Sarapan selesai, Renata dan Barbie segera pergi ke kampus. Dengan kecepatan Sonic, Renata mengendarai motornya menerobos kemacetan lalu lintas. Barbie yang duduk di belakang hanya bisa ber-komat kamit membaca mantra sambil berpegangan kuat di pinggang Renata dengan tangan kanannya. Sementara tangan satunya sibuk fokus memegang helem yang melekat pada kepala karena ingin terbang. Jika bukan karena jadwal kelas Mr. Abraham, mungkin Barbie sudah melakukan ceramah panjang kali lebar kali tinggi pada Renata. Sayangnya kali ini Barbie harus bersabar dan menerima kenyataan jika sedari tadi rambutnya sudah tersapu angin dan mungkin saja saat helem-nya dibuka sudah menyerupai kepala singa.
Akhirnya mereka berdua tiba dengan selamat setelah menempuh perjalanan kurang dari 30 menit.
"Ayo, Bie!" seru Renata mengajak Barbie yang masih berusaha mengatur napasnya.
Dengan terpaksa, Barbie kembali berjalan mengikuti Renata dari belakang karena tidak ingin tertinggal kelas Mr. Abraham. Salah satu dosen paling disiplin dan paling cuek serta killer di kampus.
"Ren, berhenti dulu. Cepek, nih! Bentar aja, ya?" bujuk Barbie yang sudah benar-benar merasa kelelahan.
"Ya ampun, Bie. Ini kurang dikit lagi sampai kelas. Yuk, ah," kata Renata menyemangati.
Barbie melambaikan tangannya ke arah Renata. Mengisyaratkan bahwa dirinya benar-benar lelah. Renata pun datang menghampiri Barbie yang kini duduk di bawah lantai bersandar salah satu pilar bangunan kampus.
"Makanya hidup sehat. Jangan banyak makan kalau enggak mau olahraga. Beginilah jadinya, jalan dikit aja udah ngeluh!" sindir Renata pada Barbie.
"Ih, jahat sekali. Lagipula bukan salah aku, ini semua salahnya Mr. Abraham kasih kelas jam 7 kaya anak SD. Menyebalkan!" gerutu Barbie yang hanya ditanggapi dengan dengkusan napas panjang Renata.
Tiba-tiba- dari ujung koridor kampus sosok yang baru saja menjadi topik pembicaraan Barbie muncul dan berjalan menuju mereka berdua. Sontak mata Barbie membulat tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
"Mr. Abraham!" seru Barbie dengan mulut menganga.
Renata langsung panik dan bergegas mengajak Barbie untuk bangun dari lantai.
Meskipun tadinya kaki Barbie terasa lemas, tapi setelah melihat Mr. Abraham Barbie langsung memiliki kekuatan untuk berlari menyusul Renata. Magic!"Mr. Abraham datang, guys!" seru Renata mengingatkan teman-temannya yang lain agar duduk tertib di bangku mereka.
Keduanya kini duduk di bangku mereka diikuti semua teman-temannya yang lain.
"Sumpah itu dosen ajaib banget! Baru juga diomongin langsung nongol depan mata! Panjang umur bener Mr. Abraham," ucap Barbie mengumpulkan kekuatan untuk bicara meski napasnya masih tersengal-sengal.
Akhirnya, Mr. Abraham memasuki kelas. Kelas pun sunyi seketika.
"Selamat pagi semua-" sapa Mr. Abraham mengawali kelasnya.
"Selamat pagi, Pak!" jawab anak-anak bersamaan.
Setelah itu Mr. Abraham mulai mengabsen semua mahasiswanya. Bagi yang hadir nantinya hanya mendapat satu tugas setelah kelas selesai, sementara bagi yang datang terlambat bahkan tidak masuk tanpa izin. Mr. Abraham sudah memberikan susunan tugas rumah yang bisa dipastikan membuat mahasiswa itu menyesali perbuatannya.
Dan tentu saja, dari 30 mahasiswa dalam satu kelas, hanya ada 5 orang yang tidak hadir. Dua orang dinyatakan izin sakit melampirkan bukti surat dokter. Dan tiga orang lainnya dinyatakan tidak hadir tanpa keterangan apapun. Ketiga mahasiswa itu adalah Catherine, Amora, dan Diska.
Selesai dengan absensi, Mr. Abraham milai memberikan materi kuliah tentang Fabric Material. Semua anak-anak mendengarkan dengan seksama setiap materi yang di sampaikan sampai jam terakhir.
***
Selesai kelas, Barbie dan Renata mengunjungi perpustakaan. Mereka ingin mengerjakan tugas yang diberikan oleh Mr. Abraham. Bukan karena mereka terlalu rajin, itu semua mereka lakukan demi mendapat nilai B+, satu satunya nilai tertinggi di mata kuliah Mr. Abraham. Tidak ada nilai A bahkan A+.
"Duh- Mr. satu ini kalau ngasih tugas nggak susah kayaknya nggak enak, deh!" gerutu Barbie yang otaknya sudah terasa ngebul.
"Setuju! Soal cuma satu, tapi jawabannya bikin tangan keriting. Mana harus tulis tangan pula, zaman udah begini masih aja pakai cara dulu," imbuh Renata.
"Apa kabar nasib Catherine dan dua sahabatnya itu. Membayangkan tugasnya saja sudah bikin ngilu gigi," ucap Barbie lagi.
"Biarin aja mereka nggak lulus, Bie. Lagipula meskipun dia anak orang berpengaruh di kampus, tapi Mr. Abraham sudah menekankan bahwa tidak akan memberi privilege kepada siapapun yang tidak mengikuti mata kuliahnya. So ... Fix nenek lampir dan kedua dayang nya itu nggak lulus!"
Pembicaraan mereka pun selesai setelah kedatangan Biru. Pemuda itu baru saja memasuki perpustakaan dan melihat Barbie juga Renata langsung menghampiri.
"Hai, Bi!" sapa Renata pada Biru setelah pemuda itu mengambil tempat duduk di depan mereka.
"Hai, Ren, Bie. Kalian disini juga rupanya? Lagi kerjain apa?" tanya Biru pada keduanya.
"Ngerjain tugas dosen killer. Sumpah bikin tangan keriting!" ungkap Renata sambil menunjukkan kedua tangannya.
Barbie hanya tersenyum melihat tingkah Renata yang lebai setiap ada Biru di depannya.
Seketika terdengar suara dari salah seorang penjaga perpustakaan menegur agar tidak berisik ke arah mereka.
"Sssttt ...."
Akhirnya Renata memelankan suaranya. Diikuti senyuman Barbie juga Biru.
"Lupa kalau ini lagi di perpus," kata Renata kemudian.
"Makanya, punya rem jangan blong gitu," celetuk Barbie mengingatkan. Sementara Renata mencebikkan bibirnya.
Akhirnya Biru membuka topik pembicaraan lain dengan mereka berdua. Cukup lama mereka bertiga menghabiskan waktu di perpustakaan mengingat hari ini Barbie dan Renata hanya ada dua kelas mata kuliah. Sementara Biru hanya ada satu kelas mata kuliah.
Renata kepikiran untuk mengajak Barbie dan Biru nongkrong di cafe terbaru yang lagi hits setelah keluar dari perpustakaan. Biru pun setuju dengan tawaran Renata.
Di cafe itu, mereka bertiga membahas tentang rencana ke Bali. Renata menanyakan keputusan Biru untuk menerima undangan itu atau tidak. Biru akhirnya menyatakan jika dirinya akan datang ke Bali dan berlibur bersama mereka. Renata terlihat sangat senang, sementara Barbie hanya tersenyum tipis mendengar pengakuan Biru.
Renata akhirnya memberi tahu Biru rencana antara dirinya dengan Barbie selama di Bali. Biru hanya mendengarkan penjelasan Renata yang seperti rel kereta, panjang tak terjeda.
"Gimana? Setuju nggak kamu, Bi dengan Roundown yang kita buat?" tanya Renata akhirnya.
"Terserah kalian, aku ngikut aja. Lagipula Bali udah bagus, mau dimana saja tujuannya pasti menyenangkan," terang Biru yang memberikan pendapatnya.
"Jadi kamu setuju? Benarkah?" tanya Renata lagi kegirangan.
"Iya, Renata. Emangnya kurang jelas aku ngomong barusan?" ujar Biru lagi.
Barbie tersenyum melihat bagaimana Biru meladeni Renata yang terkandung menjengkelkan.
"Oh, iya. Sudah sangat jelas kok, Bi. Makasih, ya? Ini alam jadi liburan terkeren sepanjang masa!" kata Renata dengan suara 45.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Tears Left To Cry (SELESAI)
RomanceBarbie Graciella Wibowo selalu hidup dalam zona nyamannya. Dia juga selalu insecrue dan khawatir akan hidupnya yang dianggap sebagai sebuah kesalahan. Beberapa kali ia berusaha untuk hidup atas kehendaknya, namun apa yang menurut kita baik belum ten...