Elena bahkan tidak peduli kemeja macam apa yang dipakai Harley, bahkan apa pria itu memakainya atau tidak. Pikirnya merasakan kejengkelan yang tak dapat dijelaskan. Bukan itu intinya. Namun itu adalah salah satu dari rentetan contoh hal-hal sepele yang sering Harley lakukan akhir-akhir ini, dan itu mengganggu bagi Elena.
Gemerincing kunci Harley memecah lamunannya, Elena sudah akan berseru mengingatkan mematikan TV sebelum pergi, ketika didengarnya pria itu meneriakkan selamat tinggal dan pintu depan pun terbanting. Mendadak flat itu sunyi, memperkuat suara-suara TV pagi yang mengalir ke dalam kamar. "Huh!" Elena berdecak, merasa kesal dan kecewa tanpa benar-benar tahu apa sebabnya. Ia melesak ke dalam kasur, ditariknya selimut ke bawah dagunya, melupakan piring pan cook dan segelas coklat yang diberikan Harley tadi. Melalui mata mengantuk nya, dia melihat bola kristal yang di dalamnya terdapat selembar foto dirinya dan Harley sedang bermain seluncur di Central Park. Hidung mereka terlihat merah seperti Rudolph karena salju yang turun, terbungkus topi wol serta syal bergaris. Tersenyum konyol sementara mereka saling bergandengan, berusaha tetap berdiri di atas es yang licin.
Elena merasakan nostalgia. Saat itu sebelum malam tahun baru, beberapa bulan setelah mereka bertemu. Harley membawanya ke New York untuk berakhir pekan. Dalam satu waktu pria itu memenuhi semua khayalan romantis yang pernah Elena bayangkan. Dan beberapa lainnya yang tak dibayangkannya. Polaroid itu menangkap sebuah momen yang sempurna dan mengabadikannya untuk selamanya. Momen ketika ia berusia dua puluh tujuh tahun, Elena menyadari akhirnya dia menemukan Mr. Right-nya.
Dengan spontan Elena mengguncang bola itu dan selagi jutaan salju putih mungil mulai berputar-putar di dalamnya dan melayang-layang, pikirannya kembali pada hubungan mereka. Memikirkan saat-saat yang sudah mereka lewatkan bersama, juga seluruh sisa kehidupan yang akan mereka lewatkan bersama tenggelam dalam pikiran Elena.
Dan pada saat itulah, pagi di hari ulang tahun Elena yang ke tiga puluh satu tahun, segala keraguan itu, segala perbedaan itu dan segala ketakutan itu jatuh pada tempatnya masing-masing. Bagaikan sebuah puzzle raksasa bagi Elena yang amat sangat menggangu. Dan sebuah pikiran rumit menghantamnya.
"Kalau Harley adalah Mr.Right. Kenapa dia terasa seperti Mr.Wrong?"Dari kejauhan sorang pria terlihat tidak ingin melepaskan wanita yang ada di pelukannya. Pria itu berdiri di trotoar yang basah karena hujan di luar terminal keberangkatan, dia melingkarkan lengan semakin erat ke sekeliling perut telanjang seorang wanita bernama Jane dan terus menciumi wanita itu. Mereka sudah asyik melakukannya selama 10 menit penuh. Dimulai dengan kecupan malu-malu di bibir, sejenis kecupan ringan dan sopan khusus untuk tempat-tempat umum. Kemudian segera berkembang menjadi lebih menyeluruh. Bibir saling menarik, gigi terjilat, lidah menerobos, hidung-hidung basah mereka saling bertubrukan. Mereka sudah akan berhenti ketika dirasakannya lidah wanita itu mulai membelai langit-langit mulutnya secara teratur. Anehnya hal itu terasa erotis mengeratkan rengkuhannya, Vincent mulai menciumnya dengan semangat baru.
Biasanya Vincent tidak akan sudi kepergok melakukan perbuatan memalukan semacam ini. Pada umur 31 tahun, dia punya karir mentereng sebagai seorang jurnalis, ia juga memiliki sebuah apartemen rancangan desainer terkenal. Bermain billiar, menonton film dan nongkrong dengan rekan kerja serta sahabatnya di restoran-restoran mewah dan gastropub di seluruh London merupakan kehidupan seorang Vincent Xavier. Dirinya tidak suka memamerkan kasih sayang seperti halnya seorang remaja, tidak di depan umum dan pastinya tidak di tempat klise seperti terminal 3 bandara Heathrow saat ini. Atau setidaknya dulu dia tidak begitu. Sekarang semuanya sudah berubah, tidak hanya dia terkunci dalam pelukan selamat tinggal yang terlihat seperti adegan film romantis. Vincent tidak peduli menyebut dirinya sendiri sebagai seorang paling keren sedunia karena sedang dikelilingi segerombolan orang yang melemparkan tatapan-tatapan ingin tahu kepadanya. Dia juga tidak peduli pada sepatu suede rancangan salah seorang desainer terkenal di Amerika yang sudah tidak berupa karena hujan. Semua itu rela dilakukannya, mengapa demikian? Sederhana, itu karena seorang Vincent Xavier akan menikah.
Setelah beberapa kali bermain-main dengan para wanita selama hidupnya, serta menjalani hubungan setengah hati bahkan hubungan satu malam akhirnya hal itu terjadi juga. Vincent bertemu seorang wanita yang sepadan dengan pengorbanannya meninggalkan kebiasaan masa lajangnya. Seorang wanita yang secara ajaib sudah mengubah kata 'monogami' menjadi sesuatu yang menarik hati. Alih-alih sesuatu yang seumur hidup selalu dijauhinya. Pendek kata, setelah badai romantisme selama 6 bulan dan dia tahu bahwa dirinya sudah menemukan wanita impiannya, Vincent tak ingin lagi menjadi seorang pria yang dulu.
Bisa ditebak, Vincent menemukan wanita itu di sebuah bar tentunya. Dia melihatnya ketika masuk untuk pertama kalinya. Bukannya Vincent jarang melihat wanita-wanita yang menarik mata di bar selain Jane, bahkan sebetulnya dia seringkali tertarik pada semua wanita yang dilihatnya. Tapi wanita itu berbeda. Bukan cuma agak menarik, tapi benar-benar mempesona di mata Vincent. Secara fisik dia punya segalanya yang Vincent inginkan dari lawan jenis, rambut lurus berkilau berwarna madu dan selurus papan seluncuran. Jane juga tinggi semampai, tubuhnya yang langsing dan menjulang tinggi di atasnya meski hanya menggunakan sepatu sneakers. Payudara bulat kecil yang menggoda, pas sekali digenggam.
Dua gelas vodka, jeruk nipis, dan kemudian soda, Vincent pun mengetahui bahwa Jane berasal dari sebuah kota kecil di Amerika dan baru pindah ke London. Dia juga mengetahui bahwa umurnya masih 22 tahun juga berprofesi sebagai seorang model. Vincent menyadari jika dirinya telah menjadi objek kecemburuan semua pria di bar karena berhasil mengajak Jane berkencan malam itu. Maka Vincent melakukan kebiasaannya, ia mengajak wanita itu makan malam, memesan mejanya yang biasa dan memasang sprei bersih di ranjangnya nanti. Tapi kemudian sesuatu yang tak diharapkannya terjadi, sambil menikmati makanan pembuka jamur shitake dan polenta panggangnya, ditatapnya Jane di seberang meja dan menyadari bahwa dia benar-benar menikmati saat-saat bersama. Dan pada saat itulah Vincent menemukan hal yang mencengangkan, bahwa dia tidak ingin cinta satu malam seperti yang dia lakukan dengan wanita-wanita sebelumnya. Namun sebaliknya dengan Jane, dia menginginkan sebuah hubungan lebih dari itu. Pemahaman itu mengguncang Vincent karena ia sendiri tidak pernah ke membayangkan sebelumnya.
Kini butiran air hujan raksasa mulai menetesi kerah kaos Vincent dan mengalir pelan ke tulang belikatnya. Dia terus menciumi Jane, tepat pada saatnya terdengarlah gemuruh ledakan petir.
"Well, kurasa sudah saatnya." Dengan enggan memisahkan diri, Vincent berusaha tersenyum gembira pada kekasihnya itu. Sementara Jane terisak keras, ia mendongak menatap dari balik kacamata hitam Gucci yang Vincent berikan untuknya, lalu mengangguk tanpa suara. Vincent tahu Jane akan menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Tears Left To Cry (SELESAI)
RomanceBarbie Graciella Wibowo selalu hidup dalam zona nyamannya. Dia juga selalu insecrue dan khawatir akan hidupnya yang dianggap sebagai sebuah kesalahan. Beberapa kali ia berusaha untuk hidup atas kehendaknya, namun apa yang menurut kita baik belum ten...