruang untuknya tidur. Wulandari pasti akan histeris ketika mendapatinya tidur tepat di sampingnya.
"Di... ngin...."
Prabaswara merangkak mendekati jerami. Ia bisa melihat dahi Wulandari mengernyit dengan gigi bergemeletuk menahan dingin.
"Dinda?" Prabaswara menyentuh pelan dahi Wulandari. Sangat panas! Ia menggenggam erat jemari Wulandari, mencoba menyalurkan kehangatan.
"Penjaga!" seru Prabaswara, mencari keberadaan penjaga yang menjaga selnya. Namun nihil. Prabaswara mengeluh kecewa. Tidak ada satupun penjaga di depan selnya.
"Ibuu...." Wulandari kembali mengigau. Prabaswara menggigit bibir, bingung harus melakukan apa.
Ia mendapat secercah ide. Dilepasnya jarik yang melapisi celananya untuk dijadikan selimut. Kain jariknya memang tidak terlalu lebar dan tebal, tapi semoga cukup meredakan demam Wulandari yang dibantu dengan kekuatan menenangkan miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prabaswara [Complete√] ~ TERBIT
Lãng mạnPrabaswara adalah pangeran Kadhaton Tirta Wungu yang kehadirannya antara ada dan tiada. Prabaswara kerap mendapat perlakuan buruk dari keluarganya. Ia sangat takut tak ada putri yang mencintainya karena status dan kondisinya. Wulandari adalah putri...